"Terima kasih, pak." Becca buru-buru keluar dari mobil sedan itu, dia berlari menutupi kepalanya untuk melewati hujan menuju rumah sakit. Tidak jauh, hanya beberapa langkah dia sudah sampai di pintu utama. Becca berlari lagi dan menanyakan kamar Freen Sarocha di staff depan. Staff tersebut memberitahu bahwa Freen ada di kamar vip. Dengan cepat, wanita ini berlari lagi ke ruangan tersebut.
Becca menaiki lift dan perasaannya sungguh tak sabar untuk menemui Freen. Rasa kesal dan marah itu masih ada, namun perasaan khawatir lebih menguasai calon dokter ini.
Tuhan, jangan pernah mengambil Freen dariku.
Itulah kata-kata Becca selama di mobil sebelumnya. Hatinya masih saja pilu dengan semua yang terjadi hari ini, naasnya Becca menghadapi situasi mulai dari tau kondisi Freen dari tuan Shon, lalu Freen tak ada di rumah, ketahuan menyadap ponsel, Freen kabur dari rumah, dan mendapat kabar bahwa pacarnya pingsan, semuanya terjadi hanya dalam satu hari. Becca merasa dirinya seolah ditempah menjadi lebih kuat dalam waktu singkat, Becca dipaksa untuk menghadapi semua ujian ini tanpa diberi peringatan terlebih dahulu.
Sungguh, hatinya seakan berkata, Kapan semua ini berakhir? Aku ingin hidup tenang dengan Freen.
Namun, tampaknya Becca sadar, bahwa inilah kehidupan yang harus dia lewati jika bersama Freen. Sebuah kekhawatiran takkan pernah meninggalkannya. Becca harus rela memeluk perasaan itu di mana pun dan kapan pun selama Freen ada di sampingnya. Dan ketika dia membuka pintu Vip itu, lalu mendekati Freen yang sedang duduk dan terlihat pucat, saat itulah semua perasaan itu Becca terima dengan lapang dada. Dia merangkul semuanya demi Freen, Becca merasa dia harus lebih kuat dan tidak cengeng lagi agar Freen sadar bahwa dia bisa diandalkan.
Tangisan itu dia tahan, namun sayangnya, cara dia menahan tangisan tersebut seperti orang yang sedang marah. Calon dokter ini sebenarnya tak lagi marah, perasaan itu sudah hilang dan sirna. Tapi apa daya, dia belum terbiasa kuat jika di samping Freen.
Becca masih saja berdiri di depan Freen, menatapnya, dan memperhatikan wajah itu. Hatinya juga terasa sakit saat melihat mata Freen yang tampak baru saja sudah nangis, Becca ingin tanya mengapa, namun suaranya masih menahan tangisan itu.
Aku harus kuat, Freen tak membutuhkan pacar cengeng.
Aku harus kuat agar Freen bisa mengandalkanku.
Aku harus lebih kuat, Freen membutuhkanku.
Namun, sayangnya kata-kata itu tak bertahan lama. Saat dia melihat pacarnya menghela napas sambil tersenyum. Freen menarik tangan Becca dan memeluknya dengan lembut. Tampaknya penulis ini tau bagaimana perasaan Becca seluruhnya.
Becca masih menahan tangisnya dalam pelukan itu, hingga akhirnya Freen berkata, "Tak apa, menangislah. Jangan sok tegar, kita melewati banyak hal hari ini." Dengan perkataan itu, Becca menunda masa tegarnya. Dia akhirnya menangis dan mengeratkan pelukan itu. Air matanya berlinang dengan cepat, semua kesedihan yang tertahan itu akhirnya ditumpahkan semuanya.
Freen hanya tersenyum dan menggeleng saja. Masalahnya dia merasa aneh pada dirinya, melihat ekspresi Becca yang menahan tangis sebelumnya, membuat rasa kesalnya tentang penyadapan itu luntur seketika. Sekarang, Freen mengelus punggung Becca beberapa kali, dia bahkan tertawa kecil, namun iya, tawa yang masih sangat lemah.
Setelah cukup lama, Freen akhirnya berkata pada wanita yang masih saja memeluknya, dan juga suara tangisan itu tak terdengar lagi, sambil tersenyum penulis ini berkata dengan lembut, "Kalau saja tangisanmu itu mutiara Bec, aku rasa kamu sudah kaya raya sekarang."
Becca tertawa kecil dalam pelukan tersebut, dia masih saja tak ingin pisah. Seakan ingin merasakan semua kehangatan itu. "Mm, sayang sekali aku bukan putri duyung, Freen."