Nuansanya sedikit berbeda, Becca merasa sedikit canggung berada satu mobil dengan temannya ini. Ada satu hal yang menjanggal dalam suasana sekarang, Becca tak menyukainya. Tapi sayangnya calon dokter ini tidak mengetahui apa itu, hingga akhirnya dia merasa, oh, mungkin karena bukan Freen yang menyetir.
"Bec, kamu diam saja dari tadi? Terjadi sesuatu?" Becca biasanya ceria saat bersama dirinya, TF tidak merasa beda baik di kampus, rumah sakit atau pun dalam mobil. Apa yang dia pikirkan? Dari tadi tampak melamun terus? TF dari tadi sesekali melirik wanita di sampingnya ini. Dia tak ingin memecahkan lamunan, namun ini sudah terlalu lama, Becca tak juga berkata apapun. Maka dari itu dia bertanya secara tidak langsung, apakah dia marahan dengan Freen?
Becca tersenyum saja, dia hanya menjawab, "Tidak, aku hanya memikirkan sesuatu." Saat menjawab ini, dia hanya menoleh sebentar dan menghadap ke depan lagi. Diam.
TF yang masih menyetir tidak begitu cepat itu, akhirnya ingin memulai perbincangan, "Satu bulan lagi kita selesai magang di sini, kamu sudah memilih tempat?"
"Hm? Oh," Becca menggeleng, "Aku masih bingung masalah itu."
TF melihat Becca sebentar dan kembali fokus ke jalan lagi, "Kenapa bingung? Tapi, jika kamu sudah milih tempat, kasih tau aku ya. Aku mau satu tempat denganmu lagi." TF mengutarakan niatnya terang-terangan, namun apa daya, Becca tidak terlalu memikirkan perkataan itu.
Becca tertawa kecil, "Baiklah, itu akan lebih menyenangkan. Kamu belum memilih juga, Teef?"
TF tersenyum, "Sudah ku bilang, aku ingin sama dengan kamu. Aku ingin mengikutimu ke mana pun itu." Suaranya terdengar canda, namun tidak dengan artinya.
Becca tertawa lagi, "Oke, aman saja." Dia berpikir sejenak, "Aku akan berunding masalah ini dengan Freen dulu, aku mau cari tempat yang nyaman untuk dia bekerja."
TF tak pernah mendapat jawaban ini, akhirnya dia bertanya lagi, "Dia kerja online ya?"
Becca tak bisa menghentikan gelitik di dalam perutnya, dia selalu ingin membanggakan pacarnya pada orang lain tentang siapa Freen. Apalagi TF salah satu pembaca buku Srch, dia pun hanya berkata, "Ya semacam itulah. Dan juga, aku mau tempat magang nanti, masih bisa akses mobil dan tak harus mendaki atau membuat lelah saat pergi ke sana."
"Hm?" TF menyetir dengan hati-hati atau mungkin dia memang sengaja bermobil dengan lambat agar bisa berbincang dengan Becca lama, "Mengapa harus begitu? Bukankah kamu cukup kuat untuk mendaki, Bec?" TF tertawa kecil dengan perkataannya.
Lagi, Becca hanya tertawa saja. Semua orang di rumah sakit tempat dia bekerja tak tau kondisi Freen, sang pacar. Dia tak ingin memberitahu, bukan karena merasa sedih atau semacamnya, tapi dia hanya tak ingin menjelaskan tentang ini. Becca juga tak ingin dilihat iba atau pun kasihan dari orang lain karena kondisi Freen. Bagi Becca, cukup dirinya saja yang mengetahui itu di antara teman kuliahnya.
"Tidak ada alasan khusus, aku hanya ingin ke perdesaan yang damai saja." Becca tertawa lagi dengan jawabannya sendiri, untuk menutupi raut mukanya sebelumnya, saat memikirkan Freen.
TF mengangguk, suasana kembali hening. Perjalanan masih cukup lama untuk berbincang banyak hal, apalagi sekarang macet.
Wanita yang menyetir ini melihat tangan Becca, tanpa pikir dulu, dia bertanya, "Sudah berapa lama kamu dengan Freen, Bec? dua atau tiga tahun?" TF tidak mengingat hal itu. Namun, wanita ini mau bertanya tentang cincin atau semacamnya.
Becca tersenyum manis, jika ini tentang Freen, lengkungan indah itu akan nampak dibibir Becca, "Hampir lima tahun." Empat tahun lebih sedikit.
TF terkejut mendengar bilangan itu, dia melihat Becca dengan tatapan tak percaya. Becca yang melihat reaksi TF akhirnya tertawa, "Mengapa ekspresimu begitu, Teef?"