Bab 6

4.7K 263 20
                                    

Bab 6

Hiro langsung kembali ke rumah sakit saat mendapat kabar jika istrinya sudah siuman. 

Hiro membuka pintu kamar ruang rawat istrinya kemudian menghampiri ranjang tempat istrinya berbaring. 

"Sayang, kamu sudah sadar?"  

Hiro segera bertanya saat tiba di samping tempat tidur istrinya. Tangan dingin pria itu menggenggam tangan sang istri yang tidak tertusuk jarum infus. Pria itu mengecup beberapa kali punggung tangan sang istri  sampai tidak sadar jika air matanya sudah menetes.

Ini adalah air mata bahagia. Hiro tentu saja bahagia mendapati istrinya sudah sadar. Penantiannya selama satu bulan lebih akhirnya membuahkan hasil.

"Apa kamu berharap aku mati, Mas?" 

Hiro membeku ketika mendengar tanya bernada dingin dari istrinya. Hiro menatap perban yang menutup mata sang istri dengan tatapan tak percaya akan pertanyaan Elina yang begitu menusuk jantungnya.

"Sayang, kamu bicara apa? Mas tidak mungkin berharap kamu meninggal." Hiro tanpa sadar menggenggam erat tangan istrinya. Jantungnya terasa diremas kala Elina berusaha melepaskan genggaman tangan mereka. 

"Siapa yang tahu. Aku bahkan berharap, Tuhan mencabut nyawaku." Elina tersenyum sendu. "Tapi sayangnya, Tuhan masih menginginkan aku berada di dunia ini untuk menikmati penderitaan," tandasnya dingin. 

"Elina!" Hiro membentak marah ketika mendengar ucapan istrinya. Hiro tidak terima dengan keinginan Elina yang ingin cepat menghadap Tuhan daripada bertahan bersamanya di dunia ini.

"Tidak perlu marah, Mas. Aku hanya menyampaikan isi hati dan pikiranku." Elina berucap dengan suara pelan. "Aku benar-benar tidak ingin hidup lagi. Mati dengan seribu luka fisik lebih baik daripada hidup dengan satu luka."

Hiro segera memeluk tubuh istrinya. Hiro tidak tahu mengapa istrinya terlihat putus asa saat sadar dari koma. Mungkin Elina merasa frustrasi karena untuk sementara matanya tak bisa melihat, pikir Hiro. Pria itu mencoba menenangkan dirinya dengan spekulasi yang ia buat sendiri dalam hati dan pikirannya.

"Tolong Mas, lepaskan. Kamu tahu rasanya tertusuk duri?" Elina bertanya. "Rasanya sakit. Sama seperti saat ini kamu memeluk aku. Rasanya seperti memeluk duri," gumamnya lirih. Elina masih berusaha dengan susah payah melepaskan dekapan Hiro pada tubuhnya. Namun, pria itu enggan melakukannya.

"Tidak, Sayang. Mas mohon jangan minta mas untuk melepaskan pelukan ini. Mas rindu kamu."

"Saat aku masih sehat dulu, Mas ke mana? Mas selalu pergi. Ada ataupun tidak ada Mas di sini, itu tidak akan berarti lagi." 

"Sayang--"

"Ke mana kamu waktu malam aku kecelakaan?" sela Elina. Sebuah pertanyaan sederhana yang sudah ia ketahui jawabannya namun mampu membuat tubuh Hiro  membeku sesaat.

"Aku menebus obat untuk Monik,  anaknya Mita. Bukannya Mas sudah pernah kasih tahu kamu?"

"Kamu yakin hanya itu?" 

Hiro mengangguk kepalanya kaku. Ingatannya terputar saat ia melakukan adegan kissing yang  seharusnya tidak ia lakukan. Hiro menggeleng kepalanya dengan tangan yang ia kepalkan diam-diam di belakang punggung istrinya. Hiro tidak akan pernah memberitahukan tentang kekhilafan yang pernah ia lakukan pada wanita yang bukan istrinya.

"Yakin."

Mendengar jawaban Hiro, Elina tersenyum sendu. Wanita itu menggeleng pelan kepalanya. "Tidak, Mas. Kamu tidak hanya menebus obat untuk anaknya Mita. Tapi, kamu juga melakukan sesuatu yang tidak seharusnya kamu lakukan pada wanita lain,"  balas Elina. Suaranya tersendat akan tangis dan sesak di dada akan fakta yang baru ia ketahui dari Mita langsung. Tidak pernah ia sangka,  jika pria yang dulu memperjuangkannya untuk menjadikan dirinya sebagai kekasih dan istri dari pria itu ternyata tega menghianatinya.

"Sayang--"

"Kamu berciuman dengannya. Bertukar liur dengan wanita yang bukan istri kamu. Melakukan hal yang tidak seharusnya kamu lakukan. Kamu melakukan hal itu di saat aku meregang nyawa."

"D-dari mana kamu tahu?" Suara Hiro terbata membuat Elina menyungging senyum sendu yang membuat jantung pria itu terasa diremas. Hatinya sungguh sakit melihat senyum istrinya.

"Kamu bukan orang bodoh untuk menebak siapa yang memberitahuku. Kecuali--" Elina menjeda kalimatnya sejenak. "Kalau kamu melakukan hal itu di depan umum. Maka, akan banyak orang yang akan melaporkan apa yang kamu lakukan padaku."

Hiro menundukkan kepalanya dengan tangan terkepal. Hiro tahu siapa yang memberi tahu istrinya. siapa lagi yang melakukannya jika bukan Mita secara pribadi karena di rumah itu hanya ada ia, Mita,  dan Monik.

"Aku, maaf." hanya itu yang bisa disampaikan Hiro pada istrinya yang sudah ia lukai.

"Mas, bagaimana kalau kita berpisah? Mas bisa tolong aku untuk kurus perceraian ki--"

"Tidak, Elina. Sampai kapanpun aku tidak akan pernah menceraikan kamu. Lebih baik kamu membunuhku, daripada kita harus hidup terpisah," tolak Hiro tegas. Ia tidak akan pernah mau jika diminta untuk berpisah dengan Elina. Hiro hanya melakukan satu kesalahan fatal dan Elina tidak memiliki hak untuk menghukumnya dengan cara yang begitu brutal. 

**** 

Siang itu Elina dengan senyum bahagia menyiapkan makan siang untuk suaminya yang mengatakan akan pulang ke rumah dan makan siang bersama.

Semua hidangan sudah tersaji. Hanya menunggu tuan rumah yang datang dan mereka akan siap menyantap hidangan yang tersedia.

Elina juga sudah berdandan cantik demi menemani suaminya makan siang. Hanya makan siang sederhana di rumah, namun Elina melakukan persiapan penuh agar suaminya--Hiro-- puas tidak hanya dengan hasil masakannya saja, tapi juga puas dengan penampilannya.

Elina tersenyum lebar saat mendengar suara deru mobil yang sudah ia hafal. Itu adalah suara deru mobil milik Hiro yang terparkir di depan halaman rumah mereka.

Segera dengan langkah riang, Elina menuju pintu dan membukanya tanpa menghilangkan senyum lebar yang menghiasi wajahnya.

"Mas--" Senyum Elina nyaris runtuh saat melihat suaminya tidak datang sendiri. Ada seorang wanita di belakangnya yang diperkirakan berusia lebih dari suaminya. "Kamu sama siapa, Mas?" Elina mengerut keningnya karena tidak mengenali wanita yang berada di samping suaminya.

Hiro memeluk Elina sebentar kemudian memperkenalkan wanita yang ikut bersamanya.

"Dia adalah Mita, sahabat Mas." Hiro memperkenalkan Mita pada Elina. "Nah, Mit, perkenalkan perempuan cantik ini adalah istriku, Elina. Aku harap kalian bisa berteman dengan baik kedepannya," kata Hiro dengan senyum lebarnya.

Hiro tidak sengaja bertemu dengan Mita saat ia menjenguk salah satu rekan dosennya di rumah sakit. Dari sanalah Hiro tahu jika Mita yang dulu menikah sudah bercerai dengan suaminya dan kini putri satu-satunya yang dimiliki Monik menderita penyakit jantung.

"Elina." Elina mengulurkan tangannya yang disambut Mita dengan senyum manis.

Elina kemudian dengan kesadaran diri mempersilakan Mita masuk ke dalam rumah mereka. Tidak sampai disitu saja, Elina meminta Hiro untuk mengajak Mita makan siang bersama.

Elina tidak tahu, jika sejak hari Mita datang ke rumah  mereka, maka kehidupan rumah tangganya yang harmonis dan nyaman mulai terusik sedikit demi sedikit.

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang