Bab 7
Sudah dua minggu ini Elina dirawat di rumah sakit. Kondisinya sudah mulai membaik dan sudah diperbolehkan pulang oleh dokter.
Kedua kakinya sempat terluka beruntung tidak mengalami cedera parah hingga Elina masih bisa untuk berjalan normal. Hanya saja, kedua indra penglihatannya sudah diambil oleh Tuhan. Itu merupakan pertanda jika Elina dinyatakan buta.
Elina yang menerima kabar itu tidak bereaksi. Wanita itu hanya diam. Anggap saja ia sudah mati rasa. Terlebih lagi kenyataan yang harus ia terima jika, anak yang sudah ia nantikan sejak lama direnggut paksa juga darinya. Suami yang membagi perhatian dengan wanita lain, desakan dari keluarga suami yang menginginkan Hiro agar menikah lagi, dan tekanan dari orang-orang sekeliling yang jarang berpihak padanya. Jadi, rasa sakit seperti apa lagi yang bisa membuat Elina meraung histeris? Jawabannya tidak ada.
"Sayang, ayo, turun. Kita sudah sampai," ujar Hiro pada Elina. Pintu mobil sudah ia buka dan bersiap untuk membantu Elina turun dari mobil.
Ingin sekali rasanya Hiro untuk membopong istrinya masuk ke dalam rumah mereka. Namun, sejak keluar dari ruang rawat, Elina selalu menolak Hiro untuk membantu ataupun melakukan sesuatu padanya. Bahkan, Elina lebih baik dibantu suster untuk mendorong kursi rodanya menuju pintu keluar rumah sakit.
"Mas Andre, tolong bantu saya turun," pinta Elina, pada Andre. Andre adalah sopir yang baru saja kembali dari kampungnya bersama istri yang baru dinikahi. Andri sendiri, sudah bekerja lebih dari 7 tahun belakangan dengan Hiro. Usia Andre lebih tua 4 tahun dari Hiro.
Andre menatap Hiro yang hanya bisa mengangguk pasrah dengan keinginan istrinya. Terlihat sekali raut wajah Hiro yang merasa kecewa karena tidak dibutuhkan Elina di saat seperti ini. Hiro merasa jika dirinya memang tidak berguna bagi istrinya sendiri.
Andre kemudian membantu Elina turun dari mobil dan mendudukkannya di atas kursi roda yang sudah disiapkan. Kaki Elina masih belum bisa berjalan normal karena rasa ngilu yang kadang mendera. Namun, Elina bertekad jika ia tidak akan mau selamanya duduk di atas kursi roda dan merepotkan orang lain.
"Tolong, dorong dan bawa saya masuk," ujar Elina dengan ekspresi datar.
"Baik, Bu." Andre menganggukan kepalanya. Andre kemudian berdiri di belakang kursi roda dan mendorongnya masuk melalui pintu utama.
Elina sendiri mengacuhkan keberadaan Hiro yang memang menurutnya tidak begitu berarti lagi dalam hidupnya. Terlalu banyak rasa sakit dan beban hingga membuat Elina akan menutup indera pendengarannya akan perhatian atau ucapan orang-orang sekelilingnya.
"Ibu, saya tinggal dulu ya. Saya akan panggil istri saya, untuk diperkenalkan dengan ibu," ujar Andre pada Elina. Elina hanya menganggukan kepalanya dengan ekspresi datar.
Saat ini Elina tahu jika dia berada di dalam kamar. Tentu saja Hiro masih mengikutinya dari belakang. Namun, Elina tidak mau ambil pusing dengan keberadaan pria itu.
"Sayang." Usai meletakkan tas pakaian milik Elina, Hiro segera menghampiri Elina dan berjongkok di depannya.
Tangan Hiro bergerak ingin menggenggam telapak tangan Elina. Namun, wanita itu segera menarik kembali tangannya. Matanya menatap lurus ke depan tidak tahu bagaimana reaksi dan ekspresi wajah Hiro atas penolakan untuk yang kesekian kalinya.
"Ada apa?" Elina bertanya dengan nada datar. Hiro tidak ingin menceraikannya, padahal ia sudah meminta. Untuk apa lagi Hiro mempertahankan hubungan pernikahan mereka yang semakin hari bertambah hambar serta kacau semenjak kedatangan Mitha. Terlebih lagi saat ini ia mengalami kebutaan yang akan semakin memperlemah posisinya di rumah ini.
"Tolong, jangan marah lagi. Aku sayang kamu. Aku juga cinta kamu. Aku tidak ingin kehilangan kamu. Tolong, maafkan kehilafan aku," kata Hiro dengan tulus. Pria itu berharap istrinya akan kembali bersikap seperti biasa. Tidak lagi mengacuhkan keberadaannya.
"Maaf untuk apa? Untuk perhatian kamu yang sudah kamu bagi atau ciuman yang kamu lakukan dengan perempuan itu?" Elina menyungging senyum sinis. "Aku bahkan bingung, kesalahan kamu apa saja. Terlalu banyak, sampai otak kecilku tidak bisa menampung yang lagi."
"Aku tahu aku salah. Tolong, maafkan aku." Hiro berusaha untuk tidak menangis dihadapan istrinya. Hiro sungguh menyesali semua kesalahan yang sudah pernah ia lakukan pada Elina.
"Apa kamu akan tetap meminta maaf dan menyadari kesalahan kamu, andai saja aku tidak mengalami kejadian naas ini?" Elina bertanya dengan nada retoris. "Jawabannya, tentu saja tidak. Kamu tidak akan peduli, Mas. Prioritas kamu akan tetap Mita dan anaknya. Jadi, aku minta tolong, tolong tidak perlu lagi untuk berakting peduli padaku."
"Aku sedang tidak berakting," bantah Hiro tegas. "Aku benar-benar khilaf malam. Aku mau kita kembali seperti dulu."
"Kamu yang memulainya, Mas dan tugasmu hanya untuk mengakhirinya."
"Kalau begitu, aku akan mengakhiri semuanya." Hiro berujar tegas. "Aku tidak akan menghubungi Mita lagi. Kita akan kembali seperti dulu dan perhatianku sepenuhnya cuma buat kamu, Sayang."
"Bukan perhatian kamu dengan Mita dan anaknya yang kamu akhiri, Mas. Tapi, status kita. Aku ingin kita berpisah dan menjalani kehidupan masing-masing seperti sebelum kita saling mengenal."
"Itu tidak akan pernah bisa terjadi. Aku tidak akan pernah menceraikan kamu sampai kapanpun." Hiro menatap tajam wajah istrinya yang tidak menampilkan ekspresi apa pun.
"Terserah kamu, Mas. Aku tidak peduli."
Hiro kembali menghembuskan napasnya kecewa akan sikap Elina padanya. Namun, ia cukup menyadari jika semua kesalahan ada pada dirinya.
Tak lama berselang pintu kamar diketuk. Andre kembali bersama seorang wanita yang mengenakan jilbab instan di belakangnya.
"Bu, saya perkenalkan istri saya. Namanya Aina." Andre menatap Elina, kemudian beralih menatap istrinya. "Aina, ini Bu Elina dan suaminya Pak Hiro."
"Assalamualaikum, Bu Elina. Perkenalkan, nama saya Aina. Senang berkenalan dengan ibu dan bapak," sapa Aina dengan santun. Perempuan yang lebih muda dari Elina beberapa tahun itu kemudian memegang tangan Elina dan mencium tangannya sebagai bentuk rasa sopannya.
Aina sendiri adalah gadis 20 tahun yang dipersunting orang tua Andre di desa untuk Andre sendiri dan dengan kata lain, mereka menikah karena perjodohan yang dilakukan oleh orang tua Andre.
Aina sendiri adalah yatim piatu dan merupakan tetangga orang tua Andre di desa.
"Senang berkenalan dengan kamu, Mbak Aina," sahut Elina dengan tatapan kosong. Jujur saja ia tidak tahu apakah usianya lebih dewasa dari Aina atau tidak sehingga ia memanggil Aina dengan sebutan 'mbak'.
"Jangan panggil saya dengan sebutan Mbak, Bu Elina. Panggil saja Aina. Kebetulan, saya masih 20 tahun." Aina menunduk kepalanya malu. Meskipun ia tahu jika wanita cantik yang sedang duduk di kursi roda itu tidak bisa melihatnya, tetap saja Aina merasa sungkan dan malu.
Elina tersenyum tipis. "Baiklah, Aina."
"Nanti, Aina yang akan bantu-bantu ibu. Kalau ibu butuh sesuatu, ibu bisa panggil Aina," kata Andre.
"Terima kasih, Mas Andre." Lagi-lagi Elina tersenyum tipis. "Terima kasih juga selama ini sudah mau membantu saya. Orang luar bahkan lebih peduli dengan keadaan saya, daripada orang yang biasa tidur dengan saya setiap malam."
Nyes.
Rasa itu kembali menerpa hati Hiro ketika mendengar sindiran telak yang disampaikan oleh istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...