"Berani banget, heran. Apa gak takut di cancel gara-gara queerbaiting?"
"Siapa?" tanya Gavin, menoleh pada salah satu anggota tim sekolah sebelah.
"Leo"
Gavin menyodorkan botol minumnya ke Kean. "Aman. Bisex kok dia"
Kean yang sedang meneguk minum, tersedak.
"Anying, hahaha. Berarti aman semua lah ya. Kaga ada yang lurus lurus amat" Gavin tertawa kecil mengangguki ucapan cowok yang lebih tinggi sedikit darinya itu, Alan. Menoleh lagi pada Kean, memastikan cowok itu minum dengan benar.
"Apa gunanya bisex tapi kaga punya gandengan juga" ucap Kean disambut makian dari semua anak basket disana.
"Sangat menusuk, ugh!" Alan memegang dada kirinya dramatis. Gavin menggelengkan kepala dan terkekeh kecil.
Mendongak ke arah tribun, Gavin mendapati Ezra tengah menunjuk ke arah pintu lapangan dan menyebut nama Leo tanpa suara. Gavin mengangguk lalu memberi gestur oke dengan jarinya. Gavin terkekeh lagi melihat Ezra menarik lengan Oliv agar berjalan lebih cepat untuk segera menyusul Leo.
Gavin duduk meluruskan kakinya setelah puas minum air putih. Merogoh ransel kecilnya untuk meraih ponsel. Ada pesan tak terbaca dari Ethan dan panggilan tak terjawab dari Jordan.
Gavin membuka room chat Ethan lebih dulu, karena Ethan mengatakan sudah berada di depan sekolah untuk menjemput Gavin, maka Gavin balas akan segera keluar karena Gavin baru saja bertanding basket.
"Duluan, guys! Gue udah dijemput" pamit Gavin, memberi fist bump pada temannya satu persatu lalu melangkah pergi menuju gerbang depan.
Soal Leo, Gavin sudah menaruh kepercayaan pada Gara. Toh, Ezra dan Oliv juga mendatanginya. Gavin tau Leo akan baik-baik saja.
Hari ini terasa menyenangkan. Meskipun kemarin cukup buruk, tapi Gavin melaluinya dengan cepat. Gavin merasa sekelilingnya semakin merangkulnya erat, menahannya untuk tidak tercerai-berai.
Senyum Gavin mengembang melihat Ethan melambaikan tangan. Gavin semakin menambah kecepatan langkah kakinya.
"Hai, Gavin! How's your day?" tanya Ethan begitu Gavin memasuki mobil.
Itu adalah hal yang paling Gavin senangi dari sosok Ethan. Setiap Gavin memasuki mobil, Ethan selalu bertanya bagaimana hari Gavin. Apakah Gavin melaluinya dengan baik. Gavin selalu merasa hangat.
Ethan seperti sosok ibu yang berada di benaknya. Sosok ibu yang membelai lembut kepalanya diiringi lullaby indah ketika ia tidur di pangkuan. Di tengah padang rumput yang dihiasi bunga kecil-kecil ketika musim semi.
Perjalanan keduanya menuju kantor selalu ditemani pembicaraan hangat. Membuat hari Gavin semakin bersinar cerah dan hati bersemi penuh bunga-bunga.
Setidaknya sampai saat itu.
Karena ketika Gavin membuka pintu ruangan Jordan, Gavin melihat Jordan tengah mencium seorang wanita. Gavin tidak melihat wajah wanita itu karena posisinya yang membelakangi Gavin.
Senyum yang terpatri apik di wajah Gavin kini luntur. Gavin melangkah mundur, menutup kembali pintu lalu berbalik dan melangkah cepat kemana saja.
Langkah Gavin semakin pelan saat berada di dekat lift. Gavin termenung beberapa saat. Alisnya menukik bingung.
Kenapa dirinya lari? Kenapa Gavin merasa, eum, kecewa?
Gavin memegang dadanya. Ada perasaan aneh. seperti sesuatu menghantamnya perlahan.
Sial! Tidak mungkin kan kalau Gavin punya perasaan pada Jordan? Tidak bisa. Tidak boleh.
Jordan mungkin hanya menganggapnya sebagai seseorang yang lebih muda yang tiba-tiba menjadi bagian dari tanggung jawab. Jordan mungkin memang menyayanginya seperti Ed dan Ethan. Bukan seperti yang Gavin pikirkan.
Eh? Memang apa yang dirinya pikirkan? Sial! Gavin pasti hanya termakan asumsi orang lain.
Gavin mengelus dadanya yang bergemuruh sambil memejamkan mata. Ini hanya perasaan sementara dan dirinya akan baik-baik saja.
,—
Jordan mengetukkan jemari pada meja. Melirik jam di tangan, kemudian mengernyit heran. Gavin belum juga menampakkan batang hidungnya. Jordan meraih ponsel, hendak menghubungi Ethan karena terakhir kali menelpon Gavin, pemuda itu tidak menjawab.
Pintu lebih dulu di ketuk, membuat tujuan Jordan tertunda.
"Masuk!" perintahnya pada seseorang yang mengetuk pintu. Menoleh, Jordan melongo mendapati Gavin memasuki ruangan dengan langkah kikuk.
Apa ada yang salah? Tumben sekali pemuda itu mengetuk pintu.
Jordan menunggu Gavin hingga duduk di sofa seperti biasa kemudian menyusul duduk disebelahnya. Gavin menggeser tubuhnya memberi jarak membuat Jordan semakin terheran.
"You're weird. Tumben ngetuk pintu? Is someone bothering you?" Jordan melihat Gavin yang seperti tengah berusaha untuk tidak menatapnya.
"N-no. Ngetuk pintu kan basic manners. Emang salah?"
"Are you sure? Kalau bicara lihat orangnya, Gavin." Jordan meraih dagu Gavin agar menatapnya.
"Bohong ya? Say it! What's wrong?" Jordan mendekatkan wajahnya, menatap lurus mata Gavin yang selalu menghindar.
Gavin menyentak tangan Jordan dari dagunya, kembali memalingkan wajah.
"Tadi gue ga ngetuk pintu lo nya lagi ciuman!" pekik Gavin, semakin menolehkan kepala sepenuhnya, sama sekali tidak melihat Jordan.
"Hah?" Jordan terbengong. Ciuman? Kapan?!
"Bentar! Kapan? Gue? Ciuman?" Jordan meraih kedua pipi Gavin, menahannya agar tidak memalingkan wajah lagi.
"Tadi.. ada cewek..." ucap Gavin sambil terus menatap acak asal tidak wajah Jordan.
Seperti ada aliran listrik yang mengalir di kepalanya, Jordan bisa menyimpulkan apa yang di maksud Gavin.
"I'm not kissing anyone today, okay? Anyway! Kalau yang lo maksud cewek itu, dia cuma niup mata gue yang kemasukan serangga. Gue jamin lo salah sudut pandang aja oke?" Jordan menepuk lembut kedua pipi Gavin yang perlahan dihiasi rona merah.
"Oh, yaudah" cicit Gavin berusaha menahan senyumnya.
"Lagian gapapa juga sih kalo lo nyium cewek lo, gue takut ganggu aja" ucap Gavin lagi setelah bisa mengendalikan diri.
Jordan terkekeh. "Dia bukan cewek gue, mantan lebih tepatnya" Jordan dapat melihat raut wajah Gavin yang sempat berubah masam.
"Tapi dia udah punya cewek kok!"
"TMI!"
Gavin memalingkan lagi wajahnya yang semakin memerah. Kali ini Jordan tidak memaksanya untuk menatapnya lagi. Cukup tau melihat ujung telinga yang sangat merah itu.
yeay, double up! heheh
KAMU SEDANG MEMBACA
top position
RandomKata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna. Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...