25.

3.4K 92 0
                                    

"Bagaimana? Undangannya sudah sampai?" tanya Pak Umar pada Farel.

"Sudah kyai, Farel berikan lewat pos" jawab Farel.

"Bagus, dia datang kan?" tanya Pak Umar memastikan.

"Datang kyai, dia langsung setuju"

"Alhamdulillah"

"Siapa tamu spesial itu rel" bisik Kay pada Farel.

"Gus Azzam dan istrinya, anaknya temen kyai" balas Farel.

Jleb

Hati Kay tertohok melihat foto pernikahan yang ditunjukkan oleh Farel, itu suaminya dan Ning Dian. Ternyata selama ini suaminya memang telah mempoligami dirinya, Kay memendam emosinya dan berusaha terlihat baik-baik saja.

"Tolong hilangkan rasaku padanya tanpa harus membencinya ya Allah, aku ingin saat bertemu dengannya nanti, aku bisa menyapa tanpa harus melibatkan rasa" batin Kay.

....

Sabtu pagi, Ning Dian bersemangat menata baju-bajunya dan Azzam di dalam satu koper. Walaupun ia tahu kedatangan mereka ke Bandung hanyalah untuk menghadiri undangan tapi ia bisa memanfaatkan waktu untuk berdua dengan suaminya.

"Mas, apa lagi yang mau dibawa" tanya Ning Dian pada Gus Azzam.

"Ga ada" singkat Azzam yang sibuk sendiri dengan ponselnya, mereka tengah menunggu Fahri kemudian akan berangkat memakai mobil.

"Iya mas" balas Ning Dian menghela nafasnya pasrah.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumusalam" sahut Azzam dan juga Ning Dian, dilihatnya Umi Anna yang berjalan ke arah mereka bersama Azza.

"Loh? Mau kemana" tanya Umi Anna melihat koper besar milik anak dan menantunya.

"Mau ke Bandung Umi" jawab Azzam membawa Umi nya untuk duduk di sebelahnya.

"Kalian mau bulan madu?" sergah Umi Anna menatap putranya.

"Tidak Umi, kami kesana karena ada undangan dari Pak Umar" jelas Azzam.

"Ohh, Umi kira kalian mau bulan madu" goda Umi Anna tertawa kecil.

"Nanti sekalian Umi" sambung Ning Dian tersenyum.

"Sok soan mau bulan madu, pelakor kok bangga" celetuk Azza yang sedari tadi hanya diam, gadis itu sekarang lebih memiliki aura dingin yang mencekam dari sebelumnya.

"Azza, kok ngomong gitu" tegur Umi Anna melihat senyum Ning Dian yang memudar.

"Emang kenyataan kok Umi, sadar dirilah mana bisa gantiin posisi Kay" sahut Azza menatap Ning Dian tak suka.

"Azza, tega banget kamu ngomong gitu " ujar Ning Dian menahan air matanya.

"Dih, sok mau nangis segala. Lo pikir gue bakal kasian? Enggak! Jijik gue liatnya" cetus Azza pedas, dan langsung melenggang pergi keluar halaman depan. Sementara itu Azzam hanya diam, sudah biasa jika adik sepupunya itu melontarkan kata-kata pedas pada istri keduanya.

"Dian, jangan masukin ke hati ya" Umi Anna memegang tangan menantu keduanya sambil tersenyum tipis. Ning Dian mengangguk dan duduk di sebelah Umi Anna.

"Kapan kasih Umi cucu" tanya Umi Anna tak sabar. Ning Dian melirik Azzam dan kembali menatap mertuanya.

"Sabar ya Umi, mungkin belum rezeki" bohong Ning Dian, nyatanya Azzam lah yang tidak pernah menyentuhnya.

"Iya nak, Umi tunggu"

"Fahri udah di depan, Azzam pamit Umi" laki-laki itu menyalami punggung tangan Umi nya dan membawa koper lalu keluar disusul dengan Ning Dian di belakang nya.

"Azza, Abang titip rumah" pesan Azzam pada Azza.

"Iya, Azza juga titip sesuatu" balas Azza saat sudah bersalaman dengan Gus Azzam.

"Tenang, nanti Abang bawain oleh-oleh " sergah Azzam mengelus puncak kepala Azza gemas.

"Bukan itu"

"Terus apa hm?" Azzam mencubit pelan pipi berisi Azza.

"Buang aja tuh si pelakor, ga usah dibawa pulang lagi" sinis Azza melirik Ning Dian tatapan tak bersahabat.

"Ada-ada aja kamu, Abang pergi dulu" Azzam masuk ke dalam mobil di samping Fahri yang menyetir dan Ning Dian dibiarkan sendiri di jok belakang.

"Dasar benalu! Kalo aja gaada yang belain dia udah patah tulang dia" geram Azza menatap Ning Dian dari balik kaca mobil yang mulai menjauh.

"Sahabat aku pergi entah kemana gara-gara dia" gumam Azza menahan air matanya.

"Hey, bocil Abang" Azza menoleh dan menatap laki-laki yang lebih tinggi dari nya.

"Ga boleh kasar banget ngomong nya, ntar kalo dia sakit hati gimana" sergah laki-laki itu mengelus kepala adiknya dengan sayang. Dari tadi laki-laki itu hanya menyimak semua perkataan adiknya pada Ning Dian, ingin menegur saat itulah tapi ia tahu bagaimana sifat Azza.

"Ga akan sakit hati orang kayak dia bang, soalnya ga punya hati" ketus Azza pada Davan Ayubi, kakak laki-laki Azza.

"Yasudah, intinya Azza harus bisa jaga lisan" Davan menarik pelan hidung mancung Azza.

"Iya" Davan membawa adiknya ke dalam rumah.

Disisi lain, lima jam perjalanan dari Jakarta ke Bandung akhirnya sampailah mereka di apartemen yang sudah disewa. Azzam sekamar berdua dengan Ning Dian dan Fahri di apartemen sebelah. Azzam langsung mandi dan bersiap-siap bahkan Ning Dian bingung kenapa suaminya itu rapi sekali padahal acaranya besok pagi.

"Mas mau kemana?" tanya Ning Dian menatap Azzam yang tengah menyisir rambut.

"Bertemu dengan Pak Umar" jawab Azzam tersenyum menatap dirinya di cermin.

"Dian ikut ya?"

"Terserah, saya tunggu di mobil" ucap Azzam berjalan keluar menuju mobilnya, Fahri ikut saja dan duduk di jok belakang. Tak lama menunggu Ning Dian datang kemudian duduk di samping Azzam yang menyetir.

Mobil itu melaju ke Cafe dimana akan diresmikan besok, sesampainya disana. Mata Azzam berbinar menatap seseorang yang selama ini ia rindukan, berbanding terbalik dengan Ning Dian yang membeku menatap perempuan itu. Perlahan, Azzam mendekat ke arah perempuan yang membelakangi nya.

"Kay?"

Deg

Perempuan itu menegang mendengar suara yang amat ia kenali, posisinya sekarang berdiri membelakangi dan Farel di depannya sambil mengobrol. Farel menatap Azzam dan menyambutnya, "Kyai di dalem, kalo mau ketemu langsung bisa masuk aja Gus" ujar Farel ramah. Azzam mengangguk saja, tatapannya tak beralih dari perempuan di samping Farel yang sudah menghadap ke arah nya.

"Farel ayo" ajak Kay memegang tangan laki-laki itu.

"Iyaa bumil, mau jalan-jalan kemana?" balas Farel memberikan tangannya untuk Kay pegang. Sementara itu, Azzam mengerutkan keningnya. Apakah Kay tidak mengenali dirinya?

"Tunggu" cegah Azzam ketika kedua manusia itu ingin pergi.

"Kay? Kamu gak kangen sama saya?" tanya Azzam tiba-tiba, mendekat dan memegang tangan perempuan itu. Farel yang bingung otomatis melepaskan tautan tangannya pada tangan Kay.

"Maaf, saya baru kenal anda hari ini" sergah Kay seolah-olah benar-benar tidak kenal, dilepaskannya tangan Azzam dan memundurkan tubuhnya beberapa langkah.

"Tidak mungkin, kamu Kay istri saya" desak Azzam kembali mendekatkan tubuhnya dan menggenggam erat tangan Kay.

"Farel siapa orang ini?" risih Kay melepas paksa cekalan tangan Azzam.

"Gus--

"Kay istri saya!" tegas Azzam membuat Farel terdiam.








TBC.

Wadu wadu wadu gimana nih mereka hhh

Sad end or happy end?

Kay-Farel?

Kay-Azzam?

Dian-Azzam?

Kay untuk Azzam Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang