Hari-hari sudah berlalu. Tidak ada yang berubah. Kecuali, hari-hari Elina dan Hiro yang mulai dipenuhi warna dengan hadirnya empat bayi sekaligus di rumah mereka.
Sesekali Elina akan menggendong bayi-bayinya yang sudah diberi masing-masing nama.
Bayi pertama diberi nama Abimanyu Hiel. Lalu kembarannya diberi nama Aditama. Usia mereka sudah dua tahun dan sudah bisa berjalan. Mereka sudah bisa bicara, namun belum sempurna setiap kata yang keluar dari mulut mereka.
Sementara kembar kedua yang saat ini masih berusia 1 tahun diberi nama Aliando untuk sang kakak, dan kedua Azkia Hiel.
Ke empatnya tentu saja sudah diadzani oleh Hiro karena Rima meminta agar anak-anaknya bisa mengikuti agama orang tua angkatnya. Rima juga sudah menyerahkan semuanya pada Hiro dan juga Elina. Nama akhir anak-anaknya juga merupakan gabungan antara nama Hiro dan Elina.
Semuanya berjalan normal. Hiro bersyukur, mama dan Mita tidak pernah mengganggunya lagi beberapa minggu terakhir. Namun, semuanya kacau saat mamanya justru datang ke rumahnya.
"Hiro, kamu kenapa tidak pernah berkunjung ke tempat Mita? Kamu seharusnya bisa bersikap adil, dong. Jangan kamu pedulikan yang satu, sementara yang satunya kamu abaikan."
Hiro gelagapan melihat kedatangan mamanya yang tiba-tiba marah tak terkendali. Pria itu segera menarik Hana keluar dari rumahnya agar suara mamanya tidak terdengar oleh Elina. Namun, sayangnya, Rima sudah terlanjur mendengar apa yang diucapkan oleh Hana.
Kening wanita yang sedang hamil besar itu mengerut sebelum akhirnya diam-diam ia melangkah keluar secara sembunyi-sembunyi dan menguping langsung apa yang dibicarakan ibu dan anak itu.
"Ma, kenapa Mama tiba-tiba datang ke rumahku? Mama jangan bicara soal keadilan. Ini sudah menjadi kesepakatan kita." Hiro menatap mamanya tak habis pikir. Sudah bagus beberapa minggu ini Mita dan mamanya tidak mengganggu rumah tangganya dan Elina. Tapi mengapa, wanita yang sudah melahirkannya itu justru datang tiba-tiba ke rumahnya dan nyaris membuat kekacauan.
"Tapi kamu sudah berlaku tidak adil pada Mita, Hiro. Kamu harus ingat, bagaimanapun juga, Mita adalah istri kamu. Dia Istri kedua kamu yang kamu abaikan."
"Aku abaikan? Bukankah kesepakatannya aku hanya menikahi Mita tanpa memberi nafkah lahir maupun batin padanya. Mama juga sudah setuju soal itu. Jadi, aku mohon Mama jangan pernah ganggu rumah tanggaku dan Elina lagi." Rahang Hiro mengeras menatap Mamanya. Hiro tidak ingin rumah tangganya yang sudah tenang dan tentram kacau karena mamanya.
"Mana bisa begitu. Sudah beberapa minggu ini mama menahan diri dan sekarang mama tidak mau tahu, kamu juga harus adil pada Mita. Dia juga sedang sakit, Hiro. Kamu tahu itu 'kan?" Hana masih tetap mempertahankan pendapatnya. Wanita paruh baya itu melupakan perjanjian awal mereka pada Hiro sehingga membuatpria itu frustrasi bagaimana cara menjelaskannya agar mamanya yang keras kepala ini mengerti.
Sementara tak jauh dari posisi mereka saat ini, Rima menutup mulutnya menatap tajam dua sosok manusia yang tengah berdebat. Sementara kedua tangannya mengepal di kedua sisi tubuh sambil menatap tajam ibu dan anak tersebut.
"Kalian benar-benar sungguh keterlaluan. Aku tidak ingin sahabatku hidup dalam kebohongan seperti ini. Awas saja, Aku akan melakukan sesuatu yang membuat kalian menyesal pernah ada di dunia ini," gumam Rima.
Wanita itu kemudian mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang yang bisa dipercaya untuk melakukan sebuah tugas darinya. Setelah itu Rima masuk ke dalam rumah dan bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apa pun.
Rima menatap Elina yang tengah menggendong Azkia dan dibantu oleh babysitter yang sudah di sewa untuk menjaga ke empat bayi tersebut.
Rima menatap senyum Elina yang tampak tulus dan bahagia. Rima sebenarnya tidak ingin melakukan hal ini. Namun, Rima tidak ingin sahabatnya hidup bahagia dalam semu. Seperti dirinya dulu. Rima ingin sahabatnya benar-benar bahagia.
"Apa tidak berat kamu menggendong Azkia? Bobotnya sedikit lebih berisi," ujar Rima menghampiri Elina. Matanya melirik bayi perempuan yang sedang tidur dengan nyaman dalam dekapan Elina.
Elina sendiri tersenyum sambil menggeleng pelan kepalanya. "Aku tidak berat sama sekali. Justru aku merasa senang bisa diberi kepercayaan untuk bisa menggendong bayi-bayi ini." Elina berujar dengan tulus dan membuat Rima diam-diam mendengus.
Tak lama kemudian Hiro datang dan langsung berdiri di samping istrinya. Pria itu menatap putri bungsunya yang sedang terlelap nyaman.
"Anak Papa ternyata sudah tidur. Jadi, tidak bisa bermain sama papa," ujar Hiro.
"Iya, Mas. Kata Mbak, Azkia baru saja tidur." Elina membalas dengan hangat. Wanita itu tidak menghilangkan senyum manis yang berada di bibirnya dan membuat Rima bertanya-tanya di dalam hatinya apakah Elina akan tetap tersenyum ketika tahu jika suaminya memiliki istri dua.
Rima dapat melihat dari jarak jauh dari posisi mereka saat ini jika Hiro dan Elina tampak seperti keluarga bahagia. Tapi, sayangnya, Hiro justru berhianat.
Tak lama kemudian suara dering ponsel Hiro terdengar, membuat pria itu segera mengangkatnya dan melangkah jauh dari posisi mereka.
Rima menatap punggung Hiro dengan tatapan tak terbaca sebelum akhirnya ia memilih untuk masuk ke kamarnya.
Tak lama kemudian Hiro kembali.
"Sayang, aku harus ke kantor sekarang. Ada meeting penting di perusahaan yang tidak bisa aku tinggalkan," ujar Hiro.
Suara Hiro terdengar tergesa-gesa membuat Elina mau tak mau menganggukkan kepalanya. Sebenarnya, Elina ingin protes karena hari ini adalah hari libur untuk Hiro. Namun, urusan pekerjaan jauh lebih penting daripada quality time keluarga.
"Mas, hati-hati di jalan. Jangan ngebut bawa mobilnya," kata Elina, tanpa menghilang senyum manisnya.
"Iya, Sayang. Tunggu Mas, ya. Mas hanya sebentar," ucap Hiro. Pria itu mengecup kening Elina kemudian berbalik pergi meninggalkan Elina yang masih betah menggendong Azkia.
"Iya, Mas." Elina kembali tersenyum. Wanita itu kemudian berujar pada Azkia, "papa berangkat kerja, Sayang. Buat buat cari uang untuk Azkia dan kakak-kakak."
"Nanti kalau besar, Azkia harus jadi anak yang baik dan penurut, ya. Terus, di jaga deh sama kakak-kakaknya," katanya seraya berceloteh.
Elina sudah sangat menyayangi ke empat anak-anaknya. Harapan Elina adalah ke empat anaknya bisa menjadi anak yang baik di masa depan. Elina percaya ia mampu mendidik keempat putra-putrinya agar bisa menjadi contoh yang baik untuk anak-anak lainnya.
Setelah Azkia benar-benar terlelap, Elina kemudian meletakkan Azkia dengan hati-hati di atas tempat tidur yang diarahkan oleh babysitter. Tak lama terdengar suara Ali menangis membuat Elina segala bergantian menggendongnya.
Hari-hari dijalani Elina dengan hati membuncah bahagia. Namun, Elina tidak tahu apa yang akan terjadi besok yang mungkin saja menjadi penyebab kehancuran hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...