32

6.3K 749 229
                                    

Apa mau cerita cerita ini pindah ke KaryaKarsa aja?

Sedih bgt sumpah jomplang sider sama votenya.

Di pencet ya tanda bintangnya, gak minta di kirimin duit kok, cuma pengen tanda bintangnya di pencet aja 🙏

Yuk yang belom jangan sider lagi.

Makasih kalo udah.

•••

Duduk di kantin makan mie ayam lengkap dengan bakso adalah kesenangan bagi Putia. Gadis itu sudah merasa lebih baik, bahunya sudah tidak kaku. Madafa sudah kembali padanya, bocah SMA itu berjanji tidak akan menghindar lagi meski akan tetap tinggal di kostan seperti lalu.

Hingga tiba-tiba, Jenggala datang membawa senyuman hangat di sore hari. Senyuman yang tidak luntur membuat Putia mengerutkan kening, ”kenapa?”

Jenggala melepas tasnya, mengambil sesuatu dari dalam. Lembaran warna putih gading dengan tulisan emas yang sepertinya itu adalah— surat undangan.

”Surat undangannya udah jadi,”

Pria itu terkekeh, Putia mengambil surat undangan. Ada nama dirinya dan Jenggala yang tertulis disana sebagai kedua mempelai, Putia menggigit bibir dalam meletakkan kembali surat undangan itu membuat kening Jenggala mengerut karena ia tidak menemukan ekspresi senang di wajahnya dan sebaliknya.

”Pake surat undangan?”

Jenggala tersenyum kemudian mengangguk.

”Jengga, kalo nikah dan keluarga aja yang tau, bisa gak?”

Putia mengigit bibir dalam menatap Jenggala dengan takut-takut. Jenggala melunturkan senyum, kemudian ia berpindah duduk di samping Putia, beberapa orang di kantin melirik keduanya terang-terangan. Jarang sekali pasangan baru itu terlihat duduk berdua di kantin.

”Kenapa, put?”

”Aku gak siap dengan spekulasi orang-orang kita menikah padahal kita baru aja pacaran. Aku takut kejadian pas SMA terulang. Apa kata orang-orang nanti kita menikah padahal belum wisuda, aku pengennya kita nikah gak undang siapapun kecuali keluarga.”

Jenggala terdiam, ia memalingkan wajah. Putia menunduk sebentar, melihat gurat kecewa di wajah Jenggala membuatnya serba salah, ”Put, gak bisa.”

”Kenapa?”

”Aku anak sulung Papi, cucu pertama Grandma. Mereka bahagia denger aku mau nikahin kamu. Keluarga besar kami, kolega Papi, bahkan dia orang paling bahagia karena aku serius sama kamu, aku gak bisa kalo kamu minta yang satu ini, put.”

”Bahkan, untuk hal ini Papi yang urus semuanya,”

Jenggala melepas genggaman tangan Putia membuat gadis itu merasa kehilangan beberapa detik. Jenggala menatap kembali wajah Putia, menatap ke dalam mata gadisnya dengan penuh harap, ”aku mohon, kamu cukup tutup telinga dan gak dengerin apa kata orang.”

”Aku gak mau bikin Papi kecewa,” ujar Jenggala lagi.

”Gak bisa, Jengga.”

Jenggala beranjak membuka Putia menahan lengannya.

”Mau kemana?” Jenggala melirik Putia beberapa detik dan melepas kembali tangan gadisnya yang masih duduk.

”Aku gak nyangka ternyata kamu se-egois ini, put.”

Jenggala melangkah pergi meninggalkan Putia di kantin,  meninggalkan keresahan di hati gadis itu yang kini terdiam menarik surat undangan warna putih gading dan menyimpannya ke dalam tas.

Hai, Jengga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang