11. I don't care

1K 116 0
                                    

Vara dan Gama berangkat ke Bandung menggunakan mobil ditemani supir kantor. Mereka ke Bandung menghadiri acara seminar di mana kantor menjadi sponsor. Demi hubungan baik dan kerja sama yang sudah terjalin bertahun-tahun, perwakilan kantor memang akan selalu datang di setiap acara yang disponsori. Tadinya hanya Gama yang pergi, tapi Vara memohon pada sang ayah agar diberikan izin ikut dengan alasan belajar. Padahal alasan lainnya ya karena ia ingin pergi bersama Gama. Ini adalah kesempatannya mendekati Gama lagi setelah upayanya selama ini belum membuahkan hasil apa pun.

Vara sempat meminta Gama duduk di belakang bersamanya, tapi pria itu menolak. Gama lebih memilih duduk di samping supir. Jadi, Vara tidak bisa memaksa.

Sepanjang perjalanan, Vara tidak banyak mengobrol dengan Gama selain masalah pekerjaan. Sisanya, Gama mengobrol dengan Pak Husen sang supir.

Diam-diam Vara menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Gama. Pria itu terdengar akrab sekali mengobrol dengan Pak Husen. Nada Gama pun berubah hangat sekali tidak seperti saat bicara dengannya.

Vara mengernyit karena tidak mengerti apa masalahnya sehingga sikap Gama sangat berbeda sekali padanya.

"...saya yang belum punya anak aja pusing Pak ngurusin anak remaja cewek. Gimana Pak Husen ya anaknya cewek semua," ucap Gama.

"Stress, Mas. Kalau sudah pada mulai pacaran... waduh. Deg-degan saya setiap hari. Apalagi kalau lihat pergaulan anak sekarang. Ngeri, Mas. Adiknya Mas Gama juga sudah remaja?"

"Iya, Pak. Sudah mulai susah diatur banget. Tiap malam minggu diapelin mulu sampai saya harus siaga terus di rumah."

Vara akhirnya tahu kalau ternyata Gama memiliki dua adik perempuan yang beranjak dewasa. Walau tidak disinggung mendalam, tapi akhirnya Vara tahu kalau Gama yatim-piatu. Pria itu yang mengurus semua keperluan adik-adiknya.

Vara sempat tercengang karena tidak menyangka kalau Gama setangguh itu bisa mengurus dua adik-adiknya. Sendirian. Pantas saja, Gama memang terlihat begitu dewasa dan sabar. Mungkin terbiasa menghadapi remaja cewek seperti dirinya.

"Kalau Mbak Vara nggak punya adik, ya?" Tiba-tiba Pak Husen bertanya pada Vara.

Vara agak kaget, tapi kemudian menjawab, "Iya, aku anak bungsu, Pak."

Pak Husen tersenyum dari balik stir. "Iya, dulu saya juga pernah nemenin kakak-kakanya Mbak Vara pas magang di kantor. Mas Satria sama Mbak Arsa, kan?"

"Oh, ya?" Vara terkejut mendapati fakta baru itu. "Kok bisa, Pak?"

"Pak Husen kan supir kepercayaan di kantor," sahut Gama.

"Kebetulan aja, Mas. Ini saya kan gantiin Pak Toto, harusnya dia yang nemenin Mas Gama ke Bandung. Anaknya sakit, jadi dia cuti."

Begitu tiba di Bandung, mereka langsung menuju lokasi acara di universitas. Vara yang belum lama ini lulus kuliah merasakan hal agak familiar. Ia tersenyum manis di samping Gama dan selalu menemaninya. Dalam beberapa momen kebersamaan ini, Vara sempat melihat sisi Gama yang lain lagi. Gama begitu luwes dan santai bicara dengan orang banyak. Gama bahkan bisa tertawa dan bercanda. Vara makin terpana melihat Gama.

Setelah acara selesai, mereka bersiap untuk kembali ke Jakarta. Vara masih tidak rela momen mereka berakhir begitu saja. Ia dan Gama belum banyak mengobrol selain masalah pekerjaan. Vara tidak berniat menggoda Gama, ia hanya ingin membuat pria itu tertarik padanya. Vara benar-benar menyukai Gama.

"Mas, mau jalan-jalan dulu sebelum pulang?" Tanya Vara ketika mereka sedang menunggu mobil.

Gama menoleh. "Jalan-jalan? Vara, kita ke sini untuk kerja. Besok saya ada meeting lagi, jadi harus pulang secepatnya."

"Sebentar aja kok. Habis itu kita pulang, nggak akan sampai tengah malam. Please? Makan dulu terus beli oleh-oleh buat mami, orang kantor, keluarga kamu, keluarganya Pak Husen. Jauh-jauh ke sini masa nggak bawa oleh-oleh? Mamiku nitip oleh-oleh."

Gama terlihat berpikir sebentar sebelum akhirnya mengiakan.

Vara bersorak gembira dalam hati.

***

Vara menatap Gama dengan senyum dan tatapan penuh kekaguman. Gama sedang memberitahunya tentang makanan Indonesia terenak yang pernah ia coba dan Vara hanya bisa mencerna sedikit. Selebihnya, Vara fokus memerhatikan ekspresi Gama. Mereka hanya makan berdua saja. Pak Husen menolak karena katanya tadi sudah makan selama menunggu. Alhasil, hanya Vara dan Gama saja yang masuk ke restoran sunda itu. Gama sudah menawarkan beberapa pilihan lain yang sekiranya cocok dengan Vara, tapi Vara meyakinkan bahwa ia bisa makan apa saja.

Gama sempat khawatir kalau Vara tidak suka, tapi ia berubah terlihat lega ketika Vara melihat menu lalu mengatakan bahwa ia bisa makan di sana.

Awalnya, keduanya hanya diam-diaman saja. Gama sibuk dengan ponselnya dan Vara sibuk berpura-pura fokus pada ponselnya juga. Namun, setelah beberapa saat, Vara mulai mencoba mengajak Gama bicara mengenai makanan. Vara sempat terkejut ketika Gama meletakkan ponsel lalu mulai mengobrol dengannya. Fokus Gama hanya tertuju padanya.

Mata Vara makin bersinar ketika mengetahui bahwa Gama juga sedikit hobi masak. "Wah! Keren banget! Mas Gama tuh apa sih kelemahannya? Kayaknya bisa apa aja. Perfecto banget!"

"Saya nggak sempurna, Vara. Saya masak karena memang itu cara untuk bertahan hidup dan ternyata bisa jadi hobi juga. Kalau beli terus, nanti adik-adik saya nggak bisa sekolah."

Vara tertegun mendengar sedikit curhatan Gama. Ia masih tidak bisa membayangkan bagaimana hidup seorang Gama. Jika ia ada di posisi Gama, Vara mungkin sudah menyerah. Vara makin kagum pada mentornya ini yang tampak serba bisa.

"Kalau aku jadi Mas Gama, aku pasti bakalan nyerah sama hidup."

"Ya, saya kebayang kok kamu nyerah. Dikerasin dikit aja kamu sudah mau resign kan waktu itu?"

Vara tidak tersinggung karena itu memang kenyataannya. "Aku nggak pernah kepengin kerja."

"Ya, I know."

Vara menghela napas lalu mendadak malah curhat. "Sejak aku kecil, aku sudah sering dengar gimana papi muji-muji dua anaknya terus. Aku selalu dikenalin sebagai Vara anaknya mami, adiknya Satria dan Arsa, atau anak bungsunya papi. Aku terbiasa dengan itu sampai aku nggak punya ambisi untuk jadi seorang Avara. Aku merasa baik-baik aja dengan itu, tapi ternyata Papi nggak suka."

Gama mendengarkan dengan saksama sambil melipat tangan di dada. "Apa cita-cita kamu?"

Vara diam sebentar, terlihat berpikir, sampai akhirnya menggeleng. "Aku nggak punya cita-cita yang benar-benar ingin kucapai."

"Kamu sudah punya segalanya sejak kecil, jadi nggak merasa perlu untuk punya cita-cita, mimpi, atau apa pun itu yang bisa bikin kamu semangat untuk bangun pagi."

Vara lagi-lagi tertegun mendengar itu. Sebuah kenyataan atau sindiran halus dari Gama.

"Jadi, apa yang Pak Bimo lakukan sampai kamu bersedia kerja?"

Vara mengangguk ragu. "Papi ambil kartu kredit. Sekarang, aku hidup dari gaji di kantor."

"Make sense," ucap Gama sambil mengangguk-angguk. "But, believe me, setiap orang tua cuma mau yang terbaik untuk anaknya."

"Omongan kamu sama kayak mami deh," balas Vara.

Gama hanya mengangkat bahu lalu kemudian menegakkan duduknya ketika pesanan mereka sampai. Begitu semua tersaji di meja, Gama mempersilakan Vara untuk makan. Ia kemudian sibuk mendekatkan beberapa makanan ke arah Vara.

"Cicipin sedikit, biar kalau kita harus meeting atau dinas di luar lagi saya nggak bingung milih makanan yang cocok untuk kamu."

Vara tersenyum mendengar itu karena di balik maksud Gama yang sebenarnya, Vara hanya bisa menangkap bahwa ini bukan terakhir kalinya mereka akan dinas di luar.

***

Havara! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang