"Are you okay? Or do you still need space?"
Gavin menoleh, tertegun mendengar suara dan pertanyaan Jordan. Ezra disebelahnya tersenyum lalu segera beranjak setelah menepuk lembut pundak Gavin.
"Kenapa kesini?"
Jordan yang sudah duduk disamping Gavin, segera menoleh.
"Kenapa gaboleh?"
Gavin mengalihkan wajah, "kan ada tamu?"
Jordan mengusap wajahnya dramatis, "gosh, You don't know how much I want this moment—"
"Kalau bukan karena kamu sepertinya sedang butuh ruang, aku pasti bakal nempel ke kamu. I just don't want her to bother you either"
Gavin semakin tidak berani menoleh pada Jordan.
"Kupikir kalian deket.."
Ingin rasanya Gavin menghantam kepalanya sendiri dengan sebuah batu bata. Hari ini terasa seperti sampah. Bersikap impulsif dan kekanakan. Gavin merasa dirinya begitu menyebalkan.
Jordan tergelak. "No way... Dia cuma kenalan Floryn yang maksa ikut Floryn kemanapun. Poor her"
Suara tawa miris menyusul dari belakang. Gavin menoleh mendapati Floryn berjalan mendekat dan kini ikut duduk di sebelahnya. Kemudian menghembuskan napas keras-keras sembari melempar kerikil besar ke dalam kolam.
"Hahh! Gue gatau kalau dia bakal bertingkah sebegitunya! Seharusnya gue biarin aja dia luntang lantung di lobby rumah sakit! Lo tau? Baru aja dia bilang ke nyokap lo kalau dia ponakannya yang punya RS! Wtf! Gue aja nggak yakin dia tau wujud Ray Liu!"
"Masa sih nggak tau Ray Liu?" tanya Gavin skeptis. Pasalnya, Karin terlihat berasal dari kelas sosial yang sama dengan mereka, sementara Gavin yang dibawahnya saja mengenali Ray Liu. Gavin tidak heran kalau Karin bilang dia keponakan dari Ray Liu.
"First of all, yes, because she doesn't even know who is Oliv and Dave is. Dibanding mereka berdua, u know Ray Liu itu gimana. Second! Dia bilang dia pengen jadi dokter karena sepupunya! DAMN! RAY LIU SINGLE?! Dia yang ngayal di depan Raymonds gue yang panas dingin, anjir"
Gavin speechless melihat Floryn bercerita menggebu-gebu seolah telah menyimpan keluh kesah begitu lama. Sedangkan Jordan justru tertawa kencang.
"Where did you find someone like that???" tanya Jordan membuat bahu Floryn turun kembali.
"Damn. We met at university. I don't have a bad impression of her, awalnya. Tapi dia ternyata annoying parah. Attention seeker dan delulu maksimal. Awalnya ga peduli sih, tapi kalau dia nempel terus and act like 'pick me girl' ya siapa yang nggak risih?"
"That bad?"
"THAT BAD! Dia selalu bilang seolah gue kerja di RS ini karena dia ponakan yang punya RS ke setiap orang yang dia temui. Ew, padahal justru karena gue dia bisa di RS itu. Syukurnya, orang RS semua ngerti sifat dia dan ngeliat kinerjanya, jadi no one believes her"
"Pantes aja sih gue merasa aneh. Terus lo tinggal dia kesini, aman?"
Floryn menoleh ke belakang, "harusnya lagi di goreng Oliv sih" Floryn berdiri dan mengibaskan debu yang menempel pada celananya.
"Yaudah gue kesana lagi, pasti seru"
Gavin terus melihat Floryn sampai wanita itu sampai di tempatnya. Kini dirinya menjadi sedikit penasaran seperti apa sebetulnya sosok Karin itu.
"See, aku nggak kenal dia sebelumnya. Familiar sih, tapi aku lupa"
"Anyway, sebentar lagi kembang api dinyalakan. I know a better place to enjoy the fireworks"
"Come on" Jordan menjulurkan tangannya dan disambut dengan baik oleh Gavin. Meskipun tanpa Jordan ketahui bahwa Gavin memukul kepalanya secara imajiner karena merasa seperti orang bodoh.
Jemari yang saling bersentuhan dengan jemari Jordan terasa panas seiring detak jantung yang semakin kencang. Juga sensasi aneh yang memenuhi rongga dada. Mungkin Gavin akan iya-iya saja kalau disebut orang gila.
,—
"Here, kita bisa lihat banyak kembang api dari jauh"
Jordan membuka pintu balkon, menuntun Gavin mendekat ke pagar pembatas kaca. Jarak yang cukup jauh antar mansion membuat mereka bisa melihat cukup banyak dari atas sana.
Genggaman tangan mereka berdua yang tanpa celah rasanya dapat menyalurkan detak jantung masing-masing.
Serius.
Gavin bisa rasakan denyutnya. Berdentum dentum. Namun dari sana menjalar hangat hingga ke ujung kepala di tengah terpaan semilir angin tengah malam.
Apalagi ketika ibu jari Jordan mulai bergerak, mengelus jarinya lembut seolah tengah menyalurkan afeksi. Gavin mengalihkan pandangannya, menyembunyikan wajah yang memanas. Meskipun begitu, kakinya justru bergerak kecil semakin merapat pada Jordan.
Entahlah, tapi ini menimbulkan perasaan yang luar biasa. Sulit di jelaskan tapi Gavin menikmati suasana ini. Gavin menyukai ini.
Jordan melepas genggaman tangannya membuat Gavin reflek menoleh dan bertanya-tanya. Detik berikutnya lengan Jordan justru bertengger manis di pinggang yang lebih muda.
Jordan menoleh dan sedikit menunduk, menatap lurus tepat di manik Gavin yang juga tengah menatapnya dengan kepala sedikit mendongak.
Tidak tau harus mengatakan bagaimana rasanya ketika melihat si manis dalam rengkuhannya ini dengan gemasnya berpegangan dan meremas ujung pakaiannya.
Jordan juga tidak tau bahwa perasaan meletup-letup ini begitu menyenangkan meskipun membuatnya pusing tujuh keliling.
Sudah berapa lama mereka menyelam ke dalam netra masing-masing? Ledakan kembang api pertama pun tidak mengalihkan mereka. Detik berikutnya semakin banyak letupan kembang api yang seakan merepresentasikan perasaan yang memenuhi rongga dada keduanya.
Lengannya yang lain Jordan bawa merengkuh pinggang yang lebih muda lagi. Membuat mereka kini sepenuhnya berhadapan. Gavin tidak tau apakah waktu semakin melambat atau justru terasa begitu cepat. Atau justru Gavin merasa dirinya tidak lagi di tempat.
Semakin dirinya dibawa merapat, semakin dirinya merasa hilang akal.
Jantungnya terasa berdentum dengan lambat tapi setiap dentumannya seolah akan melompat keluar. Dan begitu saja, napas Jordan menerpa wajahnya.
Berapa senti kini jarak mereka?
Pening sekali ketika rasanya Gavin tidak bisa bergerak barang satu inchi. Telinganya seolah tuli karena terisi dentuman jantungnya sendiri. Berkedip pun, rasanya tidak.
Dan lagi-lagi, begitu saja, jarak benar-benar terkikis diantara mereka.
Gavin tidak tau harus apa selain menutup mata.
ytta dah tu yg terakhiran wkwk
KAMU SEDANG MEMBACA
top position
RandomKata orang, masa SMA itu masa terindah. Menurut Gavin Junior Ainsley, biasa saja. Tapi untungnya, ada orang-orang spesial seperti ketiga sahabatnya atau teman-teman club basket. Setidaknya, cukup berwarna. Sampai ketika rasanya hidupnya perlahan ber...