Sinar lampu mobil tak menyala lagi, hening tidak peduli dengan suasana yang dia temani, dua insan masih duduk dengan dua perasaan yang berbeda. Satu penasaran dengan alasan yang akan dikemukakan, satu perasaan lagi penuh dengan pertimbangan apakah harus jujur tentang ulahnya atau mencari alasan lain. Tapi yang pasti, seatbelt itu masih saja menahan mereka. Hingga akhirnya helaan napas Freen terdengar, sengaja dihembuskan dengan kuat sebagai tanda jenuh akan kesunyian yang tak berakhir dari tadi.
Freen berharap Becca mengatakan sesuatu saat perjalanan pulang sebelumnya, namun wanita di sampingnya ini sungguh hanya diam seolah berpikir banyak hal. Dan juga, Freen bisa melihat bahwa Becca tak membawa tasnya, sebab Freen tau Becca masih menggunakan baju yang sama saat pergi ke rumah sakit pagi tadi, ini tandanya dia baru saja pulang dari magang. Freen ingin menanyakan ini sebelumnya, Freen hanya tak mau esok hari nanti kekasihnya ini beralasan lagi untuk pergi dengan TF karena alasan temannya mengantarkan tas dan sekalian saja ikut ke rumah sakit. Oh tidak, itu tidak bisa. Freen tak mau itu terjadi, apapun alasannya lagi, Freen yang akan mengantarkan Becca. Titik.
Namun, Freen belum ingin menanyakan hal ini. Dia merasa ini bukan waktunya membicarakan tentang tas dan TF. Freen ingin membicarakan tentang kita.
Angin malam tampak membuat sedikit keributan di luar mobil, pepohonan adalah lawannya. Freen menatap semua ulah angin itu sambil menghela napas untuk kesekian kalinya. Akhirnya, Freen membuka tali pelindung itu, keluar dari mobil, dan segera melangkah pulang ke rumah. Namun, setelah empat sampai lima langkah hampir sampai rumah, Freen terhenti dan menghela napas lagi. Sebab dia tak mendengar pintu mobil terbuka, itu tandanya Becca belum keluar dari mobil itu.
Ketika dia berbalik, Freen masih bisa melihat Becca masih saja seperti tadi. Menunduk dan tampak takut. Akhirnya rasa bersalah setelah mengatakan kata-kata sebelumnya kembali lagi dalam diri Freen.
Freen, lihatlah apa yang kamu perbuat.
Freen akhirnya berjalan menuju mobil, dan membuka pintu itu. Becca masih menghindari tatapannya. Tangannya tampak gugup atas kehadiran Freen.
Masih dalam diam, Freen membuka seatbelt tersebut. Dia menatap lagi wanita itu dan melihat tangan Becca. Apa perkataanku terlalu kasar sebelumnya? Bisik Freen dalam hati. Ditatapnya wanita yang terlihat gugup itu, senyum Freen belum melengkung, namun alisnya mengartikan maafkan aku. Tapi tidak, dia tidak mengatakannya, Freen diam saja. Lalu dengan lembut dia menumpukan tangannya di atas kedua tangan Becca yang terasa dingin, Freen mengelus sedikit dan berkata, "Di sini dingin, ayo kita masuk." Suara Freen tidak terlalu kuat, cukup untuk Becca dengar.
Calon dokter ini tersentuh dengan sikap Freen, dia kira Freen tak ingin berbicara dengannya. Sebab selama perjalanan pulang, dia juga menunggu penulis ini untuk mengatakan sepatah kata, namun tak ada sama sekali. Selain itu, Becca juga takut melirik Freen, perkataan dingin Freen sebelumnya sungguh membuatnya cemas. Lagi, ini tentang kata putus yang Freen lontarkan.
Selama ini, Freen tak pernah mengatakan hal itu sama sekali, Becca pun juga tak pernah menggunakan kata itu walaupun sekadar bercanda. Oleh alasan inilah, hati Becca tampak menyalurkan kegugupannya pada tangannya, bergetar dan dingin. Dia bahkan sudah membayangkan hidupnya tanpa Freen saat itu, kosong, hampa dan sakit. Becca memang belum bisa merasakan patah hati, namun memikirkannya saja sudah mengerikan. Becca takut Freen meninggalkannya, dia bahkan sudah menyalahkan dirinya berulang kali karena ini.
"Bec?" Tanya Freen dengan hati-hati.
Becca menatap Freen dengan perasaan yang sama seperti sebelumnya, sedih. Raut muka Freen menjadi pusat perhatiannya, dia ingin mencari tanda-tanda, apakah Freen masih marah padaku. Dan ternyata, air muka yang tampak lembut dia dapatkan. Becca akhirnya mengangguk sedikit, dan turun dari mobil. Tangan Freen masih menggenggam tangannya, tangan Freen hangat, itulah yang dia pikirkan.