Gama sedang duduk halaman depan setelah mencuci motor. Isi kepalanya berantakan karena terus memikirkan Vara. Namun, ia tidak tahu bagaimana cara memperbaiki pikiran dan hubungannya dengan Vara. Tidak lama kemudian, Gina duduk di sampingnya sambil membawakan air putih.
"Tumben. Ada apa?" Gama bertanya curiga melihat tingkah Gina yang tumben membawakannya minum. "Mau minta apa?"
Gina mendengus. "Memangnya kalau bawain minum sudah pasti minta sesuatu?"
"Ya kamu baik kalau ada maunya kan, Gin?"
Gina menghela napas berat lalu menatap ke depan. "Aku cuma mau ngobrol sama Mas Gama."
"Ada apa? Kamu lagi ada masalah sama Fajar?"
Gina menggeleng lalu ia menoleh menatap kakaknya tepat di mata. "Bukan soal aku, tapi Mas Gama."
Gama mengernyit.
Sebelum bicara, Gina menarik napas lagi. Kali ini ia terlihat bingung sedikit. "Mas Gama suka banget sama Vara? Pacarannya serius?"
Gama terhenyak mendengar pertanyaan Gina yang tanpa basa-basi.
"Hampir setiap weekend dia selalu mampir ke sini biarpun aku sama Gadis lagi nggak di rumah. Bu Broto dan warga lain sempat nanya gimana hubungan kalian. Kalian selalu ngabisin waktu di dalam. Berdua. Mas Gama beneran cinta sama dia?"
"Kami cuma ngobrol."
"No funny business?"
Gama menggeleng tanpa ragu.
"It's just... kalau Mas Gama nggak serius, mungkin Mas Gama harus bilang supaya Vara nggak datang tiap weekend kalau aku atau Gadis lagi nggak ada. Fajar aja cuma main kalau ada Mas Gama di rumah. Adil, kan?"
Gama diam sebelum akhirnya menjawab, "Vara nggak akan mampir lagi ke sini, kamu nggak perlu khawatir."
Gina tidak terlihat terkejut mendengar informasi itu. Ia hanya diam sebentar lalu melanjutkan kalimatnya, "Mas Gama nggak mau balikan aja sama Mbak Kinan? Sekarang, aku dan Gadis sudah dewasa. Bentar lagi, aku lulus kuliah dan cari kerja. Mas Gama nggak perlu mikirin aku terus, nanti aku bantu bayarin sekolahnya Gadis–kalau sudah kerja."
Gama tersenyum mendengar niat baik adiknya yang cuek tapi ternyata thoughtful. "Nggak usah, untuk sekolah kamu dan Gadis, Mas masih bisa biayain. Kalau sudah kerja, uangnya kamu tabung untuk kehidupan kamu aja. Papa-Mama nggak punya warisan lagi selain rumah ini. Nanti kita bicarakan lagi soal rumah ini."
"Ada Mbak Kinan lho, Mas. Belum menikah. Kalau Mas Gama masih sayang, lamar aja. Aku dan Gadis bakalan happy kalau Mas Gama nikah."
Gama lagi-lagi hanya tersenyum.
"Maksud aku ya daripada Vara, mendingan Mbak Kinan lah. Vara memang kaya sih, tapi aku yakin Mas Gama nggak silau sama dia. Mbak Kinan ini dewasa, cocok sama Mas Gama."
"Kamu nggak usah ngurusin percintaannya Mas. Urusin aja itu skripsi kamu lho biar cepat selesai. Malu tuh sama Fajar nungguin kamu lulus."
Gina mendengus. "Working on it, Mas. Btw, Vara hari ini nggak mampir?"
"Bukannya kamu nggak mau dia mampir? Kok sekarang malah nanyain?"
"Ya agak aneh aja sih. Biasanya di meja makan rame banget itu jajanan pasar, sekarang sepi."
"Kalau mau jajan, beli aja itu di warung depan. Ambil uangnya di dompet, Mas."
"Nggak usah, aku cuma bercanda. Anyway, aku sama Fajar mau pergi ke Ancol, pulangnya malam ya."
"Jangan terlalu malam."
Gina mengangguk lalu ia bangkit meninggalkan Gama sendiri.
Sementara itu, Gama menghela napas panjang sambil memandangi genangan air bekas cucian motornya tadi. Ada aroma rumput basah, sabun, dan aspal basah yang memenuhi hidung Gama. Akhir pekannya hari ini akan terasa sepi karena ketidakhadiran Vara di rumahnya. Ia harus kembali sendiri.
***
Gama duduk tegap menantikan pria paruh baya di depannya bicara. Ia sudah setengah jam di ruangan Bimo dan pria itu hanya memandangnya galak. Gama tahu ini pasti masalah Vara. Ia sudah siap jika tiba-tiba dipecat karena menyakiti hati Vara. Itu harga yang harus ia bayar karena mempermainkan hati anak bos.
Bimo menatap Gama dengan tatapan galak. "Kamu pacaran sama Vara? Sekarang sudah putus?"
"Benar, Pak."
Bimo berdecak kecewa. "Saya cuma minta kamu bantu dia kerja dan kasih motivasi supaya mau mandiri. Saya nggak minta kamu pacaran sama dia. Lihat apa yang terjadi karena kamu bertindak terlalu jauh."
Gama mengucapkan maaf karena ia memang melewati batas.
"Terus sekarang gimana? Vara bilang sebenarnya kamu nggak suka sama dia dan berpura-pura. Dia demotivasi, nggak mau makan. Mamanya sampai stress gara-gara dia patah hati sama kamu."
"Saya memang salah, Pak. Maafkan saya bikin Vara sakit hati. Saya terima setiap konsekuensinya karena saya bertindak terlalu jauh."
"Konsekuensi apa maksudnya? Kamu pikir saya panggil kamu karena mau ngamuk dan mecat kamu? Saya memang kecewa sama kamu karena berani berpura-pura dan menyakiti Vara, tapi saya nggak kepikiran mecat kamu. Sejak dulu, Vara memang berkutat di masalah yang sama. Ini yang saya takutkan kalau dia nggak mandiri. Dia nggak bisa handle masalahnya sendiri. Semua selalu saya atau mamanya yang menyelesaikan masalahnya."
"Maafkan saya, Pak."
Bimo berdecak kecewa lagi sambil menggelengkan kepala. "Improvisasi kamu terlalu jauh. Saya kecewa sama kamu. Omong-omong, setiap akhir pekan dia ke tempatmu. Kalian sudah sejauh apa? Kamu nggak memanfaatkan dia untuk keinginan kamu kan?"
Gama menggeleng dengan tegas mengerti maksud Bimo. "Nggak, Pak. Saya nggak memanfaatkan perasaan Vara ke saya. Perasaan saya ke Vara tulus. Saya nggak bohong tentang perasaan saya."
Bimo mengernyit. "Gimana sih? Kata Vara kamu pura-pura, tapi kok di depan saya ngaku punya perasaan ke dia? Yang mana yang benar?"
"Awalnya, saya memang pura-pura supaya Vara mau semangat kerja, soalnya saya butuh uang bonus untuk biaya adik sekolah. Tapi makin lama, saya sadar kalau perasaannya ke Vara itu nyata. Saya sayang sama anaknya Pak Bimo."
Bimo diam menatap Gama, lalu beliau menutup mata beberapa detik sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Kamu benar-benar keterlaluan, Gama. Pantas saja Vara sedih dan kecewa. Kalau kamu memang butuh uang untuk adikmu kan bisa bilang ke saya, bisa bilang juga kendala Vara apa. Saya nggak akan potong bonus kamu kalau tahu kamu berusaha dan memang Vara yang bermasalah. Kamu ini memperumit semuanya. Sabtu ini, kamu datang ke rumah saya, minta maaf sama Vara dan ibunya. Awas kalau tidak datang, saya pecat kamu."
Gama agak terkejut mendengar perintah Bimo, tapi ia tampaknya tidak punya pilihan lain. Minta maaf memang hal yang perlu ia lakukan.
***
A/N: Terima kasih yaaaaaa atas vote dan komennya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Havara! ✓
Lãng mạnAvara Dala, si spoiled brat, harus berhadapan dengan mentor di kantor Papi yang bernama Gama. Kehidupan keduanya sangat berbeda. Vara selalu berhasil mendapat semua keinginannya, sedangkan Gama perlu berusaha dengan keras. Ending lanjut di Karyaka...