Bab 9

4.3K 278 19
                                    

Hiro menatap istrinya yang sedang duduk termenung di depan televisi yang menyala dengan suara keras.

Hiro meletakkan tas kerjanya di atas meja yang berada di ruang tengah atau bisa disebut ruang keluarga. Hiro kemudian melangkah pelan mendekati istrinya  dan berjongkok  di depannya.

"Selamat sore, Sayang. Kamu lagi nonton tayangan apa?" Hiro bertanya dengan suara lembut. Pria itu berharap istrinya akan menjawab dengan tenang.

"Mas 'kan tahu kalau aku tidak bisa melihat.  Hanya bisa mendengar. Kenapa masih bertanya?"

Hiro menggigit bibirnya.  Pria itu tahu ia salah memilih pertanyaan.

"Maaf," bisik Hiro.

"Kamu selalu bilang 'maaf' tapi selalu mengulanginya lagi. Jadi, mending kamu simpan kata maaf itu, untuk perempuan lain."

"Tidak ada perempuan lain. Hanya kamu."

"Dan Mita, benar?" sahut Elina cepat. Wanita itu menampilkan ekspresi datar hingga membuat perasaan Hiro kembali hancur berkeping-keping.

"Tidak ada Mita, dan tidak ada wanita lain. Aku janji." Hiro berkata dengan tegas. Tangannya menggenggam erat telapak tangan Elina tanpa sadar hingga membuat wanita itu meringis.

"Simpan saja janjimu, Mas. Entah mengapa, aku sudah tidak tertarik lagi."

Elina berusaha untuk melepaskan tautan tangan mereka.

"Kamu ingat tidak, saat hari anniversary kita? Aku sudah membuat rencana makan malam di rumah kita. Mendekorasi kamar, dan bahkan aku memasak sendiri makanan spesial kesukaanmu." Elina tersenyum miris mengingat kejadian itu. "Bukannya pulang ke rumah, kamu justru pergi ke rumah Mita  dengan alasan anaknya sakit."

Hiro terdiam mendengar pernyataan istrinya. Saat itu ia memang tidak langsung pulang ke rumah, ia justru pergi ke rumah Mita karena wanita itu menghubunginya dan mengatakan jika Monik sakit.

Hiro  lupa jika hari itu ia memiliki janji dinner dengan istrinya. Namun, saat itu Elina tidak marah. Bahkan, tetap menyambutnya dengan senyuman Saat ia pulang pukul 1 dini hari. 

"T-tapi saat itu kamu tidak marah," kata Hiro.

"Aku marah dan aku kecewa. Tapi, aku tidak bisa menyampaikannya pada kamu, Mas. Aku tidak ingin ada pertengkaran antara kita di hari spesial kita. Tapi--" Elina menggeleng miris. "Kamu justru menganggap itu hal biasa. Tidak ada usaha kamu untuk memperbaiki perasaanku yang hancur dan kecewa. Kamu tidak sadar atau memang pura-pura tidak sadar jika aku kecewa?" tanya Elina pelan.

Hiro menunduk mendengar semua rentetan perkataan Elina. Ia memang bodoh dan tidak sadar jika saat itu perasaan istrinya memang hancur. Mana ada orang yang bisa tetap tersenyum tanpa sakit hati saat tahu pasangan sendiri bukannya pulang ke rumah untuk merayakan anniversary yang diadakan setiap setahun sekali, tapi justru pergi ke rumah wanita lain.

Bodohnya Hiro baru menyadarinya sekarang. Harusnya, sejak dulu ia tahu jika istrinya tidak sekuat dan setegar yang terlihat.

"Sekarang aku janji tidak akan ada perhatian lagi ke wanita lain. Aku bakalan jadi kaki dan mata untuk kamu, Sayang. Terima atau tidak, selamanya aku akan tetap disisimu." Hiro kemudian memeluk Elina erat. Pria itu tidak peduli jika Elina memberontak meminta untuk dilepaskan.  "Bila perlu, aku akan terus menunggu sampai kamu memaafkan aku. Meskipun aku harus menunggu seumur hidup," katanya dengan tegas.

_____

Hiro duduk termenung di balik kursi kerjanya.  Pria itu sesekali menghela napas  berat akan cobaan rumah tangga yang sedang menimpanya.

"Bagaimana caranya agar Elina mau memaafkanku?" Hiro bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Dia sudah cukup lelah diabaikan istrinya sendiri.

"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Hiro pada dirinya sendiri. "Oh, Tuhan, tolong beri aku petunjuk."

Hiro menghempaskan tubuhnya pada sandaran kursi seraya mengusap kasar wajahnya. Hiro benar-benar buntu mencari cara agar Elina mau memaafkan kesalahannya.

Ini sudah 2 minggu semenjak kepulangan Elina dari rumah sakit dan sikap istrinya masih tetap sama. Tetap bersikap acuh seolah dirinya tidak ada.

Hiro benar-benar frustrasi memikirkannya.

Tak lama berselang pintu ruang kerja Hiro diketuk. Pria itu menegakkan tubuhnya dan berujar, "masuk!"

Pintu ruang kerja Hiro terbuka menampilkan sosok sekretarisnya yang tak lain adalah Nella.

"Maaf, Pak, ada ibu Mita mau bertemu. Apa diperbolehkan?"

"Tidak perlu meminta izin, aku pasti diperbolehkan masuk," sela Mita tiba-tiba. Wanita itu tanpa malu menggeser tubuh Nella dan mendekati meja kerja Hiro.

Hiro menghela napas berat melihat kedatangan Mita. Sudah dua minggu ini Hiro berusaha untuk menghindari wanita ini. Tak Hiro sangka jika Mita nekat untuk datang ke kantornya langsung.

"Mau apa?" Hiro bertanya dengan datar.

"Hiro, bagaimana kabar kamu? Kenapa akhir-akhir ini kamu selalu susah dihubungi?" Mita menatap Hiro dengan wajah sendunya. Berharap jika pria ini mau luluh padanya.

Hiro melirik Nella yang masih terdiam di tempatnya. Hiro memberi kode agar Nella segera keluar yang langsung diangguki oleh wanita itu.

"Aku sedang sibuk," alibi Hiro.

"Sibuk? Kamu memangnya sibuk apa? Bahkan, untuk mengangkat telponku saja kamu tidak bisa." Mita jelas tidak percaya jika Hiro sibuk sampai-sampai harus mengabaikan teleponnya.

"Aku sibuk bekerja dan sibuk mengurus istriku."

Ngomong-ngomong soal istri, Hiro yakin jika yang mengadukan soal ciuman malam itu pada Elina adalah Mita sendiri. Tidak ada yang tahu apa yang mereka lakukan malam itu sindirannya dan Mita.

"Istri kamu? Bagaimana kabarnya sekarang? Apa sudah membaik?" tanya Mita hati-hati.

"Membaik?" Hiro tersenyum miring. "Tentu saja keadaannya semakin membaik. Tapi tidak dengan kondisi hatinya yang hancur karena perbuatan  dua orang."

Mita mengernyit dahinya. "Maksud kamu?"

"Saat istriku sadar dari komanya, bukan kabar bahagia yang menyambutnya, tapi kesakitan yang disebabkan oleh kamu." Hiro menatap Mita tajam.

"Aku?" tunjuk Mita pada dirinya sendiri.

"Sudah, kamu tidak perlu pura-pura bodoh lagi.  Kamu 'kan yang mengadu pada Elina kalau malam saat dia kecelakaan, kita berciuman?" Hiro menatap Mita dengan tatapan datarnya.  "Karena istriku tidak mungkin tahu, kalau bukan berasal dari mulut kamu langsung. Apa tujuan kamu mengatakan itu padanya? Ingin membuat istriku marah dan semakin terpuruk? Begitu?" cerca Hiro membuat tubuh Mita menegang.

"A-aku tidak--"

"Tidak apa?" lanjut Hiro ketika Mita tidak tahu  mengatakan apa. "Tidak tahu kalau istriku  ternyata sudah bangun atau tidak tahu kalau istriku akan mengatakan hal ini langsung padaku?"

Wajah Mita mendadak tegang dan kaku. Wanita itu tidak tahu harus memberi alasan apa pada Hiro karena ia tidak bisa mengelak semua yang dikatakan Hiro adalah fakta.

"Aku tidak tahu kalau kedatangan kamu kembali ke kehidupanku membuat aku bermasalah dengan istriku sendiri." Hiro menghela napas berat.  "Sekarang aku menyesal. Andai saja dulu aku tidak mengulurkan tanganku untuk selalu membantumu, mungkin istriku saat ini masih dalam keadaan sehat dan bugar. Kecelakaan itu bahkan tidak akan terjadi andai malam itu aku langsung menjemputnya, bukan justru menembus obat anakmu di rumah sakit," tandasnya panjang lebar.

Hiro selalu membatin  dan berharap jika andai waktu bisa terulang kembali, Hiro pasti memilih untuk menjemput Elina demi menghindari malam naas tersebut.

Hiro kembali mengusap kasar wajahnya seraya menghela napas berat.



BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang