Bab 14

3.3K 229 23
                                    

Hiro merangkul pinggang Elina masuk ke dalam restoran. Tidak mereka pedulikan tatapan orang-orang yang menatap mereka dengan berbagai macam persepsi. Lebih tepatnya, Hiro yang tidak peduli dengan tatapan orang lain. Sementara Elina sendiri tidak menyadari jika saat ini ia sedang ditatap oleh banyak pasang mata.

Hiro mengambil posisi duduk yang mengarah ke taman samping restoran.  Setelah itu ia meletakkan tongkat milik Elina bersandar pada kursi yang ia duduki. Hiro sendiri duduk tepat di sebelah sang istri dan menatapnya dengan lembut.

"Mau makan apa, Sayang?"

Sementara itu pelayan restoran sudah menunggu  dan siap mencatat apa yang dibutuhkan oleh pelanggan.

"Aku pengen makan ayam lada hitam sama udang gurih pedas. Sudah lumayan lama aku belum makan makanan itu," jawab Elina. Tatapannya lurus ke depan hingga membuat pelayan mengernyit sedikit.

"Oh, oke. Aku juga mau beef steak satu dan nasi yang seperti biasa," ujar Hiro pada pelayan.

Setelah mencatat makanan dan minuman sesuai request pelanggan, pelayan tersebut kemudian berbalik pergi menuju dapur untuk memberikan menu pilihan pelanggan pada chef yang bertugas.

Sementara sambil menunggu makanan terhidang, mulut Hiro mulai beraksi dan menyebutkan apa yang ia lihat serta bagaimana suasana di restoran tempat mereka berada saat ini.

Sementara Elina sendiri menjadi pendengar yang baik ketika suaminya menjelaskan suasana restoran. Elina sedang membayangkan apa yang diucapkan suaminya, sehingga membuat wanita itu tersenyum senang. Meski tidak bisa melihat, setidaknya Elina bisa membayangkan suasana restoran dengan daya khayalnya sendiri.

20 menit kemudian makanan mulai terhidang di atas meja. Hiro kemudian membantu Elina untuk memotong beberapa bagian daging yang dianggap cukup besar sehingga istrinya tidak kesulitan.

"Terima kasih, Mas," ucap Elina pada Hiro.

"Sama-sama, Sayang." Hiro kemudian mengecup pipi Elina dan mulai fokus pada makanannya sendirinya. Sesekali ia akan membantu Elina jika istrinya itu terlihat kesulitan.

Hiro merasa bersyukur istrinya mau diajak makan di keluar rumah seperti ini.

"Hiro?"

Elina menghentikan gerakan mengunyah ketika mendengar suara yang tidak ingin ia dengar.

Mita.

Rupanya wanita itu tidak menyerah juga, pikir Elina dalam hati.

"Mmm, Mita?" Hiro melirik ke arah Elina yang kini ekspresi wajahnya terlihat datar. "Sedang apa kamu di sini?" Pria itu bertanya, takut jika istrinya akan merasa tidak nyaman dengan keberadaan Mita.

Mita tersenyum manis. "Aku lagi makan malam bareng Monik juga, Mas. Tidak menyangka kita akan bertemu di sini," ucapnya antusias. "Eh, ada Elina juga," tambahnya seolah baru menyadari kehadiran Elina.

"Iya. Kami berdua lagi makan malam untuk merayakan hari bahagia kami," ujar Hiro berbohong.  Pria itu tidak ingin Mita tiba-tiba duduk di meja yang sama dengan mereka. Setidaknya Mita harus sadar diri jika kehadirannya tidak diinginkan oleh Hiro maupun Elina.

"Oh, hari bahagia apa, Hiro?" Suaranya terdengar antusias seolah ia akrab dengan Elina. Hal tersebut membuat wanita yang tak bisa melihat itu hanya bisa mendengus di dalam hati.

"Hari ini adalah hari tanggal pertama kali kami bertemu," jawab Hiro santai. "Buka mulutnya, Sayang," pintanya pada Elina. 

Wanita itu langsung membuka mulutnya, dan sendok berisi nasi beserta steak yang sudah dipotong masuk ke dalam mulut Elina. Wanita itu mengunyahnya perlahan hingga membuat Hiro gemas sendiri.

"Mama?" Suara anak kecil terdengar menyapa indra pendengaran Elina. Hiro sendiri mengalihkan tatapannya pada Monik dan menatap anak itu  datang bersama seorang wanita lain yang menggandeng tangannya.

Dia adalah Monik dan babysitter-nya. Hiro menghela napas diam-diam ketika melihat kehadiran Monik.

"Mama ngapain di sini? Tadi mama bilang mau tunggu di mobil," kata Monik pada Mita.

"Mama lagi menyapa Papa Hiro, Sayang," jawab Mita sambil tersenyum menatap putrinya.

Papa? Batin Elina mengulangi panggilan anak Monik yang ditujukan pada Hiro.

Tanpa sadar Elina meremas tangannya dengan dahi berkerut. Sementara jantungnya bergemuruh mendengar panggilan yang tidak sewajarnya ditujukan untuk Hiro.

"Papa?" ulang Elina dengan suara kecil.

Di sebelahnya tubuh Hiro menegang ketika mendengar suara gumaman Elina. Pria itu takut jika istrinya marah dan salah paham padanya.

"Sayang--"

"Papa di sini juga? Papa tidak bilang kalau Papa mau makan di sini?  Kenapa tidak bareng kami saja?" Monik menyapa Hiro. Gadis kecil itu melepaskan tangannya dari babysitter-nya kemudian menghampiri Hiro dan menggenggam tangan laki-laki yang sudah ia anggap sebagai papanya.

"Monik--" Hiro bingung mau melakukan apa. Pria itu menatap Mita, meminta agar wanita itu segera menarik putrinya agar tidak ada kesalahpahaman yang terjadi pada dirinya dan juga Elina. Sayangnya, Mita pura-pura tidak mengerti kode yang diberikan oleh Hiro.

"Papa, ya?" ulang Elina dengan senyum miris. "Aku tidak tahu kalau Mas Hiro sudah punya anak," kata Elina.

"Sayang, dengar--"

"Andai saja malam itu kamu menjemputku, Mas, mungkin aku tidak akan cacat seperti ini dan anak yang aku kandung masih ada di dalam perutku. Anak itulah yang berhak memanggil kamu papa, bukan anak orang lain."

Napas Elina memburu. Jantungnya berdebar menyakitkan, sementara tangannya yang terkepal terasa dingin karena amarah yang datang dari lubuk hati dan pikirannya.

"Tante ini siapa, Pa? Kenapa Tante ini marah?" Monik yang baru menyadari kehadiran Elina bertanya pada Hiro.

"Sayang, dengar, Mas bisa jelaskan semuanya sama kamu." Hiro mengabaikan Monik kemudian berusaha untuk meraih tangan Elina dan menggenggamnya erat.

"Jelasin apa? Jelasin kalau kamu mengakui anak orang lain sebagai anak kamu?  Sudah tidak sesabar itu ternyata kamu Mas," bentak Elina terdengar pelan.

"Tante, jangan pegang tangan papaku."

Tanpa diduga, Monik berusaha untuk melepaskan tangan Hiro dari tangan Elina.  Gadis itu juga memukul tangan Elina dengan keras beberapa kali membuat wanita itu meringis.

"Monik!" Hiro terbelalak saat melihat tangan Elina yang sudah merah. Pria itu tanpa sadar membentak Monik yang dengan kasar memukul tangan istrinya.

Monik yang mendapat bentakan dari Hiro menatap terkejut pria yang dianggap sebagai papanya. Tampak mata gadis kecil itu berkaca-kaca   sambil menatap Hiro. Tanpa sadar ia mundur beberapa langkah ke belakang.

Hiro sendiri tidak memedulikan hal tersebut. Pria itu terus mengusap tangan istrinya yang merah akibat pukulan Monik. Pukulan anak berusia 7 tahun sudah cukup untuk menyakiti tangan istrinya.

"Tidak usah peduli denganku, Mas. Fisikku tidak sesakit hatiku," kata Elina. Wanita itu melepaskan dengan kasar tangan suami dan meraba sekitar berniat untuk bangkit dari duduknya.

"Hiro, jangan bentak Monik. Bagaimanapun dia masih anak kecil," kata Mita seraya mendekati putrinya.

Mita berharap Hiro akan meminta maaf pada putrinya karena sudah membentak. Namun, sayangnya Hiro sudah tidak peduli lagi.  Saat ini yang harus ia pedulikan adalah kesehatan hati dan mental istrinya.

"Aku mau kita pulang, Mas. Sekarang," tandas Elina dingin.

"Sayang--"

"Kalau mas tidak ingin pulang sekarang dan ingin makan dengan perempuan itu dan anak mas, aku bisa pulang sendiri pakai taksi."

Setelah itu Elina memutar tubuhnya. Tangannya meraba ke depan berharap tidak ada yang ia tabrak.

Hiro yang tidak ingin istrinya kenapa-napa, segera mengambil tongkat serta tas milik Elina. Hiro kemudian membimbing istrinya keluar dari restoran setelah membayar tagihan. Tidak Hiro pedulikan keberadaan Mita dan anaknya yang sudah berhasil mengacaukan acara makan malam mereka.

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang