Vara bekerja di bawah supervisi Gama. Ia sudah berkenalan dengan rekan-rekan di timnya yang baru. Seperti biasa, beberapa orang segan dengannya karena tahu ia anak bos. Inilah sebenarnya yang membuat Vara kurang nyaman berada di divisi mana pun. Namun, kali ini tampaknya akan ada sedikit perbedaan.
Ruangan Gama tidak terlalu besar, jadi Vara duduk di kursi yang menghadap Gama.
"Avara Dala," ucap Gama sambil menatap Vara dengan tatapan datar.
Vara mencoba tersenyum walaupun jadi terlihat agak kaku.
"Sebelum ke sini, habis kerja di divisi apa? Kerjanya ngapain aja?"
"HR. Baca CV dan kroscek kandidat karyawan baru. Agak membosankan sih, kurang fun, kerjaannya cuma duduk aja," sahut Vara dengan detail berlebihan.
Gama mengangguk sekali lalu menyatukan kedua tangannya di meja. "Oke, hanya mengingatkan aja, di sini mungkin nggak menyenangkan juga, so brace yourself."
Mata Vara langsung membulat. Ia kemudian mengembuskan napas kecewa lalu menggumam pelan, "Papi kenapa sih suka ngasih tempat yang nggak menyenangkan juga?"
"Apa?"
Vara langsung menggelengkan kepala. Ia pikir suaranya sangat pelan, tapi mungkin tetap terdengar oleh Gama. Untungnya, Gama tidak memperpanjang dan langsung menjelaskan beberapa tugas yang harus dikerjakan oleh Vara nanti.
Secara garis besar, Vara akan mendapat tugas untuk mengerjakan program kerja sama baru dengan perusahaan lain dengan bantuan Gama. Semua mulai dari 0. Gama tidak akan melepas Vara sendiri, pria itu akan tetap membimbing dan membantu Vara.
"Sewaktu kuliah, kamu pernah ikut kepanitian kampus? Kalau pernah, kayaknya nggak akan terlalu kesulitan ya hanya beda skalanya aja dan lebih professional."
Vara menggeleng. Ia sama sekali tidak pernah ikut kegiatan kampus. Ia datang hanya untuk kuliah lalu setelahnya jalan-jalan bersama teman-temannya atau mantan pacar dulu. Vara tidak pernah berencana untuk bekerja karena ia berharap akan langsung menikah. Kuliah hanyalah formalitas baginya.
Gama seperti ingin mengatakan sesuatu setelah melihat respon Vara, tapi tidak jadi. Pria itu diam sesaat lalu kembali bicara lagi dengan tenang, "Ya sudah, nggak apa-apa. Kita belajar pelan-pelan aja."
Vara tidak tahu harus merespons apa. Ia hanya menunggu Gama bicara saja.
"Ada yang mau kamu tanyakan ke saya?"
Vara berpikir sesaat, lalu ia teringat sebuah pertanyaan, "Nanti kerjanya ada meeting atau jalan-jalan nggak? Aku bakalan bosan kalau cuma duduk di kantor aja. Terus tadi bilang mau langsung aja aku meeting, ya?"
"Kemungkinan besar iya, tapi nggak dalam waktu dekat. Barusan Pak Budi kirim pesan dan bilang kamu belum siap diajak meeting."
Vara mendesah kecewa. "Berarti nggak jadi pergi?"
Gama menggeleng, lalu ia menatap layar laptopnya dan bicara, "Saya kirimkan beberapa list perusahaan yang tertarik kerja sama dengan kita, kamu coba analisis dulu mana yang paling possible dilakukan. Boleh sekalian propose program kalau kamu ada ide. Kamu sekolah bisnis, kan?"
"Iya sih, tapi aku bodoh," sahut Vara dengan suara yang terdengar ragu.
Gama berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala. Ia kemudian menatap Vara tajam. "Belum mulai kok sudah ngelabelin diri sendiri. Coba dulu, nanti kalau ada yang nggak paham, langsung tanya ke saya. Saya ada untuk bantuin kamu."
Vara menegakkan posisi duduknya setelah mendengar suara Gama yang tenang tapi terdengar sangat tegas. Baru kali ini ia merasa deg-degan karena ditegur langsung. Nadanya sangat berbeda dengan teguran soal pakaian udelnya. Vara tidak berani menyela lagi. Ia hanya diam menunggu Gama bersuara lagi.
Gama mempersilakan Vara untuk ke meja barunya. Tanpa banyak bicara, Vara pun langsung keluar. Entah mengapa, ia merasa hidupnya akan penuh tekanan dalam beberapa bulan mendatang.
Begitu di luar, Vara langsung mengirim pesan pada Rima tentang mentor barunya yang bernama Gama. Tidak lama kemudian, Mami menelepon dan Vara berlarian menuju tangga darurat. Ia bicara dengan Mami sambil menahan tangis.
"Mas Gama galak, Mi. Mami bilangin ke Papi dong aku mau resign aja kalau nggak dikasih mentor baru yang baik," ucap Vara setengah merajuk.
"Lho? Baru sehari kamu sudah dimarahin sama dia? Kamu memangnya ngapain?"
"Justru aku belum ngapa-ngapain tapi aku takut dimarahin terus."
"Jangan takut dong. Tunggu ya, Mama ke sana jemput kamu habis itu kita ketemu sama Mas Gama."
"Nggak usah, Mami bilang aja sama Papi aku mau resign."
"Ya sudah, nanti coba Mama bilang ke Papa. Kamu sekarang lagi di mana?"
"Di tangga darurat. Mami di mana?"
"Kamu tunggu di lobi, biar Pak Odi jemput ya."
Setelah itu, Vara pergi dan tidak kembali ke kantor lagi. Gama menghubunginya, tapi Vara mengatakan bahwa ia akan berhenti. Gama tidak membalasnya lagi.
***
Begitu tiba di rumah, Vara langsung berlari mencari Rima dan mengadu tentang kejadian tadi di ruangan Gama. Vara kembali menekankan pada sang mama bahwa ia tidak ingin bekerja di kantor. Ia pun kembali mendesak Rima supaya bicara pada Rima untuk segera mencarikannya jodoh orang kaya saja supaya dirinya tidak perlu bekerja lagi dan bertemu Gama.
"Mas Gama itu kayaknya galak, Mi. Aku takut banyak diaduin atau dimarahin sama dia," ucap Vara dengan suara merajuk kepada Rima.
"Masa sih? Kalau kamu nggak salah, ya dia nggak bakal ngadu dong, Var. Orangnya yang mana, sih? Mama perlu ketemu nggak?"
"Nggak usah. Nanti Mami malah naksir, soalnya orangnya ganteng, Mi."
Mami tertawa mendengar jawaban si bungsu. Beliau menggeleng-gelengkan kepala. "Mana bisa Mama naksir sama anak muda, Dek?"
"Ya pokoknya Mami bakal suka deh soalnya dia tuh lebih ganteng dari Mas Rama!"
Mami masih tertawa saat mendengar penjelasan Vara mengenai Gama. Biarpun sebal dan takut, tapi Vara berhasil mendeskripsikan Gama sebagai sosok pria idaman di kantor.
Vara memang belum banyak bicara dengan Gama, tapi ia sudah bisa menebak karakternya sedikit. Tampaknya memang tidak akan menyenangkan lagi seperti di divisi HR kemarin.
"Aku kali ini beneran nyerah deh, Mi. Daripada kerja, nggak apa-apa deh nggak dapat kartu kredit lagi."
"Kamu yakin?"
Vara menggeleng lalu menghela napas panjang. Tentu saja ia masih butuh kartu kredit milik sang ayah. Hanya saja, ia gamang. "Mi, gimana soal jodohku? Papi sudah nyari belum sih?"
Mami mengelus punggung si bungsu. "Sabar, Papa masih usaha. Papa masih malu karena kemarin gagal jodohin kakak-kakakmu. Kamu coba nikmatin dulu aja kerja, Mama juga sambil tanya teman-teman mama yang anaknya single."
Vara mengembuskan napas panjang. Ia makin yakin bahwa Papi masih ragu untuk menjodohkan Vara. Padahal, Vara sudah mengatakan akan menerima apa pun keputusan Papi. "Gimana bisa aku nikmatin kerja di kantor? Bosen, Mami. Apalagi sekarang dapat mentor galak."
***
![](https://img.wattpad.com/cover/333755812-288-k833450.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Havara! ✓
RomanceAvara Dala, si spoiled brat, harus berhadapan dengan mentor di kantor Papi yang bernama Gama. Kehidupan keduanya sangat berbeda. Vara selalu berhasil mendapat semua keinginannya, sedangkan Gama perlu berusaha dengan keras. Ending lanjut di Karyaka...