Kata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna.
Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...
Jordan keluar kamar mandi sambil mengeringkan rambut menggunakan handuk. Dirinya tertegun beberapa saat melihat Gavin yang tidur meringkuk, seperti bayi kucing.
Wajahnya terlihat lembut dan damai saat tidur. Posisi tidurnya yang meringkuk membuat dia terlihat rapuh dan lemah. Tidak seperti biasanya yang terlihat kaku dan mungkin tegar? Gavin yang biasanya terlihat penuh tameng.
Jordan melemparkan handuknya asal asalan ke atas sofa dan berjalan mendekati Gavin. Perhatiannya teralih pada ponsel yang menyala tanpa suara, memperlihatkan panggilan tanpa nama. Hanya ada titik disana.
Gavin mengerjap, Jordan segera beranjak dan berbalik menuju walk in closet untuk memakai baju.
Gavin meraba ponselnya yang terus bergetar. Matanya masih setengah terpejam ketika melihat layar, apalagi cahaya ponsel cukup terang. Lalu Gavin seketika bangun karena terkejut. Itu ayahnya yang menelpon.
Ketika Jordan kembali, Gavin sudah terduduk melamun seperti tanpa nyawa.
"Vin? You okay?" Gavin menoleh pada Jordan dengan wajah linglung.
"Mimpi buruk?" tanya Jordan sambil menyodorkan segelas air. Gavin menyambutnya dengan tangan sedikit gemetar.
Jordan dengan sabar menunggu Gavin menegak air sampai habis. Karena Gavin meminumnya dengan mata terpejam, Jordan dapat melihat bulu mata Gavin yang lentik dari jarak yang cukup dekat dan jelas.
Jordan mengambil alih gelas yang sudah kosong dan meletakkannya kembali ke atas nakas.
"Feel better?" Gavin mengangguk kecil. Jordan tersenyum tipis.
"Mau ganti baju dulu? Atau mau lanjut tidur aja?"
"Tidur," jawab Gavin dengan suara kecil dan sedikit serak. Jordan mengangguk, lalu menyelimuti Gavin dan menepuk kepala Gavin yang kembali terpejam.
Jordan kemudian pergi menuju ruang kerjanya. Ada pekerjaan yang harus di selesaikan malam ini bersama kakak-kakaknya.
,—
"Gavin nggak punya keluarga?"
Jordan menggeleng, "ibunya meninggal, ayahnya abusive dan gue rasa Gavin trauma. Keluarga yg lain udah putus kontak, so yeah, Gavin sendirian"
Ed mengangguk sambil menyesap nikotin sementara Dave menenggak minuman beralkohol. Jordan tidak menyentuh keduanya, saat ini.
"So, kita bisa mancing orang-orang itu ke rumahnya kan?" Dave menatap datar keduanya bergantian.
Kali ini Ed yang menggeleng. "not that easy, Dave."
"Why??" Jordan mengernyit dalam. Ed berdecak dan Dave mengabaikan itu dengan menenggak minumannya lagi.
"Are you seriously asking that, Jordan?" Ed meletakkan rokoknya yang masih separo ke asbak.
"Yeah! Why??" Dave terkekeh kecil melihat ekspresi wajah tengil menantang milik Jordan dan Ed yang menghela napas.
"We can find another place."
Jordan masih memasang wajah tidak setuju. "Where? Terlalu banyak tempat yang akan merugikan banyak pihak, Ed!"
"Dan lo mau merugikan Gavin? Gavin yang sendirian? Lo mau ngehancurin dia?"
Jordan tertegun dan sulit berkata-kata lagi. Dave tertawa sedikit lebih keras.
"Tapi kan jalan tercepat ya disana lokasinya, Ed! Kita bisa beri Gavin apa aja, kan? Ya setidaknya dia harus ada manfaatnya"
Dave berhenti cengengesan dan menenggak minumannya lagi. Kali ini lebih banyak. Perdebatan antara si sulung dan si bungsu memang tidak pernah tidak seru. Si bungsu keras kepala dan si sulung yang selalu punya celah untuk melubangi kepala itu.
"I didn't know that you turned out to be a bastard, Jordan?" Ed menyalakan rokoknya lagi.
Dave tersenyum miring. Damn, itu peluru yang cukup bagus.
"Listen, Jord. Okay I know kalau itu kebetulan yang cukup bagus. Lo nyeret Gavin yang ternyata sendirian, jadi kita bisa aja pakai rumahnya sebagai lokasi eksekusi, so tidak ada banyak publik yang tau atau terdampak. Then why, nggak kita pancing aja ke mansion?"
"Itu beda kasus! Mereka nggak mungkin ke pancing kesini karena ini mansion kita! Of course mereka nggak mau masuk kandang musuh! Dan bisa jadi lokasi bocor dan mansion terancam"
"Itu! Itu dia, Jordan! Menurutmu akan jadi sehancur apa rumah Gavin kalau kita jadikan tempat eksekusi? Di mansion aja lo ragu bakal aman. Apalagi rumah Gavin itu. Dan lo pikir Gavin akan baik-baik aja?"
Jordan menghela napas lalu kepalanya terkulai lemas di atas meja. Dave terkekeh lagi dan menggeser segelas minumannya ke depan wajah Jordan. Dave mengernyit ketika Jordan menggeleng kecil lalu memilih menenggaknya sendiri.
"Kita masih punya waktu, Jordan." Ed melempar putung rokoknya ke asbak, kemudian berdiri dan menepuk kepala Jordan dan berlalu pergi.
,—
Jordan sebetulnya tidak benar-benar ingin memanfaatkan Gavin seperti itu. Entahlah, mungkin memang bawaan nurani sebagai bungsu yang ingin menentang kakaknya.
Tapi di katai bajingan oleh sang kakak memang cukup melubangi kepalanya. Bisa-bisanya dia berpikir dan berbicara seperti itu.
Jordan sampai di depan pintu kamarnya dan menghela napas untuk mengusir pikirannya.
Ketika pintu terbuka, Jordan melihat Gavin yang masih tidur meringkuk dan mendengar suara rintih dan isak tangis.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.