Bimo menatap Gama dengan tatapan galak. Tatapannya tidak seramah seperti di kantor. Ini pasti ada kaitannya dengan Vara.
"Saya mau minta izin ajak Vara jalan-jalan," jawab Gama tanpa ragu dan tak terlihat takut sama sekali meski dipelototi macam elang menatap buruannya.
Vara ikutan membuka suara, "Aku sama Mas Gama mau kulineran, Pih. Buruan jangan lama-lama mikirnya, nanti keburu macet di jalan."
Bimo berdecak pada Vara dan memintanya untuk sabar sedikit. Setelah itu ia kembali menatap Gama dan diam lagi.
Vara tidak mengerti mengapa sang ayah mendadak sangat protektif seperti ini. Ia pernah mengenalkan salah satu pacarnya dulu semasa SMA dan tidak sesusah ini izinnya. Biasanya Bimo akan langsung mengizinkan begitu saja. Tidak seperti hari ini. Vara pun mendesak Bimo untuk segera memperbolehkannya pergi. Ia bahkan meminta Rima membantunya.
Bimo akhirnya mengizinkan Vara dan Gama pergi. Ia menambahkan pesan agar tidak pulang lewat jam 7 malam. Vara tentu saja langsung protes karena sebelumnya ia tak memiliki jam malam sesore itu. Namun, percuma saja Vara mendebat karena Bimo tetap teguh dengan aturannya.
Vara dan Gama akhirnya berangkat menuju tempat burger yang diinginkan Vara sejak beberapa minggu lalu. Vara tidak pernah bosan mengajak Gama meski jawabannya baru terwujud sekarang. Ia memang bisa pergi sendiri, tapi ia hanya ingin datang bersama Gama. Bukan yang lain.
Vara tidak sesering itu bepergian dengan Gama. Rasanya masih bisa dihitung jari kalau di luar acara kantor. Makanya, ia sangat senang dan menanti hari ini.
"Papi biasanya nggak kayak gitu kalau aku dijemput pacar," ujar Vara begitu mereka masuk ke mobil Gama. "Kayaknya Mami sudah banyak cerita deh."
"Oh, ya? Memangnya Mami nggak pernah cerita soal pacar kamu yang lain?" Gama ikut bertanya sambil sesekali melirik Vara. Perhatian Gama fokus pada jalanan di depannya.
"Aku sih cerita sama Mami, tapi nggak tahu disampaikan ke Papi atau nggak. Kalau hari ini kayaknya Mami memang cerita."
"Memangnya kamu cerita apa aja?"
"Banyak, terutama soal perasaanku ke Mas Gama. Sebelum kamu datang kemarin, aku sempat mikir kamu mau balikan sama Mbak Kinan. Aku takut banget kamu sadar kalau aku bukan orang yang kamu inginkan. Aku mikir, kemarin itu hari terakhir Mas Gama mau ketemu sama aku." Vara sudah bisa jujur pada Gama mengenai perasaannya. Ia merasa tidak ada yang perlu disembunyikan lagi.
Gama diam dan mendengarkan.
"Apa yang kamu punya sama Mbak Kinan pasti sangat memorable. Aku nggak yakin bisa menggantikan dia." Vara tersenyum.
"Kamu nggak usah mikirin soal itu lagi."
"Ya, I know. I trust you." Namun, ia masih penasaran ke mana Gama pergi siang kemarin bersama Kinan. Gama tidak menceritakan dan Vara penasaran. Ia menimbang-nimbang apakah perlu untuk bertanya atau tidak. Tidak ditanya jadinya penasaran, kalau ditanya takutnya tidak siap dengan jawabannya.
***
Gama tersenyum melihat Vara yang sedang bercerita mengenai pengalamannya semasa kecil saat dikejar anjing. Mereka sudah antri di tempat burger dan sekarang Gama mengajaknya pacaran di dekat Pelabuhan. Gama mencoba mengajak Vara ke tempat-tempat yang mungkin tidak pernah terpikir untuk dikunjungi Vara.
"Aku sampai sekarang masih ingat soalnya sampai jatuh dan luka. Sakit banget. Nih, bekasnya aja masih ada sedikit," ujar Vara sambil menunjukkan bekas luka di lututnya.
"Nggak kelihatan," ucap Gama setelah melirik lutut Vara yang baginya terlihat mulus.
"Kelihatan. Aku dulu pengin banget ngehilangin ini, tapi kata mami nggak perlu. Mami bilang juga nggak kelihatan."
"Memang nggak kelihatan, Vara."
"Kelihatan, Mas Gama."
Gama pun akhirnya menyerah. "Ya sudah, kelihatan kalau gitu."
Vara lalu mengubah posisi duduknya. Ia menggandeng lengan Gama lalu bersandar padanya. "Mas, menurut kamu, aku harus bisa masak nggak? Aku tiba-tiba kepikiran saran Mas Gama yang nyuruh aku belajar masak sama Mami."
"Nggak," jawab Gama singkat.
"Berarti nggak apa-apa ya kalau aku nggak bisa masak buat Mas Gama?"
"Iya."
"Mas Gama sayang sama aku? Soalnya aku sayang banget sama Mas Gama. Setelah kamu pulang semalam, mendadak aku nggak bisa tidur. Bawaannya pengin senyum terus. Aku sesuka itu pas disamperin kamu."
Gama tidak menjawab atau mengatakan apa pun.
Vara melanjutkan ceritanya lagi. "Sebelum disuruh kerja, aku minta Papi untuk cariin calon suami aja. Keinginanku dari dulu itu... menikah dan jadi ibu rumah tangga aja. Aku nggak pernah berniat nyari pasangan sendiri, maunya dijodohin aja. Papi nggak suka sama ide itu, maunya aku mandiri dulu. Makanya disuruh kerja dan kartu kreditku diambil. Kalau aku kerja, papi janji mau cariin aku suami."
Gama masih diam dan tampak tidak akan membalas ucapan Vara.
"Tapi aku malah ketemu Mas Gama... dan sekarang aku mulai bingung sama keinginan diriku sendiri." Vara menoleh sedikit lalu tertawa kecil. Ia menertawakan dirinya sendiri yang terlalu jujur dan tampak Gama tidak siap mendengarnya. Namun, ia tidak ingin membuat suasana makin canggung. Jadi ia tertawa saja. "Aku cuma pengin jujur soal perasaanku ke kamu. Aku tahu Mas Gama belum ada niat menikah—apalagi kepikiran nikah sama aku. Mas Gama jangan marah, ya?"
"Aku nggak marah, Vara." Akhirnya, Gama buka suara untuk pertama kali. "Makasih sudah cerita, sekarang aku jadi tahu motivasi kerja kamu."
"Shallow, ya? Tapi motivasi terbesarku sekarang bukan itu. Aku kayaknya nggak pernah ngerasa jatuh cinta kayak gini. I really adore you as a person and as a man I fell in love with. Jujur, aku bakalan bingung dan patah hati banget kalau kemarin Mas Gama nggak datang ke rumah dan jelasin semua."
"Maaf, karena bikin kamu sedih dan galau kemarin."
Vara tersenyum. "No problem. Kan sudah selesai dijelasin. Kita habis ini ke mana lagi?"
"Pulang? Aku harus antar kamu sesuai permintaan Pak Bimo."
Vara menghela napas panjang dan setengah merengut. Ia belum mau pulang dan masih mau bersama Gama.
"Besok kan kita ketemu lagi di kantor. Pulang bareng lagi?"
Vara mengangguk semangat. Ia terima apa pun yang ditawarkan Gama saat ini selama mereka bisa menghabiskan waktu agak lama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Havara! ✓
RomanceAvara Dala, si spoiled brat, harus berhadapan dengan mentor di kantor Papi yang bernama Gama. Kehidupan keduanya sangat berbeda. Vara selalu berhasil mendapat semua keinginannya, sedangkan Gama perlu berusaha dengan keras. Ending lanjut di Karyaka...