Kematian memang bisa menimpa siapapun. Tugas kita di dunia yang ditinggalkan, hanya bisa berdoa pada arwah yang sudah lebih dulu pergi menghadap sang pencipta agar diterima di sisi Allah SWT.
Sama halnya dengan kematian Hera. Ada banyak orang yang bersedih, tapi tidak sedikit pula yang mensyukuri kematian perempuan itu. Pasalnya, beberapa orang memiliki dendam dengan Hera karena merasa sakit hati.
Acara 7 hari berjalan lancar di kediaman Bima Sanjaya. Hiro membawa istrinya dikarenakan kondisi tubuh sang istri sudah sehat seperti sedia kala.
Kedatangan mereka tentu saja disambut ramah oleh Nia. Meskipun, sempat terlibat cekcok dengan Hana, namun wanita yang menjadi istri dari kakak ipar Hiro tersebut tetap bersikap baik pada Elina.
"Mau makan apa, Mbak Elina? Mumpung saya juga mau makan, sekalian aja nanti saya ambil."
"Tidak perlu repot, Mbak. Nanti Mas Hiro yang mengambilnya." Elina tentu saja sungkan jika harus meminta bantuan untuk mengambil makanan pada Nia. Mereka belum terlalu akrab, namun wanita itu sudah mau bersikap baik padanya. Elina merasa beruntung karena Nia tidak mengacuhkan keberadaannya.
"Tenang aja sama saya ini. Kalau untuk ngambil makan saja, tidak akan membuat tenaga saya berkurang," kata Nia seraya bangkit berdiri. "Jil, jaga tante Elina. Kamu jangan ke mana-mana," titah Nia pada putra bungsunya.
Jillo yang kebetulan akan keluar dengan patuh duduk di samping Elina.
Saat ini mereka memang sedang berada di ruang tengah yang di gelar karpet untuk para tamu undangan duduk. Sementara sebagian lagi berada di luar.
Jillo duduk di sebelah Elina dan menatap istri Paman dari pihak ibunya dalam diam.
Jillo tahu jika perempuan yang menjadi istri pamannya itu pernah mengalami kecelakaan hingga buta. Jillo sudah diajarkan oleh Mami Nia agar tidak membahas soal kebutaan Elina apalagi bertanya pada orangnya langsung. Kata mami Nia itu tidak sopan, pikir Jillo.
"Jillo, sekarang sudah kelas berapa?" Elina bertanya dengan kepala menoleh ke samping. Elina tahu jika Jillo sedang duduk di sebelah kanannya.
Anak itu duduk dalam diam tanpa membuka suara sedikitpun. Elina memang tidak begitu akrab anak-anak Hera dikarenakan ia sendiri jarang berkunjung ke rumah ini. Pasalnya, ada Hana yang terkadang selalu bersikap sinis padanya.
"Lagi mau naik ke kelas 6, Bibi." Jillo menjawab dengan sopan. "Sebentar lagi aku SMP. Terus semakin besar aku pasti semakin tampan," katanya membanggakan diri sendiri. Hal tersebut membuat Elina tersenyum geli.
Anak-anak Hera memang tampan dan Elina mengakui itu. Wanita itu menggerakkan tangannya berniat untuk mengusap kepala Jillo. Tangannya masih melayang di udara ketika sebuah tangan lain menarik pelan tangannya hingga ia menyentuh sesuatu yang ia pikir adalah rambut.
"Ini kepala aku, Bibi," ujar Jillo, sebagai pemilik tangan.
Sekali lagi Elina tersenyum. Wanita itu tidak menyangka jika Jillo akan mengerti kondisinya.
"Jadi anak baik dan sholeh. Mamamu pasti bangga punya kamu di dunia ini," ujar Elina dengan suara lembut.
"Itu pasti."
Tak lama kemudian Nia datang dengan membawa dua piring nasi beserta lauk yang ia bawa langsung dari dapur. Orang-orang sudah lebih dulu makan, sementara mereka makan memang belakangan.
"Di makan, Mbak. Tenang saja, dagingnya sudah saya potong-potong kecil. Dipastikan tidak akan ada tulang yang menyangkut." Nia berujar dengan santai kemudian meletakkan piring berisi nasi di atas paha Elina yang duduk dengan kaki bersila.
"Terima kasih, Mbak." Elina tersenyum haru mendapatkan perhatian kecil dari Nia.
"Sama-sama. Kalau mau minum, bilang saja. Gelasnya ada di depan kamu," kata Nia lagi.
Elina merasa bersyukur karena ia diperlakukan dengan sangat baik oleh keluarga kakak iparnya. Kecuali, Hana. Mama mertuanya itu memang tidak mengeluarkan kata-kata sengit ketika berada di depan umum atau di depan keluarga lainnya. Hal tersebut tidak akan ada yang menyangka jika selama ini Elina diam-diam selalu diperlakukan dengan sangat tidak baik oleh Hana.
_____
Dua bulan sudah berlalu semenjak kematian Hera.
Kini, kehidupan sudah berjalan normal seperti sedia kala.Tidak ada yang berubah dari sikap Hiro pada istrinya. Namun, tidak ada yang tahu sebuah rahasia yang tersimpan rapat-rapat yang sengaja disembunyikan Hiro dari istrinya.
"Sayang, kamu terlihat bahagia sekali," ujar Hiro menatap istrinya. Pria itu memiringkan tubuhnya ke samping menatap istrinya yang belum juga tidur padahal Hari sudah semakin gelap dan menunjukkan pukul 11 malam.
"Aku tidak tahu, Mas. Entah mengapa, Aku merasa sangat bahagia. Tapi, Aku tidak tahu kebahagiaan ini dari mana." Elina membalas tanpa menghilangkan raut bahagia yang terpampang jelas.
Hiro mengerutkan keningnya menatap sang istri tak mengerti. Apa ada orang bahagia tanpa sebab? Hiro bertanya-tanya dalam hatinya.
"Mas juga bahagia kalau kamu bahagia." Pria itu kemudian melingkarkan tangannya dipinggang Elina dan memeluk istrinya itu erat. "Mas sayang kamu," bisiknya, membuat Elina tersenyum. Wanita itu membalas pelukan sang suami dan mengecup dada yang terbalut baju kaos warna abu-abu yang melekat pada tubuh suaminya.
"Aku juga sayang dengan Mas," balas Elina tak mau kalah.
Hiro tersenyum mendengar balasan istrinya. Mudah-mudahan, setelah Elina tahu semuanya, wanita itu akan tetap mengatakan sayang pada dirinya. Tapi, harapan Hiro adalah Elina tidak akan pernah tahu apa yang sudah terjadi satu bulan yang lalu pada dirinya.
Pagi harinya Hiro dan Elina sarapan seperti biasa. Hiro dengan telaten menyuapi istrinya suap demi suap sarapan yang dimasak oleh Aina.
Wanita itu tersenyum senang dan merasa beruntung memiliki Hiro sebagai suami yang baik. Tidak ada yang tahu betapa ia bersyukur memiliki pria itu dalam hidupnya. Hirup cacat dengan Indra penglihatan yang tidak sempurna membuat Elina terkadang berkecil hati. Namun, sang suami yang begitu menyayangi dan memberi perhatian penuh padanya, membuat Elina merasa dirinya adalah wanita terberuntung di dunia.
"Sayang, Mas berangkat dulu. Kamu hati-hati di rumah," pamit Hiro pada istrinya.
"Iya, Mas. Kamu hati-hati di jalan, ya."
"Mmm." Hiro menganggukkan kepalanya kemudian mencium kening dan bibir sang istri sebelum akhirnya ia masuk ke dalam mobil.
Hiro berniat untuk menyalakan mobilnya ketika suara ponsel berdering terdengar membuat pria itu mau tak mau mengangkat sambungan telepon.
"Kenapa?" Hiro bertanya dengan nada dingin yang membuat penelpon di seberang sana menelan ludah kaku.
"Mas, aku bisa minta tolong antar Monik ke sekolahnya? Hari ini badan aku lemas banget dan tidak bisa untuk keluar rumah. Aku minta tolong ya, Mas."
Tanpa memberi jawaban, Hiro langsung mematikan sambungan telepon. Pria itu menghela napas kesal dan mengusap rambutnya acak ketika mengingat apa yang sudah terjadi satu bulan lalu.
Hiro menatap Elina yang masih berdiri di teras dengan tatapan tak terbaca, sebelum akhirnya ia melajukan kendaraannya keluar dari gerbang utama dengan kecepatan penuh. Hiro berharap dengan begitu ia bisa melampiaskan rasa benci dan kesal pada dirinya sendiri atas ketidakmampuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...