Bab 19

3.5K 222 12
                                    

Tengah malam Hiro mendapat telepon dari kakak iparnya yang mengabarkan jika kakak kandung Hiro yang tak lain adalah Hera sudah pulang ke Rahmatullah.

Hal tersebut tentu saja membuat Hiro merasa sedih dan terpukul mengetahui jika kakak perempuan yang sudah tiada.

Selama Hera masih hidup, Hiro jarang mengunjunginya. Kini, setelah sang kakak sudah tiada, Hiro baru merasa sedih dan kehilangan.

Pria itu memeluk istrinya ra dan menumpahkan tangis dalam pelukan sang istri. Menyesal karena selama ini ia jarang memperhatikan keadaan kakaknya.

Meskipun dulu Hiro jarang dekat dengan Hera, namun ia tetap menyayangi kakaknya itu.

"Sabar, Mas. Sudah ajal Mbak Hera. Aku juga merasa bersalah, karena tidak pernah menjenguk Mbak Hera beberapa bulan ini." Elina turun menumpahkan air matanya ketika mengingat Hera yang begitu baik padanya.

Sebenarnya, Hera dan Helia sama-sama memiliki sifat baik padanya. Namun, jika Hera memperlakukan Elina dengan baik secara terang-terangan. Maka, Helia justru memperlakukan Elina seperti orang asing. Tapi, jangan salah, dibalik sikap acuh Helia, wanita itu beberapa kali membantunya dalam menghadapi cercaan  keluarga yang menuntut Elina untuk segera memiliki keturunan.

"Kita ke tempat Mbak Hera, sekarang, ya, Mas," ajak Elina yang disambut gelengan Hiro.

"Sudah malam, Sayang. Lusa aja aku bawa kamu ke ke sana. Aku tidak mau, kamu bertemu mama." Hiro berkata sambil mengusap air mata istrinya. "Apalagi kamu sedang tidak enak badan juga. Aku tidak ingin kamu semakin bertambah sakit. Apalagi nanti akan banyak orang," ujar Hiro penuh perhatian.   Sayangnya, ucapan pria itu justru membuat Elina berkecil hati. Pasalnya Elina berpikir jika Hiro malu membawanya ke tempat keramaian karena ia sudah menjadi wanita cacat. 

Elina tersenyum sambil menganggukkan kepalanya pelan. Jika Hiro tidak ingin membawanya keluar dari rumah,  Elina tidak masalah. Memangnya pria mana yang tidak malu memiliki istri cacat seperti dirinya, pikir Elina dalam hati.

"Kalau begitu aku panggil Aina sebentar untuk jaga kamu. Setelah pemakaman Mbak Hera, aku langsung pulang ke rumah."

"Iya."

Meskipun hatinya kecewa, namun Elina tetap mencoba tersenyum. Setelah Hiro membantunya membaringkan tubuh di atas tempat tidur, pria itu kemudian melangkah keluar dengan tergesa-gesa.

Tak lama kemudian, Hiro kembali ke kamar dengan tergesa-gesa. Pria itu mengganti pakaiannya, setelah itu ia pamit pada Elina dan menitipkan pesan pada Aina untuk menjaga istrinya.

"Aina?" panggil Elina.

"Iya, Mbak." Suara Aina terdengar tak jauh dari tempat tidur membuat Elina yakin jika saat ini Aina sedang duduk di sofa dalam kamar mereka.

"Apa Mas Hiro sudah berangkat?"

"Iya, Mbak. Baru beberapa menit yang lalu."

"Sekarang jam berapa?"

"Jam 1 lewat 20 menit, Mbak. Mbak butuh sesuatu?" Aina segera mendekati tempat tidur dan menatap nyonya majikan yang terbaring di atas tempat tidur.

"Aku tidak perlu apa-apa, Aina. Aku cuma minta tolong,  kamu kembali ke kamar. Tinggalkan aku sendiri di kamar ini," pinta Elina dengan suara serak.

Aina menatap Elina ragu. Pasalnya tadi Hiro meminta ia untuk menjaga Elina.

"Tapi--"

"Kalau saya ada perlu, saya akan memanggil kamu. Kamu tolong kembali saja ke kamar kamu. Saya mau istirahat dan tidak nyaman, kalau ada orang lain di kamar ini." Elina terpaksa berbohong pada Aina agar wanita itu segera pergi dari kamarnya. Elina sekarang ingin sendiri dan menumpahkan tangisnya tanpa dilihat atau diketahui oleh orang lain.

"Baik, Mbak."

Setelah ragu sejenak, Aina akhirnya memilih untuk pamit dan keluar dari kamar majikannya.

Tak lama setelah Aina keluar, tetes demi tetes air mata jatuh membasahi pipi Elina. Wanita itu sekarang sedang merasa down dengan fisik yang tidak sempurna.  Bahkan, suaminya saja tidak mau membawanya ke tempat ramai karena malu.

Tangis Elina malam ini benar-benar menyayat hati bagi siapapun yang mendengarkannya.  Wanita itu ingin marah pada Tuhan, namun tahu ia tidak bisa melakukannya. Pasalnya, Elina bahkan tidak pernah meminta atau mengingat jika dirinya ada Tuhan saat ia merasa senang dan bahagia dalam hidupnya. Lalu, apakah Elina sanggup untuk marah pada Tuhan  ketika memberikannya cobaan berat? Tentu saja Elina tidak pantas melakukannya.

Terkadang manusia memang lucu. Saat bahagia dan merasa hidupnya  sempurna, maka manusia akan melupakan keberadaan Tuhan-Nya.  Namun, ketika Tuhan memberikannya sedikit cobaan, maka ia akan marah dan menyalahkan Tuhan. Bahkan, ada pula yang mengingat Tuhan-Nya   ketika sedang dirundung masalah.

Malam ini dan beberapa jam kemudian dihabiskan Elina hanya untuk menangis dan merenungkan nasibnya.

Sementara Hiro sendiri masih berada di kediaman Bima Sanjaya. Jenazah akan dibawa pulang langsung ke rumah dan akan dimakamkan di belakang halaman rumah Bima yang letaknya cukup jauh dari posisi rumah utama.

Hiro sendiri bertugas untuk mencangkul liang lahat untuk sang kakak tercinta. Sementara Hari, pria paruh baya itu tampak terpukul mendengar kabar jika putri sulungnya sudah meninggal.

"Papa benar-benar tidak menyangka kakakmu akan pergi secepat ini," ucap Hari, usai Hiro menggali kubur. 

Sebenarnya ada tukang gali yang bertugas. Namun, ini adalah bakti terakhir yang dilakukan Hiro untuk sang kakak.

"Sudah ajal, Pa. Mungkin ini yang terbaik juga untuk Mbak Hera, supaya tidak merasakan sakit lagi." Hiro kemudian mengalihkan tatapannya pada Arga yang duduk tak jauh darinya berada.  Pemuda itu terlihat menundukkan kepalanya dengan tangan terkepal.

Hiro tahu jika kakaknya tidak begitu akrab dan dekat dengan anak-anaknya. Hal itu juga yang membuat ketiga anaknya cara mendapatkan kasih sayang dari ibu kandung mereka. Beberapa kali Hiro bertemu dengan para keponakannya, mereka hidup tampak lebih bahagia dari sebelumnya setelah kehadiran wanita yang menjadi istri kakak iparnya.

Wanita itu jelas saja berstatus bukan sebagai istri kedua. Wanita yang ia ketahui bernama Nia adalah satu-satunya istri Bima. Itu adalah informasi yang mengejutkan yang dia tahu dari kakaknya sendiri. 

Hiro menepuk pundak papanya. "Aku ke tempat Arga dulu, Pa," ujarnya pada Hari.

Hari menganggukan kepalanya. Pria paruh baya itu kemudian beralih menatap cucunya yang duduk tak jauh dari posisinya berada.

Usai menggali kubur, Hiro memang langsung membersihkan dirinya dari tanah dan langsung masuk ke rumah.

Jenazah kakaknya masih berada di dalam rumah ini. Mungkin akan dimakamkan ketika matahari sudah terbit. Hiro menghampiri Arga dan menepuk pundak pemuda itu.

"Kamu harus kuat. Mamamu sudah tidak merasakan sakit lagi," kata Hiro pada Arga.

"Iya, Om. Terima kasih. Semoga Om tidak lupa kalau Om punya keponakan. Om 'kan sombong, jarang dilihat," sahut Arga, membuat Hiro terkekeh lucu. 

Hiro berharap ada keajaiban Tuhan yang segera menitipkan anugerah pada rahim istrinya. Jika pun tidak ada, Hiro tidak masalah. Pria itu mencintai Elina tanpa syarat.

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang