Cerita hidupnya, tak ada yang berani mengungkit meskipun dengan pelukan hangat. Ayahnya, mertuanya, dan teman kekasihnya. Semua orang di ruang tamu itu saling berbincang tentang hal sederhana. Sementara tentang New York, transplantasi dan bahkan, pulang, menjadi tema yang dihindari. Sebenarnya, setelah pulang dari universitas sebelumnya, Freen berkata, 'Nam, Rose dan Kirk sudah menunggu kita di pelabuhan. Ayahmu memesan kapal pesiar kecil, kapal pelasir. Kita akhirnya bisa jalan-jalan, sayang.' Tapi Becca malah menatapnya tajam dengan air mata yang berlinang. Kekasihnya segera berbalik dan pergi begitu saja. Ternyata, Becca mengurung diri di kamar. Dia tak ingin ke mana-mana.
Freen sudah mengetuk pintu itu dua kali. Tapi, Becca tak membukanya. Sedangkan semua orang di rumah ini sedang menunggu untuk berangkat ke tempat tujuan. Tuan Armstrong sungguh menyewa kapal itu dengan harga yang sangat fantastis. Semua itu hanya untuk keinginan menantu kesayangannya.
Pieris ini hanya duduk sambil mendengarkan perkataan Tuan Armstrong tentang perjalanan saat dia muda dulu, memancing ikan yang sangat besar. Semua orang terlihat memaksakan diri untuk tampak baik-baik saja dengan kedua mata Freen yang sedih karena Becca mengurung diri. Jika boleh jujur, Yuki ingin sekali memarahi Becca karena sudah mengabaikan Freen dalam dua jam ini. Tapi, melihat orang dewasa di sini seolah tak melihat masalah itu, Yuki pun ikut-ikutan tak menggubris apa yang terjadi antara keduanya.
Hingga saat Nyonya Rach tertawa karena suaminya berkata, aku gagal menangkap ikan itu karena istriku menghubungi harus pulang. Kalau tidak, dia minta cerai, suara kunci kamar itu terdengar, namun pintu itu masih tertutup. Semua orang juga tiba-tiba diam. Seolah, akhirnya, dia membukanya.
Freen yang tersenyum dengan perbincangan sebelumnya seketika menoleh ke arah pintu. Hatinya lega. Pieris ini meminta izin untuk ke kamar, dia menjalankan kursi rodanya dengan pelan ke sana, membuka pintu kamarnya dan menutup pintu itu kembali. Di sana, Becca duduk di pinggir kasur sambil membelakanginya. Freen menghela napas saat Becca terlihat menyeka air matanya.
Belum mendekat, Freen masih membuat jarak. Sejujurnya, dirinya tak siap menghadapi tangisan Becca lainnya di hari ini. Becca sudah menangis banyak. Dan dia tau, semua itu karena ulahnya. Freen ingin minta maaf, namun kata maafkan aku telah membuatmu menangis itu tak bisa dia katakan dengan lantang. Kata penyesalan itu ternyata sangat berat untuk diucapkan, Freen mengakui ini.
Hingga akhirnya, Becca menoleh dan melihat dirinya dengan tatapan tajam yang penuh kesedihan. Dengan suara serak itu, Becca berkata, "Sini. Di depanku."
Dalam diam, Freen menjalankan kursi rodanya dan sekarang dia berada di depan istrinya, menatapnya dan berusaha untuk tersenyum. Namun, sepertinya bibirnya tak melengkung dengan indah, sebab Becca kali ini terlihat marah. Bahkan tangan istrinya mengepal dan mata itu, dia ingin menangis lagi? Sampai kapan? Freen ingin sekali menanyakan itu, tapi tak bisa. Dia tak punya hak untuk menghentikan kesedihan itu, karena dia sadar, dirinyalah yang membuat air mata itu selalu mengalir.
Sekarang, tangan Freen menyeka air mata istrinya, kiri dan kanan. Air mata itu terasa hangat, tapi Freen yakin, hati Becca tidak. Pieris ini tersenyum lirih, menatap mata yang terlihat sangat sendu melihatnya. Freen berkata dengan lembut, "Sayang, aku tau kamu marah padaku. Marahlah, aku siap dimarahi."
Tapi air mata Becca malah mengalir, alisnya berubah sedih lagi. Dengan hatinya yang tak kunjung cerah, Becca berkata, "Aku memang mau marah padamu. Aku benar-benar ingin meneriakimu dan memukulmu dengan kuat. Rasanya, aku ingin menamparmu karena telah membohongiku. Tapi," Becca terisak lagi, dia menunduk dan menangis lagi. Sungguh, dia tak bisa menghentikan tangisan itu, "Apa yang bisa aku lakukan? Kamu memang setega itu padaku. Kamu memang jahat padaku. Aku hanya bisa menangis dengan semua ini. Sayang," Becca melihat Freen dengan wajah yang basah, namun tak ada yang bisa dia katakan lagi selain merasakan wajahnya dielus dengan lembut. Juga, Freen tak menangis sedikit pun.