Vara benar-benar kesulitan mendapatkan tiket konser di Jakarta. Ia pun akhirnya merencanakan untuk mengambil cuti ke negara terdekat untuk nonton konser. Ia akan tetap berusaha mencari tiket di Jakarta dan di luar negeri. Scalper pasti memberikan harga tinggi untuk tiket dan ia tak rela mengeluarkan uang sebanyak itu. Andai saja ia bisa menggunakan uang sang ayah...
Namun, semua pikirannya tentang konser mendadak tergantikan dengan kabar bahwa ia harus presentasi di depan atasannya. Vara tidak menyangka bahwa akan secepat ini ia presentasi di depan orang. Padahal ia sudah nego dengan Gama agar pria itu tidak memberikan tugas berat selama ia masih mencari tiket konser. Sayangnya, Gama tampak tidak terlalu peduli dengan negosiasi mereka kemarin.
Jadilah mereka berkali-kali revisi, latihan presentasi, revisi, latihan lagi, pokoknya itu saja diulang-ulang sampai Vara benar-benar paham apa yang ia buat. Ia harus presentasi di depan Pak Budi. Vara rasanya belum siap. Apalagi ia masih shock karena belum mendapatkan tiket konser. Isi kepalanya makin berantakan.
"Mas, boleh nggak kalau Mas Gama aja yang presentasi di depan Pak Budi? Aku agak nervous." Vara setengah berbisik ketika mereka menuju ruang meeting.
Gama menoleh sekilas. "Hari ini ada Pak Bimo. Kamu presentasi di depan Pak Budi dan Pak Bimo."
Vara makin lemas setelah mendengar ada sang ayah di ruang meeting. Ia memang nervous karena meskipun ada Gama yang back up, tapi semua ide ini darinya. Rasanya Vara ingin kabur dan berteriak karena tidak sanggup menghadapi tekanan ini.
"Relaks. Mereka nggak akan makan kamu," ucap Gama setengah bercanda. Sayangnya, Vara sama sekali tidak terhibur. "Kamu presentasi sesuai latihan kemarin aja. Napas jangan lupa."
Ketika tiba di ruang meeting, Vara melihat Pak Budi, ayahnya, dan sekretaris ayahnya di sana. Vara ingin merajuk, tapi ia ingat kalau mereka sedang di kantor.
Gama pun memulai meeting lalu mempersilakan Vara untuk melakukan presentasi.
Vara sudah cemas akan banyak pertanyaan yang tidak bisa ia jawab. Namun, ternyata itu tidak terjadi. Ia bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Budi dan Bimo karena sudah latihan dengan Gama.
Vara amat gembira ketika mereka selesai meeting dan ia kembali ke mejanya bersama Gama. Ia tidak berhenti tersenyum dan mengajak Gama bicara karena hasil lembur mereka berguna. Ada beberapa catatan tambahan dari Budi, tapi itu tidak masalah karena Gama berjanji akan membantunya sebelum presentasi lagi.
"Gimana? Bisa, kan?"
Vara mengangguk bahagia. "Iya, thank you, ya. Kalau misalnya kemarin Mas Gama nggak kritis nyuruh revisi dan nanya ini-itu, aku bakalan kelimpungan sih."
"Sama-sama."
"Btw, Mas Gama makan siang di mana? Aku traktir yuk. Mau nggak? Sebagai ucapan terima kasih soalnya aku berhasil presentasi depan Pap–eh Pak Bimo."
"Nggak usah. Kamu tadi ada janji makan siang dengan Pak Bimo, kan?"
"Iya, nggak apa-apa, Papi nggak bakal marah kalau aku ajak Mas Gama... atau biar nggak canggung, berdua aja, ya?"
"Nggak usah, Vara. Kamu nggak perlu traktiran. PR kamu masih banyak, jangan senang dulu. Habis lunch, ketemu di sini lagi, ya."
"I know, tapi nggak apa-apa dong aku bahagia bisa melewati yang satu ini. Jujur, kalau misalnya nggak ada Mas Gama, aku mungkin kerjanya nggak ada hasil."
Vara terus mendesak untuk lunch bareng, tapi Gama tetap menolak. Akhirnya Vara hanya makan siang bersama sang ayah merayakan kelancarannya presentasi hari ini.
***
Akhirnya Vara yakin bahwa Joan benar. Gama tidak benar-benar galak, gaya bicaranya memang tegas tapi tidak galak. Itulah yang membuat orang tetap segan padanya. Itu juga alasan Bimo menugaskan Gama untuk mengajari dan mengawasinya di kantor.
Vara tidak bisa melepas pandangannya dari Gama yang sedang menjelaskan ulang beberapa feedback dari Bimo dan Budi tadi. Rasanya, Vara jadi sulit sekali berkonsentrasi saat hanya berdua dengan Gama. Belakangan ini, pikirannya selalu tertuju pada mentornya... mungkin efek 12 jam hampir selalu bersama pria itu. Vara jadi makin tidak bisa menyembunyikan perasaannya dengan baik. Setidaknya ia sedikit lupa dengan tiket konser yang belum ia dapatkan itu.
"Vara, kamu dengar nggak sih?"
Vara langsung tersadar ketika mendengar nada suara Gama yang berubah. Ia mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegap. "Iya, Mas."
"Menurut kamu gimana?"
Vara diam dan mencoba mengingat ucapan Gama sebelumnya. Hasilnya nihil karena sesungguhnya Vara sama sekali tidak mendengarkan Gama. Tatapan Vara hanya tertuju pada wajah Gama. Ia hanya memperhatikan bentuk mata, hidung, bibir, dan seluruh fitur wajahnya.
Gama berdecak lalu menutup laptopnya. "Percuma ngomong sama kamu kalau pikirannya ke mana-mana. Vara, apa kamu nggak bisa sekali aja serius dengan pekerjaanmu?"
Gama tidak pernah mengatakan hal itu meski Vara melakukan kesalahan berkali-kali. Bahkan saat kemarin harus mengulang presentasi sampai berkali-kali pun pria itu tidak marah. Namun, kali ini, Gama benar-benar terdengar lelah menghadapinya. Apakah Gama kali ini akan menyerah?
"Selama ini, saya sudah memaklumi semua tingkah laku kamu, tapi kayaknya nggak ada perubahan. Bagi kamu, pekerjaan saya mungkin kecil dan nggak ada artinya, tapi nggak buat saya. Saya ditugaskan langsung untuk membimbing kamu. Nyatanya, kamu masih sering bengong, ngelamunin apa sih? Saya juga nggak bisa memotivasi kamu kalau dari kamunya juga nggak ada usaha untuk serius."
Vara agak terkejut mendengar curhatan Gama yang terasa benar-benar frustrasi ketika menghadapinya. Ia memang tidak memiliki keinginan bekerja, jadi wajar saja kalau ogah-ogahan. Namun, rasanya Vara sudah sedikit berubah tidak terlalu ogah-ogahan lagi. Buktinya, ia berhasil membuat tugasnya dengan baik—walaupun banyak revisi.
"Saya bingung gimana bilang sama Pak Budi dan Pak Bimo soal kamu," ucap Gama pelan. Setelah itu ia bangkit sambil membawa laptopnya. "Proposal ini biar saya yang lanjut kerjain aja. Kamu bebas mau ngelamunin apa aja. Saya capek ngomong sama kamu."
Vara tidak sempat menjawab karena Gama pergi begitu saja meninggalkannya di ruang meeting. Ia sekarang merasa sangat bersalah dan harus meminta maaf dengan tulus pada Gama. Pria itu tampak benar-benar lelah dan ingin menyerah menghadapinya. Apakah Gama akan benar-benar menyerah menjadi pembimbingnya? Vara belum siap berganti pembimbing. Ia pikir, selama ini hubungan mereka berjalan baik-baik saja. Ia tidak tahu kalau Gama secapek itu menghadapinya.
Akhirnya, Vara bangkit lalu mengejar Gama sampai ke ruangannya. Vara mendengar suara embusan napas Gama yang panjang ketika melihat dirinya masuk.
"Ada apa lagi?" Gama bertanya dengan nada yang terdengar terganggu.
Vara menjadi makin tidak enak hati mendengar nada suara Gama. Mungkin Vara memang benar-benar telah mengganggunya. "Maaf, biar aku yang kerjain revisinya, Mas. I'm really sorry, aku nggak akan ngelamun lagi."
"Nggak usah dipikirin. Biar saya aja yang kerjain."
"Nggak. Aku aja. Ini tugas yang dikasih Mas Gama buat aku. Biar aku yang selesaikan."
"Saya aja. Kamu dari tadi cuma bengong. Lanjutkan aja bengongnya. Saya nggak akan bilang apa pun ke Pak Budi atau Pak Bimo. Yang penting mereka tahu kalau kamu bisa presentasi dengan baik tadi siang."
Vara ingin menyahut, tapi ia menahan diri karena tidak ingin memperkeruh suasana atau membuat Gama makin marah.
"Kamu nonton YouTube aja kalau bingung mau ngapain."
Vara lagi-lagi ingin membuka suara tapi semua tertahan di ujung lidahnya. Ia pun menyerah. Ia benar-benar tidak tahu kalau Gama secapek itu padanya. Apa mungkin kalau Vara memang keterlaluan? Apa Vara salah karena telah mengagumi Gama lebih dari biasanya?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Havara! ✓
RomantikAvara Dala, si spoiled brat, harus berhadapan dengan mentor di kantor Papi yang bernama Gama. Kehidupan keduanya sangat berbeda. Vara selalu berhasil mendapat semua keinginannya, sedangkan Gama perlu berusaha dengan keras. Ending lanjut di Karyaka...