Motor sport milik Gavin melesat memasuki wilayah Orion High School. Merapat pada jajaran motor sport lain yang sudah lebih dulu terparkir. Itu milik teman-temannya.
"Tumben jam segini, Vin? Biasanya lebih pagi"
Gavin menoleh, mendapati Oliv tengah melepas helmnya lalu merapikan rambutnya.
"Lah, lu sendiri?"
Mereka berdua memang seringkali datang bersamaan, dan biasanya memang lebih pagi dibanding saat ini.
"Gue jemput Noel dulu"
Gavin baru menyadari ada orang lain selain mereka berdua.
Noel yang merasa namanya disebut, melempar senyum pada Gavin. Gavin balas tersenyum dan mengangguk.
Setelah itu, Gavin hanya memerhatikan Oliv dan Noel yang perlahan berjalan menjauh, menuju kelas masing-masing.
Gavin terkekeh dan menggelengkan kepala ketika Oliv merangkul pundak Noel. Cewek tomboy itu punya kemajuan yang cukup pesat rupanya.
Gavin memastikan letak helmnya sudah benar, kemudian merapikan rambutnya sekali lagi. Tanpa sadar matanya terpaku pada tangan kirinya yang terbalut perban. Juga goresan panjang hingga ke siku.
Hal tersebut pasti akan mengundang perhatian orang. Gavin harus memikirkan jawaban yang tepat.
,—
Semua orang mengenalnya sebagai Gavin Junior Ainsley. Anggota club basket yang pesonanya menandingi kapten basket. Cowok ganteng dengan proporsi tubuh nyaris sempurna di Orion High School.
Tidak ada anggota basket yang tidak menjadi sorotan. Apalagi anggota inti. Termasuk Gavin yang sebetulnya jarang berinteraksi dengan orang lain selain teman dekat. Gavin bukan cowok wattpad yang dingin seperti kulkas dua pintu. Hanya saja dia cukup kalem dan tidak neko-neko.
Gavin bisa ditemukan di kelasnya 12 IPA 3, lapangan basket, kantin, atau basecamp anak basket yang letaknya di belakang aula. Atau, tanyakan pada Oliv.
Cewek tomboy yang masuk dalam jajaran murid famous Orion High School itu dikenal sebagai teman dekat Gavin. Mereka selalu bersama dengan Leo si kapten basket dan Ezra si kesayangan semua orang. Poin plus untuk Oliv karena berada di kelas yang sama dengan Gavin.
"Tumben baru dateng? Gavin mana?" Oliv memutar bola mata malas.
"Ada," jawab Oliv singkat. Malas sekali kalau harus membahas Gavin panjang lebar.
"Kenapa nyariin?" Gavin datang dan meletakkan tas tepat disebelah Oliv.
"Gapapa sih, tumben aja agak siangan. Btw janlup uang kas" Gavin mengangguki ucapan bendahara IPA 3 itu, Viona.
"pr dong Vin," Gavin menoleh malas pada Oliv yang kini bersandar pada tembok, menatap dirinya.
"Jemput Noel bisa, ngerjain pr kagak, huu," cibir Gavin namun tetap menyerahkan buku tulis miliknya.
"Kan ada lo, ngapain gue susah-susah ngerjain," Oliv tersenyum mengejek.
"Jadian?" Gavin mengalihkan topik dan terdengar tidak jelas. Oliv menghela napas lelah.
"Gue baru jemput dia sekali, anjing"
Gavin menoleh lagi, "lah? semalem gajadi jalan emang?" Oliv menghela napas lelah sekali lagi.
"Leo rese banget sumpah, liat aja nanti" sahut Oliv lalu kembali melanjutkan menyalin pr sementara Gavin hanya mengangkat bahu.
,—
"Ampun sumpah Liv! Gue beneran urgent banget kemaren dan perlu Noel banget, SUMPAH!" Leo bersimpuh dan mengatupkan kedua tangan di depan dada di hadapan Oliv.
Gavin yang tengah mendribble bola terkekeh kecil. Jujur saja, si kapten basket itu memang tidak ada harga dirinya di depan mereka.
Mereka saat ini berada di lapangan basket indoor. Mumpung jam kosong, Oliv menarik paksa Gavin untuk ikut membalaskan dendam pada Leo.
Ngomong-ngomong, Leo adalah sepupu Noel, cowok mungil incaran Oliv. Semalam Oliv sudah membuat janji untuk pergi dengan Noel, tapi Leo membatalkannya seenak jidat.
"Iya dah, awas aja lo ganggu lagi," Oliv berjalan menuju tribun lalu duduk di tribun paling bawah. Sementara Leo bersorak dan melompat kegirangan lalu menyusul Gavin.
"Eh buset, kenapa tangan lu?" Leo yang tadinya ancang-ancang ingin memasukkan bola ke dalam ring menjadi salah fokus ke lengan Gavin.
Leo mendekat dan meraih lengan kiri Gavin, melihat goresan panjang itu dengan lebih jelas.
"Gue baru nyadar tangan lo luka," Oliv beranjak dan ikut mendekat.
"Sampe di perban gini pasti parah kan?" Gavin menatap malas Leo yang membolak-balikkan tangannya.
"Biasa aja" Gavin menarik tangannya, meraih bola dari tangan Leo lalu melemparnya ke dalam ring.
Leo mendekati Gavin lagi, meraih wajah pemuda keras kepala satu itu, menyipitkan mata mengamati tampilan wajah Gavin.
Dilihat dari segi manapun, Gavin dan Leo terlihat hampir sama.
Proporsi tubuh, ketampanan, kepintaran, kelihaian, dan lain sebagainya. Bahkan skor mereka berdua saat merebutkan posisi sebagai kapten hanya selisih sedikit.Atau mungkin Gavin sengaja mengalah. Entahlah, hanya Gavin yang tau.
"Ih, tambah mesra aja kalian" Leo hanya menoleh sebentar ke arah pintu lalu kembali memerhatikan wajah Gavin, mengabaikan Ezra yang baru saja menginterupsi.
"Boong dah lu. Mata lu aja bengkak"
Gavin menggeleng keras, "ngaco lu"
Oliv yang penasaran juga ikut semakin mendekat lalu memegang kedua pipi Gavin supaya Gavin melihat dirinya.
"Kenapa sih?" Ezra linglung tidak tau apa-apa.
"Iya lo habis nangis nih"
Tuh kan. Mau pakai alasan apapun, mereka pasti akan menemukan sesuatu untuk membungkam Gavin. Ya bagaimana tidak, mereka sudah bersama selama dua tahun. Sudah hampir hafal tingkah laku masing-masing.
"Tuh liat, tangan Gavin" Oliv akhirnya menyahuti Ezra sembari menyusul Leo di tribun paling bawah.
"Ngeri banget, Vin. Udah di obatin kan tapi?" Gavin mengangguk kecil.
"Sini peluk," Ezra merentangkan tangan supaya Gavin masuk kedalam pelukannya. Pelukan Ezra memang obat untuk mereka. Meskipun badannya paling kecil, pelukan Ezra selalu terasa pas dan nyaman.
Ngomong-ngomong, jangan terlalu membicarakan tinggi badan! Nanti Ezra murka. Apalagi kalau membandingkan dia dengan Oliv. Kata Ezra sih, dia itu tidak pendek. Oliv saja yang nyemilnya tiang listrik, makanya tingginya kurang lebih sama dengan Leo dan Gavin.
new book 😔semoga bisa konsisten dengan yang ini.
soalnya udh ngerasa lost interest sma book sebelah.
mungkin krn kelamaan hiatus dan reader lama jg ga balik..
hope u like it!
see u again!
KAMU SEDANG MEMBACA
top position
De TodoKata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna. Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...