Kata orang, kecemasan datang dari ketidaktahuan. Tak bisa memprediksi kejadian yang akan datang membuat perasaan yang sebelumnya tenang berubah menjadi gemuruh yang kilatnya sesekali menyambar hatinya yang lemah. Namun, untunglah, rasa cemas itu tak berhasil mengendalikan seluruh diri mereka. Sebab, masing-masing hati memiliki niat yang sama. Yaitu, ingin melindungi. Oleh karena itu, mereka tak terlalu fokus pada perasaan dingin di telapak tangan mereka, melainkan berusaha untuk berpikir dan mencari solusi atas apa yang telah terjadi kali ini.
Tapi ternyata, kata ingin melindungi ini membawa satu perkara di antara mereka. Tak ada yang ingin mengalah, semuanya tetap saja keras kepala dengan perkataan, 'Aku yang akan melakukannya, kamu jangan melakukan itu.'
Apa yang terjadi?
Sebenarnya, semua ini berawal dari panggilan yang beruntun dari nomor penguntit itu di ponsel Becca. Sekitar ratusan misscall dalam kurun waktu enam jam itu membuat Becca akhirnya mengangkat panggilan itu walaupun Freen telah melarangnya. Hingga ternyata percakapan itu berlangsung, lelaki itu berkata di antara tawa garing yang tak enak didengar, 'Aku ingin bertemu denganmu, kamu di Hua Hin, kan? Aku hanya ingin berbincang sebentar.'
Saat itu Becca malah menyetujuinya, bukan karena alasan yang klasik ingin bertemu dan menambah teman. Tidak mungkin! Itu alasan yang gila. Namun Becca berkata pada Freen bahwa dia ingin menyingkirkan lelaki ini dengan cara membuat Nop mengaku bahwa dia ingin mencelakai Freen dan telah menguntitnya. Ya, sederhananya, Becca ingin mencari bukti untuk menjebloskan Nop ke penjara. Di antara niat lainnya yang tidak dia ucapkan, Becca ingin Nop melakukan sesuatu pada dirinya yang membuatnya bisa mendapatkan bukti lebih. Dia tau, ini terdengar nekat, tapi dengan cara ini, Nop pasti tak akan ada lagi kesempatan menghirup udara segar. Dengan begini, Freen tidak akan bertemu dengan lelaki penguntit itu.
Tapi Freen tak membiarkan semua itu terjadi.
Freen menatap Becca dengan tatapan kesal, dia berkata, "Becca? Apa yang kamu pikirkan? Jangan terlalu naive, jelas dia terobsesi padamu. Aku tidak akan membiarkanmu mendatanginya, jadi serahkan saja semuanya padaku. Jackson sebentar lagi akan datang, aku yang akan membuatnya jera karena semua ini. Bukan kamu. Paham?"
Belum selesai, Freen berdiri dan menatap istrinya dengan amarah lainnya, "Aku tidak setuju dengan ide itu. Kamu pikir kalian akan bertemu, berbincang saja dan tidak akan terjadi apa pun!? Dia stalker! Dia penguntit, Bec. Kita tidak tau apa yang dia rencanakan dalam waktu singkat yang kamu berikan padanya. Mungkin saja, dia akan menyentuhmu karena berpikir itulah peluang untuk mendekatimu." Menatap lagi, sekarang napas Freen sudah sangat berat, "Dengarkan perkataanku. Serahkan semua ini padaku. Aku akan menemui lelaki itu malam ini." Freen menunggu Becca menjawab perkataannya, namun ternyata si calon dokter ini hanya membalas tatapan Freen seperti memikirkan banyak hal.
Saat Freen ingin berbalik dan pergi ke kamar, Becca berkata, "Tidak. Kamu tidak boleh menemuinya. Dia ingin bertemu denganku, bukan dengan kamu. Jangan buat aku cemas, Freen. Aku tidak mau kamu menemui lelaki itu."
Tak menunggu lama, Freen menatap Becca dan membalas perkataan itu, "Aku tidak sendirian. Aku akan meminta Jackson bersamaku. Kamu.." Freen menghela napas, dia berkata dengan lembut kali ini, "Dengarkan perkataanku, sayang. Dia berbahaya. Aku tidak mau kamu terluka, aku tidak sudi jika dia menyentuhmu walaupun ujung rambutmu saja. Aku mohon. Turuti perkataanku." Saat mengatakan ini, tatapan Freen kembali tajam lagi. Sebenarnya amarah itu masih saja memenuhi isi hatinya, jika boleh, dia ingin bertemu dengan Nop sekarang juga. Dengan begitu, dia bisa melampiaskan amarahnya pada lelaki yang mengambil foto istrinya diam-diam itu.
"Dia tidak akan melukaiku, aku jamin itu. Kalau mau, biarkan Jackson mengikutiku diam-diam saat aku bertemu dengannya. Serius, Freen. Ini adalah solusi-"