Tampaknya, berkunjung ke rumah Gama di akhir pekan dan menghabiskan waktu di sana akan menjadi sebuah rutinitas baru bagi Vara. Gama sudah memberi lampu hijau, jadi Vara tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Gadis cukup senang dengan kehadiran Vara, sedangkan Gina... tidak terlalu. Vara tidak bisa menebak apa isi hati Gina terhadapnya. Kadang Gina baik, kadang juga terlihat tidak suka padanya. Namun, Vara tidak terlalu ambil pusing, yang penting ia masih nyaman ngobrol dengan Gadis.
Setiap Vara ke rumah Gama, ia pasti selalu diajak makan siang hasil masakan Gama. Kali ini, mereka makan bertiga tanpa Gina yang sudah pergi sejak pagi—bahkan sebelum Vara datang. Selesai makan siang, Gama dan Vara duduk di teras belakang sambil minum teh dingin. Sementara itu, temannya Gadis juga datang dan mereka sedang mengobrol di ruang TV.
"Aku jadi nggak enak nih ikutan makan terus tapi nggak pernah bantuin."
"Nggak apa-apa, mendingan kamu duduk aja daripada ikut bantuin nanti jadi berantakan, Var," sahut Gama. "Saya tahu kamu nggak biasa kerja di dapur."
Alih-alih tersinggung, Vara malah tersenyum. Memang benar bahwa ia tak pernah sekalipun masak sendiri. Semua makanan sudah tersedia dan ia hanya tinggal menikmatinya.
"Biasanya, Mas Gama ngapain kalau weekend gini?" tanya Vara mengalihkan pembicaraan menjadi lebih santai. Ia ingin tahu tentang Gama, jadi lebih baik bertanya soal pria itu saja.
Gama menoleh dua detik lalu kembali menatap langit. "Tergantung, kadang kerja, ke bengkel, belanja mingguan, atau ya tidur."
"Nggak pernah malam mingguan? Jalan-jalan sama teman?"
"Nope. Kamu sendiri biasanya ngapain?"
Vara menggumam setengah berpikir. Vara selalu keluar rumah saat weekend walaupun tidak punya aktivitas yang pasti. Entah jalan bersama teman-temannya atau jalan bersama Rima. Kalau diajak orang tuanya, Vara juga biasanya akan ikut ke mana pun yang mereka mau.
"Terus hari ini nggak ikut mami?"
"Mami arisan, isinya orang-orang seumuran mami. Aku nggak pernah ikut kalau itu. Jadi sekarang punya waktu luang deh."
Gama mengangguk sekali. Lalu mereka berdua diam sampai tiba-tiba Gama mengajak Vara pergi. "Kamu mau jalan-jalan?"
"Sekarang?"
"Kamu bilang ada festival jajanan pasar. Kamu belum pernah ke sana, kan?"
Vara tiba-tiba menggeleng. Vara bahkan tidak berencana untuk pergi. Ia memberitahu festival itu karena tidak sengaja melihat story Arsa yang semalam pergi ke sana. Ia tidak membayangkan akan pergi bersama Gama hari ini. "Lain waktu aja deh, aku lagi nggak pengin jalan-jalan. Aku mau berlama-lama dulu di sini. Belum tentu nanti ke sini lagi."
"Kamu boleh datang kapan pun asal bilang dulu. Nggak tiba-tiba datang lalu ngaku mau ketemu Gadis."
Vara langsung duduk tegap dan pindah posisi menghadap Gama. Sudut bibirnya terangkat ke atas. "Really? Hari itu aku datang mau ketemu sama Gadis kok."
"Nggak usah bohong, aku tahu taktik kamu. Silakan aja kalau kamu mau datang lagi ke sini, yang penting bilang dulu. Jadi, mau jalan-jalan nggak?"
Vara berseru riang mendengar ucapan Gama. Pria itu sudah sangat memberikan lampu hijau untuknya. Senyum Vara terkembang. Ia pun mengangguk dengan semangat. "Ayo, tapi panas nggak sih kalau siang? Agak sorean aja gimana?"
"Perjalanan ke sana pasti macet. Kita berangkat sekarang, nanti sampai sana sore."
"Naik motor nggak? Aku belum pernah naik motor, pengin coba deh."
Gama menggeleng langsung dengan cepat. "Saya belum berani ajak kamu naik motor. Lain kali aja."
Vara sedikit kecewa, tapi itu tidak menghilangkan semangatnya untuk pergi bersama Gama. "Sip. Terserah Mas Gama aja kalau gitu. Aku ikut aja deh. Pasti di sana banyak jajanan yang jarang—belum pernah aku lihat."
Gama tersenyum. "Saya ganti baju dulu. Kamu mau nunggu di sini atau di dalam sama Gadis?"
"Di sini dulu aja, aku mau ngabarin mami kalau mau pergi sama Mas Gama."
***
Vara tidak bisa menyembunyikan ekspresi bahagianya. Senyumnya terus tergambar di wajah. Ini pertama kalinya ia datang ke festival kuliner seperti ini. Sungguh ramai. Ketika ia hendak berlari ke sebuah tenant makanan, Gama menarik tangannya kemudian mereka bergandengan.
"Jangan jauh-jauh, nanti kamu hilang. Saya yang repot," ucap Gama.
Vara terkekeh lalu merapat ke arah Gama. Mereka berjalan lagi menelusuri jalan sambil melihat-lihat tenant yang ada di samping kiri dan kanan. Vara juga aktif bertanya pada Gama jika ada hal yang menarik perhatiannya.
"Itu apa?" tanya Vara sembari menunjuk salah satu tenant yang ramai antrian. Ia lalu menyebut papan nama tenant yang tergantung di sana. "Es goyang? Es apa itu? Esnya goyang-goyang?"
"Kamu nggak tahu es goyang?" Gama malah balik bertanya.
Vara menggeleng. "Es krim?"
"Iya es krim, tapi bukan kayak Baskin Robbins. Di rumah atau sekolah kamu dulu pasti nggak ada beginian. Mau coba?"
Vara mengangguk lagi dengan semangat. Gama kemudian mengajak Vara ikut mengantri. Vara melihat proses pembuatan es goyang di mana penjual menggoyangkan gerobaknya. Rasa penasarannya pun terpuaskan. Ia takjub. Setelah mendapat esnya, mereka jalan-jalan lagi berkeliling dan jajan ini-itu. Kebanyakan adalah makanan yang belum pernah dicicipi Vara semasa hidupnya.
"Kayaknya aku beneran jarang deh nemu jajanan gini. Beberapa memang aku tahu dan pernah lihat di jalan, tapi nggak pernah nyoba. Seneng deh sekarang sudah pernah nyobain."
Gama tersenyum. "Enak?"
"Enak banget," jawab Vara sembari menggandeng lengan Gama. "Pulang yuk?"
"Mau pulang ke rumah sekarang?"
"Nggak, keluar dari sini terus jalan-jalan lagi. Makin ramai, aku pusing."
Gama pun menuruti permintaan Vara untuk keluar dari area festival.
Vara mencoba untuk tetap sadar, tapi ternyata ia kelelahan dan tertidur ketika mereka sedang mengantri keluar parkiran. Ia terbangun karena terkejut mendengar klakson. Ia pun melirik kanan-kiri bingung. Mereka sudah keluar dari parkiran dan sekarang terjebak macet. Gama tertawa kecil melihat Vara yang bingung lalu menyuruhnya kembali tidur saja. Namun, Vara bersikeras untuk menemani Gama.
Mereka akhirnya tiba di depan rumah Vara. Vara menawarkan Gama untuk mampir tapi tentu saja Gama menolak. Lagi.
"Minum dulu, istirahat sebentar juga nggak apa-apa," kata Vara setengah memaksa.
"Lain waktu aja. Nggak enak sama Pak Bimo."
Vara mendesah kecewa. "Ya sudah, lain kali, ya."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Havara! ✓
RomanceAvara Dala, si spoiled brat, harus berhadapan dengan mentor di kantor Papi yang bernama Gama. Kehidupan keduanya sangat berbeda. Vara selalu berhasil mendapat semua keinginannya, sedangkan Gama perlu berusaha dengan keras. Ending lanjut di Karyaka...