Happy Reading!
•••
Jenggala tersenyum ketika Madafa menelponnya jika Putia baru sadar beberapa menit yang lalu. Ia keluar dari kelas dan berlari menuju parkiran. Perasaannya meletup-letup, Jenggala sungguh tidak sabar ingin bertemu dengan Putia setelah gadisnya tersadar.
Guntur dan Pasha sudah tau semuanya soal ini, Jenggala juga mengatakan jika Dimas meminta dirinya untuk mencabut tuntutan Rebecca. Pria paru baya berperut buncit itu mengundurkan diri dari perusahaan karena merasa benci pada anak dari bosnya, Dimas merasa perusahaan itu akan menghubunginya kembali mengingat jabatannya sebagai mandor kontruksi sangat di butuhkan. Tapi, Dimas tercekat ketika pengajuan pengunduran dirinya langsung di ACC tanpa menunggu satu bulan sesuai ketentuan perusahaan.
”Jengga!”
Jenggala berdecak saat baru saja menyalakan mesin motor. Ransi menyengir dan naik tanpa di perintah membuat Jenggala mendelikkan mata, biarlah Ransi seenaknya ia sedang tidak ingin mood nya turun karena pria di belakangnya ini naik ke boncengannya.
”Ke rumah sakit kan? Bestie gue udah sadar ya?”
”Kalo mau ikut, jangan bacot!”
Kemudian Jenggala diam, ia fokus mengendarai motornya hingga sampai di rumah sakit. Tanpa memperdulikan Ransi yang ada di belakangnya, Jenggala langsung berlari menyusuri rumah sakit dan masuk ke ruangan dimana ada kekasihnya disana.
Jenggala bisa bernafas lega ketika melihat Putia sudah duduk meski gadis itu sempat menunduk, Putia tersenyum sebelum Jenggala mendekat ke arahnya, duduk di sisi brankar dan memeluk tubuhnya. Seperti sekian purnama tidak bertemu, keduanya memeluk penuh kerinduan, Jenggala lagi-lagi meneteskan air matanya begitupun dengan Putia.
Jika saja ini sebuah film atau Drama romantis, mungkin adegan ini akan di di latar belakangi lagu yang menusuk hati seperti milik Ed Sheeran atau lagu-lagu milik James Arthur. Jenggala masih memeluk Putia, menyalurkan rasa rindu yang tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata sekalipun, ia benar-benar merasa takut Putia tidak membuka mata kembali, ”Jengga, aku berdarah.”
Jenggala melepas pelukan ketika Putia sebisa mungkin menampung darah yang keluar dari hidungnya, Ransi yang baru melihat adegan romantis di susul adegan panik lantas membantu untuk memanggil dokter. Jenggala mengambil sekotak tisu yang ada di nakas, membantu Putia membersihkan darah yang mengalir dari hidungnya, tak hanya itu Jenggala juga mengusapi jemari Putia amis darahnya sendiri.
”Gara-gara aku peluknya kekencangan ya?”
Putia terkekeh kemudian menggelengkan kepala, hingga dokter datang membuka pintu di susul Ransi di belakangnya, Jenggala menyingkir memeriksa keadaan Putia, di rasa tidak ada yang perlu di khawatirkan dokter pun pergi menyisakan perasaan lega di hati Jenggala.
Melihat ke khawatiran itu, Putia menggenggam sebelah tangan Jenggala kemudian tersenyum kecil, ”makasih,”
Jenggala mengusap rambut Putia, sementara Ransi duduk di sofa bersama Madafa. Bocah SMA itu seolah bodo amat dengan apa yang terjadi pada kakaknya, mimisan tiba-tiba, karena merasa sudah ada Jenggala.
”Gue juga panggilan dokter, put.” ujar Ransi.
Putia beralih padanya, ”iya, makasih Rani.”
”Oke sayang,” jawab Ransi.
Mendengar itu Jenggala meliriknya tajam, apalagi mendengar panggilan yang tidak biasa ia dengar dari Putia. Rani? Hah, apakah itu panggilan manis sesama bestie, mengingat saat KKN dulu, Putia juga pernah memanggil Ransi seperti itu, mendapat tatapan tajam Ransi memalingkan wajah dan Putia kembali menggenggam tangan Jenggala, membuat perasaan kesal pada pria itu tiba-tiba menghilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai, Jengga!
Short Story[KKN SERIES PRIME] Nama gadis itu, Putia Asmiranda. Dari SMA, Jengga suka pada Putia. Sampai masuk Universitas, Jengga masih suka padanya. Dan, sampai pada masa KKN, Jengga tak ingin hilang kesempatan. Satu kelompok dengan Putia bukan kebetulan, mel...