28

7K 550 19
                                    

Komen ya, biar aku semangat!

Komen bentuk kritik juga gapapa guys, aku tunggu.

•••

Kata Jenggala, Putia harus istirahat.

Pria itu tengah mandi, dan Putia menyusuri sudut-sudut Apartemen yang Tyas katakan milik Jenggala secara pribadi. Gadis SMA itu sudah pulang dua puluh menit yang lalu setelah berganti baju dengan kaos yang ia bawa dari rumah, ia jadi mengingat seseorang, mungkin usianya sama dengan adik perempuan Jenggala itu.

”Bosen,” ujarnya. Padahal ia baru beberapa jam disini, namun entah kenapa rasa tidak enak tiba-tiba menyeruak. Barang-barang miliknya dari rumah sudah teronggok manis di kamar, seorang kurir mengantarnya sampai depan pintu membuat Putia sempat mengerutkan kening sebelum Dimas mengirim pesan.

Apakah ia di usir dari rumah?

Obrolan beberapa jam saat Dimas datang ke gedung Apartemen ini, Putia mengingat sekali jika Papa tirinya menyerahkan dirinya pada Jenggala karena ia percaya, pria itu bisa menjaganya, ”maafin, Becca ya, put.”

Putia bisa apa selain menganggukkan kepala.

”Jangan laporin Becca ke polisi ya,”

Putia mengangguk lagi, ia tidak bisa menolak permintaan dari Papa tirinya, mau bagaimana pun selama ini hidupnya di tanggung pria paru baya itu. Dimas mengusap rambut Putia sebelum pergi, menyisakan helaan nafas panjang.

”Will you be mine?”

”Marry me?”

Putia kembali ke ruang tengah, TV masih menyala sedari tadi. Ajakan Jenggala jelas mengagetkan dirinya, menikah di usia muda tidak pernah ia pikirkan sebelumnya, apalagi yang mengajaknya itu adalah Jenggala, manusia yang mustahil untuk bisa ia gapai.

Jenggala membuka pintu kamar, menemukan Putia tengah menonton TV. Tidak, lebih tepatnya gadis itu tengah melamun. Jenggala memang terburu-buru, tapi sungguh ia tidak ingin gadisnya celaka kembali.

”Put, aku bikin kamu gak nyaman ya?”

Gadis itu memegang dadanya, ia kaget mendengar suara Jenggala yang kini sudah duduk di samping kanannya.

”Bisa gak sih gak usah ngagetin!”

Jenggala terkekeh, ”kamu yang ngelamun.”

”Emang iya?”

Jenggala mengangguk kecil memperlihatkan bahu kiri Putia yang masih terbungkus kain perban, gadis itu memakai kaos tanpa lengan, ”mau keluar? Bosen ya,”

”Jengga, emangnya aku boleh tinggal disini?”

”Boleh— sampai kapanpun,”

Putia terdiam lagi, ia tengah memantapkan hati agar bisa menerima ajakan Jenggala untuk menikah. Sementara pria itu memperhatikan gurat wajah Putia tampak bingung sekaligus menggemaskan di wajahnya.

”Gak usah dipikirin, put.” ujarnya.

Putia menghela nafas, ”tetep aja kepikiran.”

”Heh, aku orangnya penyabar tau. Kan kamu bukan gak mau nikah sama aku, karena ini terlalu mendadak kan?”

Putia mengangguk, ”tapi, Jeng. Apa yang buat kamu yakin mau menikahi aku? Kita baru aja kenal, lagipula kamu juga anak sulung Papi Mami kamu, besar harapan mereka—”

”Papi udah setuju aku nikah sama kamu,”

Putia terdiam, ”KAMU UDAH BILANG SAMA PAPI KAMU?”

”Iya,” jawab Jenggala polos, ia sempat terdiam beberapa detik ketika mendengar deru nafas Putia.

Hai, Jengga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang