"Gila ya lo?"
"Kita nggak punya urusan, anjing" Gavin beranjak namun tangannya di cekal dengan kuat. Gavin meringis, karena itu tanganya yang terluka.
"Oh shit, sorry." Jordan buru-buru melepaskan tangannya. Melirik name tag Gavin,
"Listen, Gavin. Ini situasinya beneran serius dan kemungkinan lo dan motor lo udah di tandain. Lo mau mati?" Gavin menatap Jordan tajam.
"Enggak kan? Makanya nginep disini, dan lo bisa beraktivitas seperti biasa besok. Gue jamin"
Gavin menghela napas. Dirinya masih berdiri dan enggan beranjak. Kalau sudah begini, Gavin tau ini emang serius. Memang sial sekali dirinya harus berurusan dengan hal seperti ini.
"Nah, mending gue nginep di rumah temen gue deket sini" Gavin sekali lagi ingin pergi namun di tahan kembali. Untungnya kali ini bukan di tempat dimana lukanya berada.
"Nah, daerah sini memang aman, tapi gue rasa itu bisa bikin orang lain ikut keseret juga" Gavin berdecak. Tidak ada pilihan kalau begitu.
Pergelangan tangan Gavin di genggam lagi. Kali ini cukup lembut. Gavn dituntun menjauhi ruang tamu dan semakin masuk ke dalam mansion.
Hening mengudara, menemani mereka berdua. Menaiki lift, melewati beberapa ruangan dan sampailah mereka di kamar tamu.
"Lo bisa istirahat disini. Nanti gue suruh maid ngambilin baju ganti dan nyuci baju lo buat besok"
Gavin hanya berdehem kecil, lalu Jordan berlalu pergi.
Setelah pintu tertutup, Gavin melangkah menuju ranjang dan menghempaskan tubuhnya. Matanya terpejam tap pikirannya kemana-mana.
Memang benar Gavin malas pulang. Tapi kalau begini, dirinya juga khawatir ayahnya datang ke rumah dan membuat ulah. Semoga saja tidak.
Ketukan pintu membuatnya berdecak malas dan mau tidak mau beranjak.
"Permisi den, saya kemari mengantar pakaian"
Gavin mengangguk, "makasih ya"
Setelah maid itu pergi, Gavin menutup pintu dan pergi ke kamar mandi.
Gavin tidak berlama-lama di kamar mandi. Sebab dirinya bingung bagaimana nasib tangannya yang terluka nanti. Ia bergegas memakai kaos yang sedikit kebesaran —mungkin kaos terkecil milik titan itu — dan celana pendek selutut.Saat keluar dari kamar mandi, alisnya mengernyit mendapati Jordan tengah duduk manis di sofa ujung ruangan.
"Duduk sini, gue ganti perban tangan lo" Gavin ingin menolak, tapi perbannya memang perlu diganti. Jadi Gavin menghampiri Jordan dengan handuk yang tersampir di kedua pundak. Rambutnya masih basah.
Tidak ada obrolan di antara keduanya saat Jordan melepas perban milik Gavin. Karena memang tidak ada yang perlu dibicarakan. Mereka tidak saling mengenal.
"Shit, luka lo harusnya di jahit, Vin" Jordan mendongak menatap Gavin yang sibuk menggigit bibir karena lukanya perih terkena udara.
Jordan mengerti itu lalu dengan cepat mengoleskan alkohol di sekitar luka dan memasang perban baru.
"Sini gue keringin rambut lo, biar lo cepet istirahat" Jordan mengabaikan tatapan heran Gavin dan langsung mengambil handuk lalu meletakkannya di atas kepala Gavin.
Setiap kali Gavin ingin melayangkan protes, Jordan memutar handuknya dengan kasar. Gavin hanya bisa menghela napas dan memejamkan mata mencoba sabar.
"Nah, dah lumayan" ucap Jordan dengan puas melihat rambut Gavin yang super acak-acakan. Gavin mendelik sembari menyisir rambutnya dengan jemari sementara Jordan terkekeh dan beranjak menuju pintu.
Gavin memilih memainkan ponselnya, namun sedikit menguping percakapan Jordan dengan maid yang berada di luar kamar.
Tidak terlalu jelas, tapi yang jelas Jordan membicarakan tentang makan malam dan pereda nyeri.
Gavin melirik Jordan yang kembali duduk di sebelahnya. Gavin sebenarnya sedikit merasa tidak enak. Mungkin saja sikapnya tidak sopan padahal ini rumah orang asing. Tapi ya bagaimana lagi? Gavin bingung harus bersikap bagaimana ketika Jordan bahkan tidak memperkenalkan diri dengan proper.
"Ehm" Jordan berdehem nyaring. Menyadarkan Gavin dari lamunannya.
"Gue Jordan Winn Richardson, btw. You can call me Jordan. Sekali lagi gue minta maaf udah nyeret lo ke dalam masalah yang lo sama sekali gatau, tapi gue janji akan bertanggung jawab kalau ada sesuatu. So, give me your number, dan lo simpen nomor gue" Jordan menyodorkan ponselnya ke depan Gavin yang terdiam. Ah, Gavin memang banyak diamnya, sih.
"Gue Gavin Junior Ainsley. Lo lebih tua, should i call you with kak or something?" Gavin mengambil ponsel Jordan lalu menyerahkan ponselnya, keduanya kemudian mengetik nomor ponsel masing-masing.
"Nope. Just Jordan is fine"
Gavin mengangguk, "oke, Jo." Keduanya kembali bertukar ponsel. Gavin tidak sadar Jordan sempat tertegun beberapa saat.
Ketukan pintu membuat mereka berdua serentak menoleh. Maid kemudian masuk sambil membawa nampan berisi makanan lalu meletakkannya di atas meja di depan mereka.
"Makan malam lo dan obat pereda nyeri. Habis itu lo tidur. Besok pagi ada maid yang nganter seragam lo, oke?" Jordan menepuk pucuk kepala Gavin dua kali lalu beranjak pergi.
Gavin terbengong. Hingga suara langkah kaki benar-benar tidak terdengar lagi, Gavin mulai menyantap makan malamnya.
Tidur Gavin malam itu terasa cukup nyenyak. Mungkin efek obat pereda nyeri.
janlup vote dan comment yaa.
itu penting banget buat kelancaran update, wkwk.
KAMU SEDANG MEMBACA
top position
RandomKata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna. Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...