Bab 37

5.3K 212 11
                                    

Sebuah keputusan sudah dibuat oleh keluarga besar. Jillo menikahi Chila secara siri lebih dulu kemudian akan disahkan ketika mereka sudah berusia 17 tahun.

Sesuai kesepakatan juga, jika Jillo dan Chila akan tinggal bersama Hiro serta Elina di desa setelah Rima melahirkan.

Tidak ada yang pernah menduga jika takdir akan selucu ini. Bagaimana tidak, anak remaja yang bahkan belum berusia 15 tahun bisa-bisanya menikah hanya karena emosi sesaat.

Hari-hari dilalui Elina dan Hiro seperti biasa. Pria itu masih tetap bekerja dan menjalani harinya dengan hati membuncah bahagia karena Elina sudah mau berbaikan dengannya.

Begitupun dengan Rima yang turut senang akan hubungan sahabatnya yang sudah membaik.

Rima selalu berdoa semoga keluarga Hiro dan Elina bisa langgeng sampai maut memisahkan. Rima tidak pernah salah untuk menitipkan anak-anaknya pada Elina. Berteman lama dengan Elina, Rima tahu jika sahabatnya adalah wanita yang baik dan berhati lembut.

Keputusan mereka untuk pindah ke desa juga didukung penuh oleh Rima. Hal itu tentu saja akan menjauhkan anak-anaknya dari orang itu. Sehingga ketika kelak anak-anaknya dewasa, mereka bisa menentukan pilihan mereka sendiri tanpa bisa dikekang. Rima tahu jika Hiro dan Elina bukanlah orang-orang yang suka memaksa kehendak. Maka, perasaan Rima sekarang sangat nyaman dan tenang karena ia menitipkan anak-anaknya pada orang yang tepat.

Ini adalah bulan di mana Rima seharusnya akan melahirkan. Saat melakukan check up rutin, dokter memperkirakan jika Rima akan melahirkan dalam waktu 12 sampai 15 hari mendatang. Namun, hal tersebut sepertinya tidak bakal terjadi dikarenakan sejak pagi tadi hingga malam ini perut Rima mengalami kontraksi.

Rima yang sedang berbaring di atas tempat tidur segera melangkah keluar dengan tertatih dari kamarnya. Wanita hamil itu sedikit terkejut ketika melihat sosok wanita dengan gaun putih melintas melewati ruang keluarga.

Rima nyaris berteriak andai saja wanita itu tidak berhenti di dekat saklar dan menghidupkan lampu di sekitar ruang tengah.

"Ngapain kamu seperti hantu malam-malam keluar kamar?" Wanita bergaun putih itu tak lain adalah Helia yang menatap Rima dengan mata melotot. Sungguh, Helia terkejut ketika melihat bayangan seorang melangkah tertatih. Helia mengira jika itu adalah hantu.

Rima memutar bola matanya malas. Jelas Helia yang memakai gaun putih panjang dengan masker putih di wajah tentu saja lebih mirip hantu yang berjalan di antara kegelapan.

"Saat ini orang yang lebih mirip dengan hantu adalah kamu. Bukan aku." Rima kemudian meringis menyentuh perutnya.

"Terserah." Helia menyahut dengan acuh. Wanita itu kemudian berniat untuk kembali ke kamarnya namun ia harus menghentikan langkahnya ketika melihat sesuatu yang tidak beres di bawah kaki Rima.

"Jorok! Kamu kenapa kencing di sini?" Helia nyaris berteriak ketika melihat genangan air di bawah kaki Rima.

"Tolong panggil Hiro dan sopir. Katakan kalau aku mau melahirkan," ujar Rima memerintah Helia. Wajahnya sudah terlihat pucat, sementara keringat dingin sudah mengucur di pipinya, membuat Helia mau tak mau bergerak memanggil adiknya dan orang-orang seisi rumah.

Tak lama Rima dibawa ke rumah sakit ditemani oleh Andre dan Hiro. Sementara Aina bertugas untuk merapikan pakaian Rima serta pakaian bayi yang belum dipersiapkan karena perkiraan melahirkan akan beberapa hari mendatang.

30 menit kemudian semua sudah disiapkan oleh Aina. Helia yang bertugas sebagai sopir segera melajukan kendaraannya yang baru ia ambil dari kediaman orangtuanya kemarin sore. Mobilnya membelah jalanan Ibukota yang tidak padat menuju rumah sakit terdekat.

Helia bersama Elina dan Aina akhirnya tiba di rumah sakit. Helia segera memarkirkan kendaraannya di tempat parkir kemudian dengan santai ia melangkah masuk ke ruang bersalin bersama Elina yang dituntun pelan oleh Aina.

Helia memutar bola matanya sebal. Saat ini masih menunjukkan pukul 1 dini hari dan ia harus berada di rumah sakit menemani orang lain mau melahirkan.

Entah takdir atau apa Helia juga tidak mengerti mengapa ia bisa berada di rumah malam ini. Biasanya ia akan pulang ke rumah ketika subuh menjelang setelah clubbing di klub malam.

Sesampainya di ruang bersalin, Helia bisa melihat sosok adiknya dan sopir berdiri di depan ruang bersalin.

"Bagaimana, Mas? Apa Rima baik-baik saja?" Elina bertanya setelah berdiri di samping Hiro. Meskipun tidak bisa melihat namun Elina bisa merasakan ketegangan yang terjadi.

"Sesampainya di rumah sakit dokter menyarankan agar Rima bisa operasi Cesar saja. Sebagai wali, Mas menyetujui." Hiro memeluk istrinya dari samping menghantarkan kehangatan pada tubuh Elina yang sudah mulai kedinginan. Karena terlalu terburu-buru mereka sampai lupa untuk membawa jaket sebagai penghangat tubuh.

"Semoga Rima dan anak-anaknya baik-baik saja, Mas," doa Elina dengan tulus, yang tentu saja diaminkan Hiro.

Hiro dan Elina menunggu di depan persalinan dengan jantung berdebar kencang merasakan sensasi aneh menyelimuti hati mereka menunggu Rima selesai ditangani.

Hiro dan Elina berharap Ibu dan bayi-bayi bisa selamat dalam keadaan sehat wal afiat.

Setelah menunggu beberapa waktu pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Dokter Anita melangkah keluar sambil melepas masker yang menutup mulut dan hidungnya.

"Alhamdulillah, ketiga bayinya terlahir dalam keadaan sehat dan gemuk." Dokter Anita langsung memberitahu tanpa ditanya lebih dulu. Hal tersebut tentu saja membuat Hiro mau pun yang lain mengucapkan puji syukur.

"Lalu, Dok, bagaimana keadaan sahabat saya, Rima? Apa dia baik-baik saja?" Elina bertanya meski tatapannya tak jelas, tapi ia bisa merasakan atmosfer di sekitar mulai berubah.

"Saat ini kondisi Nyonya Rima sedang dalam keadaan kritis. Kita hanya perlu berdoa semoga Nyonya Rima bisa melewati semua ini." Dokter Anita menjeda sejenak kalimatnya. "Kalian bisa ikut saya ke ruangan sebentar. Ada yang ingin saya jelaskan." Dokter Anita kemudian menepuk pundak Elina pelan dan melangkah pergi dari hadapan orang-orang yang menyambut kabar suka dan duka.

Sementara itu tubuh Elina merosot ke lantai ketika mendengar jawaban dokter Anita. Wanita itu menundukkan kepala dengan isak tangis yang mulai terdengar.

"Kamu yang kuat. Kita tahu jika Rima adalah wanita kuat. Dia tidak akan selemah itu dan membiarkan dirinya meninggalkan dunia begitu saja," ujar Hiro berusaha untuk menenangkan istrinya. Dipeluknya Elina dengan erat agar istrinya tenang.

"Rima, Mas. Aku sangat takut Rima kenapa-napa." Elina menggenggam erat baju kaos yang dikenakan oleh Hiro. Elina takut sesuatu yang buruk terjadi pada sahabatnya.

"Tidak apa-apa, Rima pasti kuat. Ayo, kita ke ruangan dokter Anita dulu dan mendengar penjelasannya."

Hiro dengan hati-hati menuntun istrinya untuk berjalan menuju ruangan di mana dokter Anita berada.

Mereka tidak tahu jika kabar yang akan disampaikan oleh dokter Anita adalah kabar buruk dan baik yang akan membuat segalanya berubah.

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang