36. Nooooo

1.3K 109 4
                                    


"Vara, ada Mas Gama di depan."

"Kenapa Mami bolehin masuk? Aku nggak mau ketemu sama dia."

"Bukan Mama yang nyuruh masuk, Papa kamu."

"Aku nggak mau ketemu. Biar aja Papi yang ketemu."

Rima menghela napas lalu mengelus kepala Vara. "Papa sudah ketemu sama Mas Gama. Dia ngobrol sama Papa hampir sejam, Mama juga diajak. Mas Gama mau minta maaf."

Vara berpikir sebentar lalu menggeleng. "Aku nggak mau, Mi."

"Ya sudah, Mama suruh pulang aja ya Mas Gama."

Setelah Rima keluar, Vara bangkit lalu menuju jendela di mana ia bisa melihat ke arah luar. Ia menunggu untuk melihat Gama pergi. Vara menarik napas panjang saat melihat Gama pergi dari rumahnya. Vara sangat rindu tapi ia tidak bisa melupakan bahwa Gama membohonginya.

Perasaan Vara amat tulus padanya, tapi Gama tega sekali berpura-pura. Walaupun Gama mengakui sudah tidak berpura-pura lagi, tapi Vara tidak tahu kapan tepatnya Gama tidak berpura-pura. Ia membayangkan kemesraan mereka selama ini ternyata hanya tipuan belaka.

"Dek, Mas Gama titip ini buat kamu. Ini apa isinya?" Rima bertanya seraya memberikan sebuah kotak berukuran sedang pada Vara.

Vara menerima kotak yang sudah dibungkus seperti hadiah. "Aku nggak tahu Mih."

Vara membawa kotak itu lalu duduk di sofa dan membukanya. Rima mengikuti Vara dengan rasa penasaran.

Baru setengah membuka bungkusannya, Vara sudah tahu apa isinya. Parfum kesukaannya. Saat outing, Vara memang mengeluhkan parfumnya yang sudah hampir habis. Ia mengatakan pada Gama untuk menemaninya membeli yang baru. Namun, Vara lupa dan itu tidak pernah terjadi.

"Mas Gama suka sama wangiku yang ini," ucap Vara pelan tapi masih terdengar oleh sang ibu.

"Kamu yakin nggak mau maafin dan ketemu Mas Gama?"

Vara menggeleng. "I want to, Mih, tapi rasanya aku nggak siap. Aku jadi selalu bertanya-tanya sikap mana yang real, mana yang pura-pura."

"Menurut Mama, Mas Gama nggak berpura-pura, Var. Kayaknya dia sungguh-sungguh sayang kamu."

"Aku pengin banget percaya itu..."

"Kamu kayak gini bikin Mama sedih. Jangan salah sangka, Mama marah sama Mas Gama, tapi dia bersungguh-sungguh mau minta maaf ke kamu. Apa kamu nggak takut menyesal kalau nggak mau maafin dia?"

"Mih, aku harus apa?"

"Mas Gama nggak mungkin kabur, Var. Kalau dia berani nyakitin kamu lagi, Papa berani untuk bertindak."

"Really?"

Rima mengangguk. "Papa bolehin Gama ke sini dengan syarat nggak nyakitin kamu lagi. Kalau sampai dia nyakitin kamu, Gama rela keluar dari kantor."

"Mas Gama nanti kerja di mana kalau keluar?"

Rima mengangkat bahu. "Bukan urusan Papa atau Mama, Vara."

"Jangan jahat sama Mas Gama, Mami."

"Tuh, kamu marahin Mama kalau belain Gama, tapi kamu sendiri belain dia terus."

Vara menghela napas dan menyadari bahwa sikapnya memang sesuai yang Rima bilang. Ia diam-diam masih membela Gama. "I just... Aku sayang banget sama Mas Gama."

"Kalau Gama memang bisa bikin kamu bahagia, Mama juga ikut bahagia. Mama restui semua keputusan kamu."

Vara bergerak memeluk sang ibu. "Aku sayang banget sama Mas Gama."

"Vara..."

"Menurut Mami, apa Mas Gama bisa dipercaya? Aku bakalan nurut apa kata Mami. Aku nggak pandai nilai orang. Kalau Mami bilang aku harus jauhin Mas Gama, aku akan lakuin."

***

Havara! ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang