Vara ingin menyerah. Sikap Gama berubah sangat dingin padanya. Ia sudah berusaha meminta maaf, tapi sikap Gama tidak berubah. Sudah dua minggu berlalu dan Vara jadi ikutan bete. Gama tidak banyak memberikan pekerjaan sehingga Vara malah jadi bingung. Kalau begini, bagaimana dengan rapornya di depan sang ayah?
Gama bisa saja memberikan nilai buruk dan akhirnya Bimo tak lagi percaya padanya. Hidup Vara mungkin tidak akan pernah sama seperti dulu.
Ketika tiba di rumah, Vara tiba-tiba memeluk sang ibu yang sedang duduk di sofa sambil membaca majalah. "Mi, aku mau curhat."
Rima menutup majalah dan meletakkannya di meja. Setelah itu, ia menatap anak bungsunya. "Ada masalah apa?"
"Mih, aku sedih," ungkap Vara seraya menyandarkan kepalanya di bahu Rima. "Mas Gama kayaknya marah sama aku."
"Mas Gama? Mama pikir kamu baik-baik aja sama dia karena sudah jarang curhat tentang dia."
Vara menggeleng lalu menghela napas panjang. Rasanya berat tapi ia harus mulai cerita sebelum makin sedih. "Aku pikir juga begitu, tapi tiba-tiba Mas Gama marah karena aku bengong merhatiin dia yang lagi serius bahas kerjaan. Aku bingung harus apa karena ketemu dia setiap hari."
"Sudah minta maaf?"
"Seribu kali, Mi! Aku bingung harus gimana lagi karena gara-gara ini aku jadi gabut di kantor. Kalau dia laporan sama Papi gimana?"
"Gabut?"
"Gaji buta, Mi."
"Oh, bukannya kamu senang ya kalau nggak ada kerjaan? Enak kan datang, makan siang, pulang, terus gajian. Kamu nggak perlu lembur. Papa cerita ke Mama katanya kamu baik-baik aja tuh."
"Mas Gama nggak cerita hal negatif tentang aku?"
Rima mengangkat bahu. "Kalau dia cerita, Papa pasti sudah negur kamu dari kemarin. Dek. Buktinya ini diam-diam aja. Papa senang banget lihat kamu aktif di kantor."
Vara hanya bisa terdiam sembari berpikir. Apa yang dikatakan ibunya mungkin benar juga ya. Namun, itu tidak lantas membuat hatinya tenang. Ini bukan hanya soal ia yang makan gaji buta, tapi juga sikap Gama padanya.
"Tapi, Mi, soal Mas Gama yang masih marah gimana? Aku harus apa?" Vara masih ragu untuk mengatakan alasan lain mengapa ia uring-uringan begini.
Rima mengelus tangan sang anak dengan sayang. "Nggak usah dipikirin, Var. Mungkin Mas Gama lagi sibuk sama kerjaan aja kali."
"Gimana bisa nggak dipikirin, Mih? Aku kan suka sama Mas Gama, kami harus ketemu dan berurusan setiap hari. Aku nggak suka kalau dia marah sama aku." Vara akhirnya mengakui dengan gamblang perasaannya pada sang ibu.
"Kamu naksir sama Mas Gama beneran? Sudah cari tahu statusnya? Apa dia sudah menikah atau punya pacar?"
"Kalau sudah punya pasangan, aku nggak mungkin suka, Mih." Vara kembali merajuk pada sang mama. "Sikap Mas Gama tuh berubah jadi kayak freezer, Mi."
"Kamu yakin salah kamu cuma bengong? Kamu nggak melakukan hal-hal aneh?"
Vara mengangkat bahunya. "Dia nggak kasih penjelasan panjang lebar, tapi pokoknya dia kesal karena aku bengong. Kayaknya dia capek berhadapan sama aku."
"Besok Mama mau ikut ke kantor deh mau lihat Mas Gama seganteng apa sampai bikin anak Mama galau begini? Kalau besok kamu mau Mama ngobrol sama dia juga boleh."
Vara langsung melarang sang mama pergi ke kantor. "Mih, kalau mami datang dan minta ketemu Mas Gama, nanti dikiranya aku ngadu."
"Kamu kan memang ngadu, Vara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Havara! ✓
RomanceAvara Dala, si spoiled brat, harus berhadapan dengan mentor di kantor Papi yang bernama Gama. Kehidupan keduanya sangat berbeda. Vara selalu berhasil mendapat semua keinginannya, sedangkan Gama perlu berusaha dengan keras. Ending lanjut di Karyaka...