Kata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna.
Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...
Gavin sama sekali tidak bisa fokus pada pelajaran hari ini. Menit pertama baik-baik saja lalu menit berikutnya Gavin tiba-tiba mengingat sesuatu yang membuatnya tersipu. Berakhir otaknya yang terasa kosong.
Begitu terus berulang-ulang sampai Gavin merasa kenyang.
Gavin melirik seisi ruangan kelas. Sekarang sedang jam kosong dan kelas menjadi tidak beraturan seperti biasa meskipun guru meninggalkan tugas. Mumpung Oliv pergi entah kemana, Gavin memutuskan untuk pergi keluar juga. Kemungkinan besar, basecamp basket sedang kosong.
Melamun sepanjang lorong, Gavin teringat perkataan Jordan tadi pagi.
"Nanti di jemput kak Ethan. Gue bakal sibuk selama satu minggu kedepan, ngurus masalah ini. Entah besok masih bisa nganterin lo atau engga, tapi kemungkinan besar mulai besok lo sama pak Sam."
Jordan memberi jeda sebentar hanya untuk mendengar Gavin yang berdehem kecil tanpa menoleh padanya.
"Hal yang perlu lo lakukan pertama adalah hubungi Vicky, kalau terjadi sesuatu. Kartu yang gue kasih wajib di pake, kalau kurang minta mom dulu. Terus, lo bisa ngapain aja di mansion terserah lo. Anggap aja rumah sendiri"
Jordan melirik lagi pada Gavin yang mengangguk-angguk lucu dan bergumam mengiyakan dengan mata yang sibuk melihat ke luar jendela mobil.
"Jangan mimpi buruk dan jangan sakit. Nanti gaada yang meluk lo, karena gue bakal sangat sibuk"
Gavin menyisir rambutnya ke belakang dan menundukkan kepalanya sembari mengulum bibir, menyembunyikan senyum. Ujung telinganya memerah.
Menepuk pipinya beberapa kali, Gavin harus sadar diri! Ini mungkin hanya perasaan sesaat dan... mungkin.. tidak seharusnya...
Ini adalah kesempatan yang bagus! Mari buktikan apakah perasaan ini nyata atau hanya sesaat saja dalam satu minggu ke depan!
Sejujurnya, bukan tanpa alasan Gavin mencoba menampik perasaan itu.
Perasannya yang timbul ini mungkin saja dapat menyusahkan banyak pihak. Lagipula, bisakah Gavin menjadi lebih serakah daripada saat ini? Keluarga Richardson sudah terlalu baik padanya. Setidaknya Gavin benar-benar pernah merasakan hangatnya keluarga walaupun hanya sementara.
Kompensasi-kompensasi ini dan itu dan segala hal yang Gavin dapatkan selama ini mungkin saja membuat dirinya terbang tinggi, hilang akal, dan tidak sadar diri. Gavin takut itulah yang memicu perasaan ini timbul. Gavin meragukan dirinya sendiri.
Tangan Gavin terulur untuk membuka pintu basecamp basket. Baru saja terlintas di kepalanya bahwa bisa jadi pintu terkunci. Namun ternyata tidak.
"Yakali sih baper sama bapak anak satuuu!! Huhuuuu otokeee"
"Tapi yang kemaren itu pelecehan gak sih? Harusnya gue tuh marah!!!! Kenapa seharian malah linglung kaga jelas! Emang anjing lu Leo!"
Gavin mengernyit, kemudian mendapati Leo yang berguling-guling di lantai berlapis karpet berbulu, belum menyadari kedatangannya karena sibuk berbicara sendiri.
Leo berguling ke kanan dan ke kiri sembari merengek-rengek tidak jelas. Ketika berguling untuk ketiga kalinya, Leo menyadari eksistensi Gavin lalu seketika membeku selama beberapa saat.
Gavin menahan tawanya melihat Leo menelungkupkan wajahnya. Menyembunyikan rona merah di pipi. Meskipun sia-sia karena ujung telinga hingga ke leher sama merahnya.
"Pfft! Apa tadi? Baper sama bapak anak satu? Gimana yo? Jilat ludah sendiri?" Gavin mendekat ke arah Leo yang merengek semakin nyaring.
"NGGAK! Gavinnn~ tolonginnn huhuu" Gavin terkekeh semakin nyaring melihat Leo meremat rambutnya frustasi, sejenak lupa bahwa dia juga mengalami hal yang sama.
"Kenapaa? Hahahha!" Leo menelusup, memeluk erat Gavin yang sudah duduk di sofa. Gavin balas memeluk dan memainkan rambut Leo yang acak-acakan, sesekali menyisir menggunakan jemari, menunggu Leo bercerita.
"Lu kan tau gue suka anak kecil... masa... kemaren... gue ditawarin sama sepupunya Gara yang punya anak satu itu... mau dikasih anak... YANG BARU! YANG MIRIP GUE! Huhuuu TAKUT!!!" Leo memundurkan tubuhnya lalu mengguncang tubuh Gavin.
"Itu pelecehan gak sih?! Pelecehan kan?!"
Gavin memejamkan matanya, pusing karena tubuhnya digoyangkan dengan brutal.
"Tapi lo nya malah kesemsem ya gimana ya Yo" Gavin membuka matanya sedikit, mengintip. Guncangan pada tubuhnya tiba-tiba berhenti. Leo masih memegang lengan atasnya, namun mematung seolah nyawanya dicabut begitu saja.
"SIAPA YANG KESEMSEM?! KAGAK ADAA!" Leo berteriak kencang lalu kembali telungkup di atas karpet.
Beberapa detik kemudian, Leo berbalik menjadi terlentang. Kali ini memasang wajah yang serius membuat Gavin mengerutkan alis.
"Ah sumpah ga enak banget anjing! Kenapa sih?"
Gavin menghela napas. Turun dari sofa, menyusul Leo berbaring di atas karpet. Berbantal lengan Leo yang terbentang, Gavin memeluk Leo dari samping dan menepuk-nepuk perut temannya itu.
Gavin tidak bisa melakukan apapun. Toh, Gavin juga tengah mengalami hal yang sama. Bergelut dengan isi kepalanya sendiri dan perasaan penuh di rongga dada.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Maaf baru update yahh. Akhir-akhir ini capek buanget dan selalu kehabisan waktu untuk ngetik.