Ada satu momen dimana Gavin merasa dirinya begitu hancur setelah kepergian sang ibunda.
Adalah ketika dirinya sedang sakit.
Gavin akan terus menangis meraung-raung, memanggil sang ibu. Gavin hanya merasa hidupnya tidak berguna. Gavin sendirian dan tidak bisa apa-apa.
Sekalipun Oliv mengirim seseorang untuk memeriksa, Ezra yang mengirimkan masakannya, atau Leo yang selalu menjenguk dan menenangkannya, pada akhirnya Gavin tetap berakhir sendirian.
Pada momen-momen kesendiriannya, dengan denyut kepala yang terus menghantam dan badan menggigil, Gavin melepas seluruh perisainya.
Pada momen itu, Gavin hanyalah seorang pemuda yang berada di ambang batasnya. Gavin putus asa dan menyerah.
,—
"Tarik napas pelan-pelan, tenang, you're with me, Gavin. I'm here." Jordan mengelus punggung Gavin yang terkulai lemas menyandarkan kepalanya di dadanya dengan mata terpejam.
Jordan bisa merasakan Gavin jauh lebih baik walaupun masih sesegukan. Tangan kiri Jordan yang mengelus punggung Gavin naik ke belakang kepala, mengusap dan menepuk lembut.
Sementara tangan kanannya menjadi tumpuan keduanya, kini tangan kirinya mengusap pipi Gavin yang basah air mata dan keringat.
Jordan mendorong perlahan Gavin dan menyandarkannya ke headboard setelah menyusun bantal agar Gavin menyandar dengan nyaman.
Dengan begitu, Jordan dapat melihat seluruh wajah Gavin yang kacau. Jordan menghela napas. Begini saja rasanya ia tidak sanggup apalagi kalau benar-benar menjalankan rencana seperti yang ia diskusikan dengan sang kakak.
Jordan dengan telaten mengusap seluruh permukaan Gavin lalu menyodorkan segelas air. Gavin masih memejamkan mata dengan alis mengkerut. Kepalanya benar-benar sakit karena demam dan menangis hebat.
Memegang pipi Gavin dengan lembut dan menempelkan bibir gelas ke bibir Gavin dan meminta pemuda itu untuk meneguknya.
Setelah meletakkan gelas di nakas, Jordan beranjak pergi memberi ruang agar Gavin semakin tenang. Menemui maid di depan kamar.
"Tolong bawakan kompres untuk demam"
"Apa tuan Jordan sakit? Ingin saya telpon kan dokter?"
"Gavin yang sakit. Sekarang udah larut malam, jadi dokternya besok aja" Maid mengangguk lalu membungkukkan badan sebelum berlalu pergi.
Berbalik badan, Jordan membiarkan pintu tetap terbuka supaya nanti maid bisa langsung masuk. Jordan naik ke atas ranjang dan duduk menghadap Gavin lagi.
Jordan membiarkan keduanya berlarut dalam keheningan sementara tangannya terulur ke atas kepala Gavin, memijatnya dengan lembut.
Gavin mengerjap dan memandangi Jordan dalam diam. Jordan yang menyadari itu tersenyum kecil. Memegang tengkuk Gavin dan mengusap lembut pipinya.
Tangan Gavin terangkat untuk menahan tangan Jordan. Menahannya agar tetap di pipinya. Jordan tertegun sesaat ketika Gavin menatapnya dengan sayu. Mata lembut semanis madu itu sedang redup.
Jordan tersadar saat Gavin kembali memejamkan matanya dan menggerakkan pipinya yang menempel di telapak tangannya, seperti anak kucing.
"Mau tiduran lagi?" Gavin mengangguk lalu kembali membuka matanya.
Gavin tidak mengalihkan pandangannya dari Jordan bahkan sampai ia berbaring dengan nyaman. Jordan menunduk, lagi-lagi bersitatap dengan iris madu milik Gavin.
Maid masuk dan membawakan kompres instan ketika Jordan tengah mengusap pucuk kepala Gavin agar cepat terlelap.
Mengucapkan terima kasih dan meminta maid untuk menutup pintu setelah keluar, Jordan memasang kompres ke kening Gavin kemudian ikut berbaring dan terlelap di sebelahnya.
,——
Mengernyit merasakan kepala yang berdenyut, Gavin menelusupkan wajahnya dan jemarinya mencengkeram cukup erat.
"Udah bangun?" suara berat dan serak terdengar begitu dekat seiring dengan usapan di tangannya dan belakang kepalanya membuat cengkeramannya mengendur.
Gavin mendongak. Jordan dengan wajah khas bangun tidur sedang menguap dengan mata setengah terpejam.
Alih-alih bangkit, Gavin justru kembali menyembunyikan wajahnya di dada Jordan ketika menyadari posisinya saat ini.
Dirinya tidur dengan berbantal dada pria itu, dengan tangan melingkar di perut. Sementara pria itu kini meletakkan tangannya di kepala Gavin dan satunya mengusap tangan Gavin dengan lembut. Keduanya seperti saling memeluk.
"Masih panas" gumam Jordan menyentuh leher Gavin.
Ketukan pintu membuat keduanya tersentak kecil. Jordan terkekeh geli dan bangkit dengan setengah hati.
Gavin yang tadinya merasa nyaman kini salah tingkah dengan pipi yang terasa panas.
"Baru bangun lo?"
Suara wanita yang asing masuk ke indra pendengarannya. Gavin yang penasaran memalingkan wajah ke arah pintu.
"Emang ini jam berapa? Lo yang kepagian, gue rasa" Jordan memasang wajah jengah.
Wanita dengan jas dokter itu terkekeh sambil berjalan mendekat ke arahnya.
"Gue sibuk hari ini jadi nyempetin mampir dulu" Floryn, sang dokter, tanpa basa basi duduk di pinggir ranjang dan sibuk menyiapkan peralatannya.
"Gavin, kenalin ini Floryn, dokter keluarga ini" Gavin melirik Jordan yang berdiri sambil bersedekap dada di samping ranjang lalu menatap Floryn yang tersenyum manis ke arahnya.
"Nice to meet you, Gavin" Floryn menyapa sebelum kemudian memeriksa Gavin menggunakan stetoskopnya. Gavin hanya sanggup mengangguk dan tersenyum tipis.
Jordan memperhatikan keduanya dalam diam.
thankss yg udah votee 😍komennya lagi dong, kiw 😋😘
btw, gue bingung ngasih konflik gmn wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
top position
RandomKata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna. Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...