Dia tidak mendorongku pergi. Tapi, dia memintaku untuk tetap hidup. Itulah yang dia inginkan, aku tau itu. Aku memahaminya lebih dari dirinya sendiri. Aku tau, akulah orang yang berharga untuk dirinya. Mungkin, jika ada pilihan antara aku hidup selamanya dan cita-citanya terwujud saat itu juga, dia akan memilih yang pertama tanpa peduli akan hidupnya. Tapi, aku tak akan membiarkannya melupakan siapa dia, apa keinginannya, apa cita-citanya. Karena saat aku bersamanya, aku selalu merasa yakin, kami bisa mendapatkan keduanya.
- Freen Sarocha
_________________
/Flashback/
Ketika kakinya melangkah mundur meninggalkan seorang yang sangat dia cintai ini, sendiri tanpa dirinya, saat itu dia sempat berbisik pada hatinya, 'Kita terlihat kuat, kan? Kita... kuat, kan?' Namun, tak ada jawaban. Hatinya diam dan seolah menatap dalam waktu singkat itu wajah yang menangis dengan isakan yang menyedihkan. Matanya tak ingin melupakan wanita yang selalu dia tatap saat jantungnya berulah. Tubuhnya terlihat tak ingin berbalik dari wanita yang selalu memberikannya sentuhan hangat. Sungguh, saat itu, semua dirinya tak ada yang bicara selain menduga, Freen, Becca tidak akan melupakan kita, kan?
Sebab, jarak terlalu menyusahkan. Mereka takut kehilangan.
Namun, dia tetap pergi. Berbalik dan berjalan dengan irama yang tak terlalu cepat, menjauh dari kekasih yang tak pernah dia duakan sedikit pun.
Sampai ketika, Freen berjalan ke arah tiga orang itu, di dekat lift rumah sakit ini. Lisa, Nam dan Rose. Si Pieris ini mengabaikan tatapan prihatin dari dua orang yang akan berangkat bersamanya, sekarang dia melangkah lebih dekat, tepat di depan dokter tinggi ini. Freen menatap sejenak sebelum berkata, "Lisa. Aku berhutang budi padamu, terima kasih sudah membantunya, menyelamatkannya. Terima kasih."
Lisa tak menjawab, dia hanya menghela napas dan tersenyum saja, dia mengangguk dan ingin berkata, tidak masalah, itu bukan masalah besar. Tapi Freen segera berkata, "Saat aku di sana, tolong jaga Becca. Jaga dari jauh, jangan nginap di apartemenku ataupun menyentuhnya. Kamu bisa melakukannya?"
Dokter tinggi ini menatap sejenak sebelum tertawa kecil dan berkata, "Apa yang kamu khawatirkan? Dia tak akan berpaling darimu, kamu tau itu." Lisa berharap Freen membalas dengan nada yang sama, menerima candaan. Tapi ternyata, tatapan Pieris ini tampak tak main-main dengan perkataannya. Akhirnya, Lisa mengangguk dan berkata, "Aku tidak akan menyentuhnya, aku akan menjaganya. Itu sudah cukup?"
Mendengar itu, Freen tersenyum sedikit dan mengangguk. Dia berkata dengan dua orang yang sedari tadi masih saja menatapnya dengan tatapan kasihan itu. "Kita ke apartemenku dulu, ambil koper dan langsung pergi ke Bangkok." Tanpa menunggu jawaban, Freen segera berbalik dan menuju lift rumah sakit.
Nam menyusul dengan cepat, Rose juga. Tapi Nam yang berada di samping Freen itu berkata saat pintu lift tertutup, "Kita bisa menunda pergi, Freen. Kamu bisa menemaninya, Tuan Shon juga bilang begitu. Tidak apa-apa tiket kita hangus, kamu bisa di sini untuk sementara."
Rose diam, dia menatap wajah Freen dari pantulan lift tersebut. Sejujurnya, dia tau apa yang Freen inginkan. Pergi sekarang juga, transplantasi, dan sembuh lebih cepat. Freen takut kehilangan kesempatan. Dan benar saja, Freen berkata dengan nada pelan itu, "Nam, aku masih merasa menyesal saat membuang kesempatan yang pertama. Sekarang, aku sama saja seperti Becca. Aku ingin cepat-cepat ke sana dan ingin operasi saat ini juga. Aku tidak ingin menunda walaupun sebentar saja." Freen menghela napas sebelum berkata, "Becca baik-baik saja di sini. Dia bilang, dia akan baik-baik saja." Perkataan itu seolah meyakinkan dirinya, ini yang terbaik.