Vara sudah berusaha bekerja dengan baik, tapi ia masih sering melakukan kesalahan. Kata Gama, tugasnya tidak harus sempurna, yang penting bisa direalisasikan. Gama tidak marah sama sekali dengan kelemotan Vara. Pria itu benar-benar menunjukkan kesalahan Vara dengan pelan dan sabar lalu membantu untuk memperbaikinya.
Sejak itu, Vara makin kagum pada Gama. Meskipun Gama tak banyak omong selain urusan pekerjaan, Vara tetap menyukainya. Mungkin saat ini masih sebatas kagum saja, belum sampai jatuh cinta setengah mati. Namun, hari-hari Vara di kantor menjadi tidak terlalu membosankan lagi.
Vara pernah mendengar selentingan bahwa perbedaan sikap Gama padanya dan karyawan lain adalah karena Vara anak bosnya. Vara tidak mau menafikan berita itu sebab ia juga pernah berpikir demikian. Makanya, ia juga sedang giat mencoba agar Gama mengeluarkan sifat aslinya. Hanya saja, itu masih sulit. Gama selalu terlihat tenang menghadapinya.
Vara melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 8 malam dan ia masih di kantor berusaha menyelesaikan proposal. Gama juga masih di ruangannya.
Ini bukan yang pertama kali Vara pulang melewati jam 5 sore. Namun, ini yang paling malam. Vara sebenarnya sudah ingin pulang, tapi makin ke sini makin merasa tidak enak kalau pulang duluan padahal sebelumnya ia selalu pulang on time. Sejak tahu bahwa Gama dengan telaten membantunya dan memastikan Vara mendapat teman, ia jadi makin merasa tidak enak pada pria itu. Selain itu, ia juga merasa tidak enak karena pekerjaannya masih banyak.
Rima sudah berkali-kali menelepon menanyakan keberadaan Vara dan menyuruhnya pulang. Namun, Vara masih ragu. Ia melirik-lirik ke arah ruangan Gama tampaknya pria itu sedang serius. Barulah 39 menit kemudian ia mendengar Gama mulai beres-beres. Vara merasa lega karena akhirnya Gama akan pulang.
Gama terlihat terkejut ketika melihat Vara di mejanya. "Kamu belum pulang?"
Vara hampir menganga karena ia pikir Gama tahu bahwa dirinya masih di kantor. Ternyata Gama tidak tahu.
"Nggak dicariin orang tua kamu?"
Vara pun akhirnya mengaku bahwa ia menunggu Gama pulang karena tidak enak meninggalkannya.
"Kan saya sudah bilang, nggak usah nunggu saya pulang. Kalau memang sudah waktunya pulang, pulang aja. Ya sudah sekarang pulang, nanti kamu dicariin orang tua kamu."
Vara pun menurut. Ia membereskan meja sebentar lalu turun bersama Gama. Ya, Gama menunggunya untuk turun bersama dari lantai 16.
"Bawa mobil sendiri atau dijemput?"
"Hmmm... dijemput. Mas Gama pulang sendiri?"
"Ya sendiri."
"Naik apa?"
"Motor."
"Memangnya nggak dingin ya naik motor?"
Gama melirik Vara dari ekor matanya. "Pakai jaket, Vara."
"Oh, aku nggak pernah naik motor, nggak boleh sama mami katanya bahaya soalnya aku pasti pecicilan dan bikin deg-degan yang ngendarainnya. Mas Gama nggak punya mobil, ya?" Vara bertanya dengan nada polos dan penasaran.
Gama kembali hanya melirik Vara sekilas dan tidak merespon sampai pintu lift terbuka.
Vara yang menunggu jawaban Gama pun akhirnya diam. Mereka tidak lagi berbasa-basi karena sibuk dengan ponsel masing-masing. Vara baru menyadari bahwa pertanyaannya tadi mungkin kurang sopan. Vara menyesal tapi sudah terlambat.
Vara sibuk menanyakan supirnya di mana, sedangkan Gama sibuk menanyakan keluarganya mau titip makanan apa.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Havara! ✓
Storie d'amoreAvara Dala, si spoiled brat, harus berhadapan dengan mentor di kantor Papi yang bernama Gama. Kehidupan keduanya sangat berbeda. Vara selalu berhasil mendapat semua keinginannya, sedangkan Gama perlu berusaha dengan keras. Ending lanjut di Karyaka...