Bab 13

3.5K 226 11
                                    

Dua bulan sudah berlalu sejak kecelakaan yang menimpa Elina. Wanita itu sudah bisa berjalan normal seperti biasa. Ada tongkat yang selalu menemaninya untuk meraba sekitar ketika ia melangkah agar tidak menabrak benda.

Dua bulan ini Mita masih berusaha untuk mengambil perhatian Hiro, namun sayangnya wanita itu harus menelan kekecewaan karena diabaikan oleh Hiro sendiri.

Bagi Hiro perasaan istrinya adalah hal yang paling penting saat ini. Apalagi semenjak Elina tidak bisa melihat, istrinya sangat sensitif dan gampang marah.

Hiro turun dari mobil membawa  plastik berisi cemilan yang sengaja ia beli untuk istrinya.

Pria itu tersenyum manis ketika melihat Elina duduk di ruang tamu dan tengah menunggunya pulang.

"Sayang." Hiro menghampiri Elina kemudian mengecup kening istrinya.

Hubungan mereka sudah membaik. Namun, terkadang ketika mengingat Hiro yang pernah membagi perhatiannya dengan wanita lain, Elina akan memilih mendiamkan suaminya itu.

Memang sulit melupakan rasa sakit hati itu. Tapi, saat ini Elina belajar ikhlas.

"Bagaimana harimu di kantor, Mas?" Elina meraba wajah Hiro  dan mengusap pipinya dengan lembut.

"Hari ini aku marah sama sekretaris aku. Bisa-bisanya dia ceroboh menumpahkan kopi di atas berkas yang sedang aku periksa."

Hiro memang sering menceritakan kesehariannya pada Elina ketika ia berada di luar rumah atau di kantor. Elina akan menjadi pendengar yang baik dan Hiro akan menjadi  orang yang bercerita dengan semangat agar istrinya ikut bersemangat.

"Terus?"

"Mau aku pecat, tapi sayang dia kerjanya sangat kompeten. Ya sudah aku maafkan dia." Terdengar Hiro menghela napas berat.  Pria itu kemudian merangkul pinggang istrinya. "Aku kangen kamu," bisik Hiro sambil mengecup pipi istrinya.

"Kita bahkan baru berpisah beberapa jam." Elina berdecap mendengar penuturan Hiro.

"Beberapa jam itu rasanya seperti beberapa tahun."

"Ah, masa?"

"Iya, Sayang. Masa aku bohong sama kamu?" Hiro terkekeh melihat semburat merah di pipi Elina. "Sayang, udah mandi?"

"Mas lihat aku sudah rapi. Berarti aku sudah mandi."

"Tidak ingin mandi lagi?" tawar Hiro yang mendapat gelengan tegas Elina.

"Mas, jangan modus," kata Elina datar. Hiro sontak tertawa mendengar penuturan istrinya. Hiro memang terkadang mencuri kesempatan saat memandikan istrinya.

"Ya sudah, kita ke kamar kalau begitu. Kamu tunggu Mas di kamar, terus mas mandi, terus kita makan malam di luar. Mau, Sayang?" Hiro berujar penuh semangat dan Elina tidak kuasa untuk menolaknya. Wanita itu hanya menganggukkan kepalanya dan mendapat sorakan dari yang dari Hiro.

Pria itu dengan gemas mengangkat tubuh istrinya dan memutarnya pelan. Lalu, mengecup bibir istrinya beberapa kali dengan gemas. 

"Mas, ih!" gerutu Elina memukul gemas dada suaminya. Hal tersebut sontak membuat Hiro tertawa melihat ekspresi wajah Elina yang cemberut.

Hiro kemudian membopong istrinya dan membawa masuk ke dalam kamar mereka. Setelah itu ia mendudukkan Elina di atas tempat tidur.

"Aku mandi sebentar." Hiro  mengecup bibir Elina dan melumatnya beberapa detik sebelum akhirnya ia  mengambil baju ganti dan masuk ke dalam kamar mandi.

Elina yang ditinggal terdiam beberapa menit sebelum akhirnya ia tersentak ketika mendengar suara ponsel milik Hiro terdengar menggema.

Elina meraba sekitar hingga akhirnya ia berada di ujung tempat tidur di mana ponsel Hiro memang sengaja diletakkan di atas mata.

"Mas, ada telepon. Diangkat tidak?" seru Elina.

"Diangkat saja, Sayang. Siapa tahu penting."

Elina mulai meraba layar ponsel hingga terdengar suara di ujung telepon baru Elina mendekatkan ponsel tersebut ke telinganya.

"Akhirnya kamu angkat telepon aku juga, Ro. Aku benar-benar tidak tahu apa salahku sehingga kamu menjauhiku akhir-akhir ini? Apa karena istrimu itu? Aku tidak ada niat kok, untuk merebut kamu dari dia. Aku benar-benar tulus berteman dan bersahabat dengan kamu."

Suara di seberang sana terdengar ketika Elina mendekatkan ponsel ke telinganya. Wanita itu memejamkan matanya sejenak demi menghalau rasa emosi yang bersemayam di dalam hatinya.

"Kalau kamu perempuan punya harga diri dan rasa malu, tolong jangan ganggu suamiku lagi. Jangan dekati suamiku dan berlindung di balik topeng persahabatan," ujar Elina dengan nada dingin. Wanita itu mengepalkan tangan kirinya dan tahu jika si penelepon adalah Mita. "Kamu harus ingat, Mita, kalau suamiku sudah memiliki kehidupannya sendiri. Tolong jangan ganggu dia lagi."

Terjadi keheningan hingga membuat Elina berpikir jika telepon mungkin saja sudah dimatikan oleh Mita. Namun, dugaan Elina salah karena ternyata Mita masih menyahut dari seberang sana.

"Elina, kamu jangan egois. Hiro bukan milik kamu aja."

"Jadi, maksud kamu mas Hiro milik kamu juga?  Memangnya kamu ada hubungan apa sama mas Hiro selain hubungan persahabatan?" tandas Elina datar. "Saudara, adik, ibu, atau istri mas Hiro juga bukan 'kan?  Mas Hiro milik aku, Elina. Aku istrinya. Sementara kamu cuma orang luar."

Lagi-lagi Mita terdiam mendengar sahutan dari Elina. Mita mungkin tidak menyangka jika Elina berani berkata demikian padanya.

"Kamu tahu 'kan rasanya jadi janda?  Tidak enak bukan? Jadi, tolong jangan buat aku menjadi janda, hanya karena keegoisan kamu ingin memiliki Mas Hiro juga."

Tak ada lagi sahutan dari seberang sana membuat Elina yakin jika sambungan telepon sudah diputuskan. Elina kembali meletakkan ponsel Hiro di atas nakas kemudian ia mendudukkan dirinya. Napas gadis itu memburu ketika mengingat setiap kalimat yang diucapkan oleh Mita. Sungguh wanita tidak tahu malu. Berani sekali mengucapkan kata-kata itu pada istri sah dari laki-laki yang incar.

"Sayang, Siapa yang telepon?" Hiro keluar dari kamar mandi dengan handuk basah yang menempel di pundaknya.

"Perempuan yang kamu sebut sahabat kamu." Elina menyahut datar pertanyaan Hiro.

"Mita maksud kamu?"

Elina mendengus mendengar pertanyaan Hiro. "Memangnya siapa lagi?"

Hiro sendiri terkekeh mendengar nada ketus istrinya.  Pria itu kemudian mendekatkan tubuhnya pada Elina dan memeluk istrinya dari samping.

"Sayang, aku sudah lama tidak berhubungan dengan Mita. Dia udah sering datang ke kantor atau nelepon aku,  tapi aku hiraukan. Aku harap kamu tidak cemburu dan marah, ya?" bujuk Hiro dengan suara lembutnya.  Tidak lupa, dia juga mengusap pipi Elina dengan penuh kasih sayang.

"Siapa yang cemburu, Mas? Aku tidak cemburu. Buktinya tadi dia tanya Mas di mana, terus aku bilang Mas lagi mandi," sahut Elina. Wanita itu tanpa sadar menggigit lidahnya saat mengatakan kebohongan pada suaminya sendiri.

"Entah kenapa, dengar kamu tidak cemburu, membuat mas jadi sedih,"  kata Hiro pura-pura. Pria itu kemudian merebahkan kepalanya di pundak Elina.

"Tidak perlu drama, Mas. Rumah tangga kita aja penuh drama," balas Elina.

"Ugh. Sakit sekali everybody."

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang