Menghirup udara dalam-dalam di halaman rumahnya sendiri. Entahlah. Gavin merasakan perasaan yang campur aduk.
Malam ini Gavin memutuskan kembali ke rumah. Meskipun Clarissa sempat membujuknya, memintanya untuk tinggal lebih lama atau bahkan selamanya. Gavin menolak. Mau bagaimanapun, mereka tidak memiliki hubungan. Hanya saling mengenal itu cukup.
"Yaudah oke, tapi sering sering main kesini ya? Kapanpun kamu mau kembali, kamar itu sudah jadi hak milik Gavin"
Gavin tersenyum mengingat ucapan Clarissa tadi sore. Kemudian melangkah masuk kedalam rumahnya sendiri yang terasa begitu kosong. Sepuluh hari tanpa kehadiran manusia tidak merubah banyak. Mungkin hanya lebih dingin dari biasanya.
Melenggang menuju kamarnya di lantai dua, Gavin memutuskan untuk membersihkan dirinya terlebih dahulu sebelum bergulung di dalam selimut. Menatap langit-langit kamar, Gavin rasanya sama sekali belum bisa tidur.
Meraih ponselnya yang tergeletak, memeriksa jam yang tertera, pukul 00.36.
Memainkan ponselnya dan membaca buku digital, Gavin berharap dapat segera tidur. Benjol di sisi kepalanya kadang terasa berdenyut nyeri.
Hampir satu jam berlalu dan Gavin belum juga tertidur. Seperti sudah sangat lama Gavin tidak merasakan hal ini. Dirinya baru menyadari ada yang begitu berbeda selama sepuluh hari terakhir.
Gavin memejamkan matanya yang perih terkena sinar handphone lalu berjengit kaget saat notifikasi pesan singkat tiba-tiba berbunyi. Begitu nyaring memenuhi seisi ruangan yang sangat hening.
Jordan
| Belum tidur?Gavin reflek membuka pesan itu. Hendak membalas, tapi Jordan justru menelepon. Dengan gugup, Gavin menggeser tombol hijau, menerima panggilan itu.
"Kenapa belum tidur?" tanya Jordan dengan lembut dari seberang sana. Gavin menggigit bibirnya. Sial, pipinya terasa menghangat. Jelas dihiasi semburat merah. Jika Gavin bercermin, maka Gavin akan mengetahui bahwa telinganya lebih merah!
"Belum bisa tidur..." jawab Gavin singkat setelah dapat sedikit menguasai diri.
"Kepalanya sakit? Nggak demam kan?"
"Nggak..."
Hening sesaat. Gavin tidak tau harus mengatakan apa jadi dia menunggu Jordan berbicara lagi.
"Mau jalan-jalan? Kalau mau sini, aku tunggu di depan"
,-
Gavin melongok melalui sela pintu gerbang. Ternyata Jordan benar berada di sana. Menetralkan detak jantungnya lebih dulu, barulah Gavin menghampiri mobil yang mencolok, terparkir tepat di depan gerbang rumahnya pada dini hari ini.
Jordan segera turun dari mobil saat melihat Gavin mendekat, kemudian membukakan pintu penumpang pada pemuda itu. Jordan tersenyum tipis mendengar gumaman terima kasih dari yang lebih mungil.
"Mau kemana?" tanya Gavin saat keduanya selesai memasang seatbelt dan Jordan mulai menjalankan mobil.
"Ke suatu tempat," jawab Jordan, tersenyum lebar sembari menyalakan musik lirih.
Gavin tidak bertanya lebih lanjut dan memilih menikmati gemerlap lampu pada dini hari di temani senandung musik yang sayup.
"Ah, lupa," celetuk Jordan tiba-tiba.
"Di belakang ada minum dan snack kalau kamu bosan. Perjalanan lumayan jauh"
Gavin segera menoleh ke belakang dan mendapati sebuah paperbag yang cukup besar kemudian meraihnya. Gavin tersenyum senang.
Hampir tiga puluh menit perjalanan, Gavin menikmati beberapa snack sesekali menyuapi Jordan snack yang sama. Gavin tidak tau kemana arah jalan yang sedang mereka lalui dan mempercayakan pada Jordan sepenuhnya.
Gavin merasa kantuk begitu menyerang sehingga membuat Gavin berhenti memakan snack agar tidak berhamburan.
"Jo..." panggilnya lirih dengan mata setengah terpejam. Masih dapat ia lihat kalau Jordan segera menoleh tanpa syarat.
"Hmm? Need something?"
Gavin menggeleng kecil, "ngantuk..."
Jordan terkekeh kecil, Gavin sangat menggemaskan seperti kucing yang meminta dielus.
"just sleep, then" tangan Jordan terangkat untuk menepuk dan mengelus rambut lembut milik Gavin kemudian menyelimuti Gavin dan menyesuaikan suhu dalam mobil.
Gavin terlelap dalam mimpi.
,-
Seorang anak kecil tengah sibuk bermain dengan tumpukan puzzle saat seorang wanita berjalan mendekat dari belakangnya. Terlihat begitu fokus, sehingga ketika seorang wanita itu memanggilnya dengan lembut, sang balita berjengit kaget.
"Ibun!" serunya dengan semangat saat mendapati sosok ibunda berada di belakangnya. Mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan mata berbinar seolah begitu merindukan sosok itu, menatapnya penuh damba dan puja. Seolah mereka lama sekali tidak berjumpa.
"Kenapa main sendirian disini? Gavin tidak ingin pergi keluar?" Gavin kecil mendongak di pangkuan sang ibunda, menatap dengan lamat seolah ibunya akan pergi dalam kedipan mata.
Gavin kecil menggeleng kemudian.
"No, aku nggak mau ninggalin Ibun!" serunya lalu mendekap sang ibunda erat.
Sang ibu terkekeh lembut, suaranya bak lullaby indah yang akan selalu tertanam di dalam otak dan sudut terdalam hatinya.
"Listen, Gavin... it's okay to go outside! Kamu harus menikmati hidupmu... Bukan berarti kamu meninggalkan Ibun. Ingat, Ibun akan selalu bersama Gavin dimanapun Gavin berada. Ibun ada disini-"
Tunjuknya pada dada sang balita lalu terkekeh melihat binar yang terpancar dari mata bulat sang anak.
"-Sometimes, kita memang harus melangkah maju meskipun harus meninggalkan sesuatu. Berjalan di tempat itu tidak bagus, sayang"
sorry baru update wkwkwk
agak nge blank gue kemarentrs males ngetik krn lagi mood baca tp menyelam wp kaya udah abis list bacaan gue anjir udh pernah gue baca semua sisanya ga cocok 🤧
gue lagi tertarik sm baby boy gitu yg family brothership
AYO SINI MANA BABY BOY KESAYANGAN LU ITU! KASIH TAU GUE 😠 yg brothership atau bl tipis tipis bolehh, atau sekalian bl jg lebih bagus 😋
KAMU SEDANG MEMBACA
top position
RandomKata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna. Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...