22.

3.7K 95 2
                                    

"Kay...

"Bunda?" Ayah Bilal mengguncang pelan tubuh istrinya, ia khawatir karena tubuh istrinya yang bergetar dan berkeringat bahkan terus bergumam menyebut nama Kay.

"Bunda" panggil Ayah sekali lagi namun lebih keras.

"Kay!?" teriak Bunda Mira yang langsung mendudukkan dirinya, matanya menelisik ruangan sekitar dan beralih menatap suaminya.

"Mana Kay?"

"Sayang, dimana kamu! Jangan sembunyi" teriak Bunda Mira menatap sekeliling kamar ruangan berharap ia bisa melihat wajah Kay.

"Kay mana yah? Putri kita udah pulang kan?" tanya Bunda Mira, mata teduhnya mengeluarkan air mata. Membuat Ayah Bilal begitu tersayat melihat keadaan istrinya, pria itu mengambil tangan istrinya kemudian menggenggam nya.

"Bunda mimpi?" tanya Ayah Bilal pelan, mengusap lembut punggung tangan istrinya. Bunda Mira menghela nafasnya perlahan, benar apa yang suaminya katakan. Ia hanya bermimpi, wanita itu mengangguk mengiyakan pertanyaan sang suami.

"Bunda mimpi, Kay muntah-muntah yah. Apa Kay sakit diluar sana, putri kita kan punya magh" raut wajah pucat itu menampilkan ekspresi khawatir.

"Itukan cuma mimpi Bun, anak kita pasti baik-baik saja. Berdoalah agar putri kita kembali" balas Ayah Bilal membawa istrinya ke dalam pelukannya.

...

Pagi, terdengar suara Kay yang tengah muntah-muntah di dalam kamar mandi. Sejak semalaman ia terus mual, sampai pagi ini saat ia bangun pun keadaan nya masih sama. Kay bingung harus apa, wajahnya pucat pasi dan penuh dengan keringat.

"Dede gapapa kan?" ucap Kay mengelus perutnya yang sudah lumayan berbentuk.

"Kok sering banget mualnya bahkan parah" lanjut Kay, Kay melirik jam dinding yang menunjukkan pukul delapan pagi. Terpaksa dirinya tidak bekerja, tanpa memberitahu Farel karena ia tidak punya apapun untuk menghubungi laki-laki itu.

"Ded--

Huek

Tanpa aba-aba, Kay tiba-tiba saja muntah membuat lantai tempat ia duduk menjadi kotor. Kay terdiam, matanya berkaca-kaca dan perlahan butiran bening itu mengalir membasahi pipinya. Isakan demi isakan terdengar dari bibir perempuan itu, sungguh tak tahan dengan apa yang ia rasakan saat ini.

"Gus...

Gumam Kay disela tangisannya, disaat seperti ini seharusnya suaminya itu ada disampingnya. Keadaan sungguh tidak berpihak pada Kay, setiap hari dirinya berfikir apakah suaminya itu tidak mencari dirinya dan membiarkan ia pergi.

Kenyataannya Azzam hampir hancur karena rindu. Begitupun dengan Kay.

"Ya Allah, terlalu dalam engkau tanam rasa ini , hingga aku tak sadar aku telah tenggelam." Kay mengusap air matanya, tangannya meraih kain bekas untuk membersihkan lantai.

Disisi lain, Azzam tengah menenangkan Ning Dian yang sedang menangis. "Kenapa Gus selalu marah-marah sama saya" lirih perempuan itu menumpahkan air matanya di dada bidang Gus Azzam.

"Maaf, saya tidak bermaksud untuk menyalahkan kamu" balas Azzam mengusap punggung perempuan itu.

"Dian cuma mau Gus terima Dian, tanpa memikirkan Kay lagi karena Kay sudah pergi" ujar Ning Dian mengeratkan pelukannya.

"Iyaa, maafkan saya. Berhentilah menangis" laki-laki itu membantu menghapus air mata yang membasahi pipi Ning Dian.

"Dian boleh minta sesuatu?" beralih menatap Gus Azzam sepenuhnya.

"Apa?"

"Nikahi Dian dengan sah secara hukum maupun agama"

Gus Azzam terdiam, selama beberapa waktu mereka memang sudah menikah siri karena permintaan Abi Hanan. Tepatnya satu bulan yang lalu saat Kay pergi dari pesantren, paksaan dan paksaan membuat Azzam terpaksa harus menikahi perempuan di hadapannya ini.

Namun, walaupun Azzam menikah secara terpaksa ia tetap menjalankan kewajibannya sebagai suami tapi tidak dengan nafkah batin. Permintaan Ning Dian barusan berhasil membuat Azzam menahan gejolak amarah dari dalam hatinya.

"Istri saya satu, dan akan tetap satu selamanya. Walaupun di dunia ini banyak perempuan selain dia, tidak akan ada yang mampu seperti Kayna ku" sergah Azzam menjauhkan diri dari Ning Dian.

"Tapi Dian juga istrinya Gus " balas Ning Dian kembali menangis.

"Saya tidak mau tahu, yang saya tau saya menikahimu hanya karena terpaksa. Jangan harap kamu bisa mengambil posisi istri sah saya" timpal Azzam, membuat Ning Dian tidak bisa lagi untuk menjawab.

"Keluar dari kamar saya, saya tidak mau Abi dan Umi beranggapan lain" tukas Azzam, Ning Dian menggeleng.

"Bukankah seharusnya Gus memang melakukan itu" balas Ning Dian, alis Azzam berkerut. Begitu lancang wanita di hadapannya ini, sampai kapanpun ia tidak akan menyentuh perempuan lain selain istri sahnya.

"Jangan lancang Ning, karena saya tidak berfikir sampai ke situ" Azzam menggelengkan kepalanya tak habis pikir.

"Kenapa Gus? Apa Dian tidak menggoda?" Ning Dian berdiri, membuka hijabnya dan memperlihatkan rambutnya yang tergerai.

"Jangan macam-macam Ning, saya ulangi sekali lagi. Keluar dari sini" tegas Azzam meninggikan nada bicaranya.

"Sentuh saya Gus, Dian ingin menjadi istri Gus Azzam sepenuhnya" perempuan itu memegang bahu suaminya?

"Keluar, Ning Dian. Demi Allah saya tidak akan menyakiti perempuan " Azzam memegang tangan Ning Dian kemudian menjauhkan perempuan itu dari dirinya.

"Gus, saya mohon. Biar Umi Anna bisa cepat punya cucu, Kay tidak bisa hamil kan? Biar Dian saja yang kasih Gus Azzam keturunan" celetuk Ning Dian, Azzam mati-matian menahan amarahnya agar tidak meledak.

"Kamu tidak punya hak untuk mengatakan Kay tidak bisa hamil, sampai kapanpun saya tidak akan menyentuhmu" tekan Azzam meninggalkan Ning Dian sendiri di dalam kamar.

"GUS!!!" pekik Ning Dian, air mata sungguh mengalir karena sakit di hatinya mendengar jawaban menyakitkan dari Azzam yang nyatanya adalah suaminya juga.

Diluar, Gus Azzam pergi ke gazebo kayu di belakang Ndalem dan duduk disana. Kepalanya dibuat pening karena Ning Dian, sekarang ia jadi berfikir. Tidak mungkin Kay tidak bisa hamil, atau sekarang istrinya itu tengah mengandung darah dagingnya.

"Jika benar kamu sedang mengandung anak kita, saya harap kamu baik-baik saja disana" gumam Azzam menatap lurus ke depan.

Dilain sisi juga, Kay yang sudah sedikit baikan melamun memikirkan suaminya. Menatap nanar keluar rumah dari jendela kecil yang terpasang dekat pintu, "Gus apa kabar, tak ku sangka senyummu yang seindah senja dapat menimbulkan rasa sakit sedalam samudra" ucapnya tersenyum tipis mengingat senyum manis suaminya saat awal pertemuan mereka.

"Kenapa kisah kita harus seperti ini Gus" monolognya, seakan ditempat berbeda pikiran mereka sama-sama terhubung.

"Aku akan menunggu jika hasilnya adalah kamu, meskipun sudah hampir hancur karena rindu"
Azzam Afkara Syabil.

"Hanya bisa menikmati Rindu tanpa temu.. 🥀" Kayna Nafeeza Moara.
















TBC.

Gimana sama part kali ini?

Vote komen guys

See you next part!

Kay untuk Azzam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang