Bab 22

3.6K 213 42
                                    

"Saya terima nikah dan kawinnya Paramita binti Husein Kusnadi dengan mas kawin tersebut dibayar tunai."

Suara lantang Hiro terdengar di dalam rumah kecil yang dihuni oleh Mita dan anaknya.  Hanya ada empat orang saksi, satu wali, satu penghulu, dan juga Hana yang berada di rumah sederhana milik Mita.

Ketika kalimat 'sah' keluar dari mulut Hiro, bersamaan itu perasaan Hiro hancur berkeping-keping.

Bukan tanpa alasan ia melakukan ini semua. Saat ini Mita sedang sakit. Katanya leukemia. Mita dan Hana meminta bahkan memohon sampai bersujud di kaki Hiro agar Hiro mau menikah dengan Mita.

Alasannya tentu saja Mita tidak ingin jika ia mati nanti, Monik berada di pengawasan papanya. Mita sendiri mempertahankan mati-matian Monik di sisinya agar tidak ikut dengan papa kandung Monik tersebut.

Pria bernama Aldi itu bukan pria yang baik dan tidak pantas untuk merawat Monik. Mita tidak ingin putrinya dirawat oleh pria kasar dan penghianat seperti Aldi. Seandainya jika Mita meninggal dunia, hak asuh Monik akan ada di tangan Hiro.

Hana juga membujuk Hiro agar mau mengadopsi Monik sebagai anaknya kelak untuk memancing agar Elina hamil lagi. Hana juga berjanji dia tidak akan mengusik Elina lagi jika Hiro mau membantu Mita.

Tanpa bersalaman seperti yang dilakukan pasangan pengantin pada umumnya, setelah kalimat sah keluar dari mulut para saksi, Hiro segera bangkit berdiri.

Pria itu menatap Mita yang tercengang di tempat. Begitu juga dengan para saksi, penghulu, dan juga Hana.

"Aku sudah melakukan tugasku. Aku harap kalian jangan pernah mengganggu hidupku dan Elina lagi. Aku tidak akan segan untuk melakukan apa pun pada kalian jika kalian masih mengusikku."

Setelah itu, Hiro memilih pergi tanpa menoleh pada Mita dan mamanya.

Perjanjiannya Hiro hanya menikahi Mita saja. Hiro tidak akan pernah memberikan nafkah lahir dan batin pada wanita itu. Hiro juga mengatakan jika rahasia ini sampai ke telinga Elina, maka pernikahan Hiro dan Mita segera berakhir.

Ini memang pernikahan siri karena Hiro tidak berniat untuk mengesahkannya secara hukum. Baginya, yang terpenting adalah Mita sudah memiliki status sebagai istri seseorang dan Monik sudah memiliki status sebagai anak tiri dari seseorang.

Tidak peduli jika ayah kandung Monik datang lagi, pria itu tidak akan memiliki hak untuk mengambil Monik andaikata Mita mati. Lebih baik Monik di tangan orang lain, dan kehidupannya terjamin aman. Daripada nanti harus ikut dengan Aldi yang kehidupannya memang keras.

Hiro menarik napas berat ketika ingatannya terputar pada kejadian sebulan yang lalu.

Memang semenjak itu Mita maupun Hana tidak pernah mengganggu kehidupan rumah tangganya lagi.  Hiro tentu saja merasa tenang dan damai. Sementara itu status hubungan Hiro dan Mita tetap dirahasiakan. Hiro tidak tahu sampai kapan rahasia ini akan tertutup, tapi Hiro harap istrinya tidak akan pernah tahu.

Hiro takut kehilangan Elina.

Pria itu kemudian turun dari mobilnya dan membuka pintu penumpang untuk Monik.

Pria itu kemudian membawa Monik masuk kedalam sekolahnya.

Tanpa disangka, Hiro justru menemukan sosok Arga yang tengah mengantar Jillo ke sekolah.

"Om, ngapain di sini? Itu anak siapa yang dibawa? Anak selingkuhan Om, ya?" tuduh Arga tanpa bisa dicegah.

Pertemuan Hiro dengan Arga tanpa diduga.  Hiro tidak ingat jika salah satu keponakannya berada di sekolah ini juga. Sama dengan Monic yang saat ini masih menggenggam tangannya.

"Papa, mereka siapa?" Monik menatap papanya yang berdiri di sampingnya.

"Papa?" Kali ini Arga dan Jillo berseru secara bersamaan mendengar panggilan anak perempuan itu pada Om mereka. Setahu mereka, Hiro belum memiliki anak. mengapa tiba-tiba mereka sudah bertemu dengan sepupu yang sudah besar seperti ini? Batin Arga bertanya-tanya.

"Ini anak teman Om. Namanya Monik. Kebetulan, orangtuanya tadi menitipkan Monik pada Om."

"Tapi kok dipanggil papa?" Jillo menyuarakan pertanyaan yang sedang bersarang di otak Arga.

Hiro mencoba menarik sudutnya membentuk senyum. "Kebetulan,  Monik memang sudah Om anggap seperti anak sendiri."

Keduanya saling menggangguk kepala. 

Setelah Hiro pergi, Jillo menatap kakaknya yang masih berdiam di atas motor.

Sementara Monik sudah diantar sampai depan gerbang oleh Hiro.

"Kak, sebenarnya aku sudah beberapa kali lihat Om Hiro sama anak perempuan itu."

Arga menoleh terkejut menatap adiknya itu. Arga menegakkan tubuhnya kemudian memicingkan mata.

"Sudah beberapa kali?" ulang Arga tak percaya.

"Sering. Tapi, om Hiro enggak sadar kalau aku sering perhatiin dia," jawab Jillo.

"Wah, kakak jadi curiga."

"Curiga apa?" Jillo menatap kakaknya tak mengerti. Namun, yang ditatap justru mengibaskan tangannya.

"Anak kecil enggak perlu tahu. Masuk sana ke kelas, jangan buat ulah."

"Harusnya yang bilang jangan buat ulah itu aku. Kakak sendiri yang sering membuat ulah di mana-mana."

Meski menggerutu kesal, Jillo tetap melangkah masuk ke dalam sekolahnya meninggalkan Arga yang termenung di tempat.

Pemuda itu tidak akan membiarkan omnya menyeleweng lama-lama. Sebagai anak dari mami Nia, tentu saja ia tidak akan membiarkan Om-nya itu berselingkuh di belakang tante Elina. 

Sementara itu, Elina sendiri saat ini sedang kedatangan temannya yang sudah lama menghilang.

Namanya Rima. Wanita yang sedang mengandung berusia 7 bulan itu tidak menyangka dengan kejadian yang menimpa sahabatnya itu.

Sudah 4 tahun Rima menghilang dan kembali dengan kabar yang mengejutkan dari Elina.

"Kamu sendiri bagaimana, Rim? Apa yang terjadi sama kamu?" Elina bertanya pada sahabatnya itu. Tangannya bergerak pelan mengusap perut Rima yang sudah membuncit.

"Aku seperti ini saja. Bekerja sebagai wanita penghibur, dan sekarang hamil 7 bulan. Tidak tahu siapa papanya," jawab Rima dengan santai. Wanita itu bahkan tidak merasa ada beban di pundaknya yang tengah ia tanggung. Ia tetap hidup berjalan normal seperti biasa.

"Kenapa bisa seperti itu, Rim? Apa yang sudah terjadi?"

Selama ini Elina tahu jika Rima adalah wanita baik-baik. Sahabatnya sejak SMA dulu bahkan tidak pernah neko-neko. Tapi, saat ini Rima justru bercerita tentang pekerjaannya sebagai wanita penghibur dan tengah mengandung anak yang tak jelas asal-usulnya.

"Aku dijual papaku. Yah, kami pindah ke luar kota. Aku bekerja sebagai wanita penghibur, dan kembali ke sini setelah papaku mati."

"Astaga, Rima." Elina menutup mulutnya sementara matanya berkaca-kaca memikirkan nasib sahabatnya yang pasti sudah sangat hancur.

"Aku santai, El. Tetap menikmati hidup. Jujur aku kasihan sama kamu, kamu bahkan tidak bisa melihat. Sudah menikah dengan Hiro, kamu juga bahkan belum punya anak." Rima menepuk pundak sahabatnya itu.  Rima memang selalu berkata terang-terangan tanpa memikirkan jika orang yang tengah ia katai sakit hati. Tapi entah mengapa, Elina justru tetap betah bersahabat dengan wanita seperti Rima.

"Kamu tidak perlu memikirkan nasibku. Pikirkan saja nasibmu itu," kata Rima lagi. "Ngomong-ngomong, anak ini daripada tidak jelas hidup bersama aku,  lebih baik kamu adopsi saja. Kamu tenang saja, Aku tidak akan mengambilnya."

"Maksud kamu?" Elina tidak mengerti dengan maksud ucapan sahabatnya. Pasalnya Rima berujar dengan santai seolah yang akan ia berikan pada Elina adalah jenis makanan bukan manusia.

"Kamu bisa ambil anak aku setelah dia lahir.  Yah, setidaknya dia hidup baik. Apalagi keluarga kamu keluarga kaya. Anggap aja itu sebagai alat pancing, supaya kamu juga bisa hamil."

"Rima!"

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang