Bab 33

4.8K 228 8
                                    

Hiro membeku di tempat ketika mendengar suara rekaman yang dikirim oleh Helia padanya.

Hiro benar-benar tidak mengerti apa maksud dari isi rekaman tersebut.   Hiro sudah bertanya pada kakaknya namun jawaban kakaknya justru membuat Hiro semakin tidak mengerti.

"Tunggu saja besok."

Hiro menghela napas. Pria itu kemudian bangkit dari duduknya dan menghampiri Elina yang sedang terbaring di atas tempat tidur.

Hiro naik ke atas tempat tidur kemudian berbaring di samping Elina. Tanpa sungkan, Hiro langsung memeluk Elina dan mendekatkan kepalanya pada istrinya.

"Sayang, tolong kasih aku kesempatan. Sekali ini saja. Aku berjanji, tidak akan mengecewakanmu lagi." Hiro berujar dengan suara lembut. Hiro tahu jika istrinya ini sebenarnya belum tidur.

"Kalau perlu, kita bisa pergi dari kota ini dan menetap di tempat lain supaya mama dan yang lainnya tidak mengganggu kita." Hiro kembali berbicara dengan suara lembut dan berharap agar istrinya mau memberinya kesempatan. Hiro tidak masalah jika akan meninggalkan semua yang ada disini. Asalkan, istrinya akan tetap bersamanya.

"Tolong pikirkan lagi. Rima juga sudah memberikan kita kesempatan untuk merawat anak-anaknya. Kalau kita benar-benar berpisah, lalu bagaimana dengan anak-anak?"

"Ini mungkin ujian untuk rumah tangga kita. Tuhan sudah memberikan kita kesempatan supaya kita bisa merawat anak-anak. Tolong, Sayang, pikirkan sekali lagi."

Jika cara keras tidak bisa membuat Elina luluh, mungkin cara lembut dan memelas seperti ini akan meluluhkan hati istrinya. Apa pun akan Hiro lakukan agar istrinya tidak memikirkan untuk bercerai darinya. Hiro bisa meninggalkan apa pun di dunia ini, tapi tidak istrinya.

Hiro menghela napas berat ketika tidak mendapat respon dari Elina. Pria itu  akhirnya memejamkan matanya ketika rasa kantuk mendera. Setelah itu, Hiro benar-benar larut dalam mimpi meninggalkan Elina dengan pikiran berkecamuk memikirkan ucapan suaminya.

Benar, Elina tidak bisa meninggalkan Hiro dan mungkin sampai kapan pun. Elina terbiasa bergantung pada Hiro untuk hal sekecil apa pun. Bahkan, Elina tidak tahu kehidupannya ke depan akan seperti apa jika benar-benar berpisah dari suaminya. Elina tidak tahu cara mencari uang karena selama ini ia mendapatkan uang dari Hiro.

Jikapun seandainya ia memilih untuk berpisah, lalu bagaimana dengan anak-anak? Elina tidak bisa merawat anak-anaknya seorang diri terlebih ia tidak memiliki pekerjaan.

Elina mulai memijat keningnya yang terasa pusing memikirkan masalah yang terjadi. Andai saja Elina hanya memikirkan perasaannya, mungkin ia bisa bersikap egois dan meninggalkan semuanya. Hiro dan juga anak-anak. Tapi, Elina tidak ingin meninggalkan anak-anak yang sudah ia sayangi.

Benar, Rima sudah memberikan kepercayaan pada mereka. Apa Elina sanggup  menghilangkan kepercayaan Rima padanya? Jawabannya tentu saja tidak.

Terlalu banyak berpikir, Elina akhirnya ikut terlalu dalam mimpi.

Keesokan paginya  mereka sarapan seperti biasa. Begitu juga dengan  Helia yang hadir pada sarapan pagi ini.

Wanita itu mengerutkan keningnya ketika mendengar suara tangis bayi berasal tak jauh dari ruang makan tempatnya berada.

Helia tahu jika adiknya mengadopsi 4 bayi sekaligus. Tapi, Helia tidak tahu jika suara bayi akan seperti ini. Terlalu berisik dan membuat Helia tidak mood untuk makan.

"Pecat saja babysitter kalian kalau tidak bisa merawat bayi yang menangis," dengus Helia.

Hiro yang sedang memotong ayam dalam piring Elina spontan mendelik menatap kakaknya. "Anak-anak menangis itu hal biasa. Apanya yang dipecat? Mereka bekerja dengan sangat baik."

"Kenyataannya memang tidak becus. Lihat  bayi-bayi itu menangis lama sekali," balas Helia tak mau kalah.

"Baru beberapa menit mereka menangis." Hiro membalas tak mau kalah.

"Terserah." Helia memutar bola matanya. Kemudian, tatapannya beralih menatap Rima. "Ke mana ayah dari anak-anakmu itu?  Tidak pernah terlihat sama sekali," komentar Helia.

Rima menjawab dengan santai, "sudah meninggal karena kecelakaan pesawat."

Tentu saja jawaban Rima tidak dipercaya oleh Helia. Beberapa tahun terakhir ini ia tidak mendengar kabar kecelakaan pesawat di berbagai negara. Otomatis alasan yang disampaikan oleh Rima tidak bisa diterima nalarnya.

"Oh." Setelah itu Helia tidak menyahut lagi. Wanita itu kemudian bangkit berdiri mengambil tasnya dan melangkah keluar tanpa sepatah pun.

Setelah kepergian Helia, Hiro mengalihkan tatapannya pada Elina.  Pria itu mengusap lembut rambut Elina membuat Rima yang melihatnya mendengus.

Rima jadi bertanya-tanya jika memang Hiro benar-benar menyayangi Elina mengapa pria itu tega mengkhianati sahabatnya? Jika memang sayang, seharusnya menjaga bukan justru menyakiti.

"Sayang, selesai makan kita jalan-jalan ke taman, ya? Aku mau ajak kamu keliling. Kamu mau 'kan?" Hiro bertanya dengan hati-hati pada istrinya. Hiro tidak ingin memaksa jika memang istrinya tidak mau. Namun, Hiro tersenyum senang ketika melihat anggukan dari Elina.

Sementara Rima hanya menjadi penonton kedua pasangan suami istri tersebut.  Rima juga berharap agar hubungan Hiro dan juga Elina membaik sebelum kelahiran anak-anaknya beberapa minggu lagi.

Usai sarapan pagi, Hiro segera membawa istrinya naik ke mobil lalu melaju menuju taman yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan tempat mereka tinggal.

Keduanya kemudian duduk santai di sebuah kursi yang diperuntukkan hanya untuk 2 orang dengan Hiro yang menggenggam tangan Elina tanpa melepaskan sedikitpun tautan tangan mereka.

"Sejuk ya udara di sini. Betah lama-lama di sini, apalagi sama kamu." Hiro mengangkat tautan tangan mereka kemudian mengecup punggung tangan Elina. "Aku benar-benar bahagia bisa duduk dengan tenang di sini bersama kamu. Sudah lama kita tidak pernah melakukan hal ini," celoteh Hiro, membuat Elina terdiam.

Memang benar jika mereka sudah agak lama tidak pernah duduk berdua di taman seperti yang mereka lakukan saat ini. Semua terjadi semenjak kedatangan Mita yang mengucapkan rumah tangga mereka.

Ketika mengingat soal Mita, entah mengapa tangan sebelah kiri Elina yang tidak digenggam oleh Hiro mengepal. Ingin rasanya Elina membalas dendam atas semua yang terjadi padanya. Namun, Elina tahu jika ia tidak akan pernah bisa membalas dendam pada orang-orang yang sudah menyakitinya.

Elina mungkin akan menunggu hukuman dari Tuhan yang diberikan pada orang-orang yang sudah menyakitinya.

"Kalau aku memberikan Mas satu kali kesempatan lagi, apa mas akan tetap seperti sekarang? Peduli pada wanita lain dan mengabaikan keberadaan istri."

"Tidak, Sayang.  Mas benar-benar tidak akan pernah menyembunyikan apa pun lagi lagi di belakang kamu."  Hiro menatap Elina antusias. "Mas akan bawa kamu ke suatu tempat yang tidak ada orang yang akan memisahkan kita. Kamu mau 'kan?"

Elina berpikir sejenak mendengar tawaran Hiro. Bukan muka pergi dari orang-orang yang menyakitinya hanya menutupi masalah untuk sementara waktu? Elina tidak akan mau lari dari masalah yang sudah terjadi pada rumah tangganya. Menyadari apa yang sedang dipikirkan Elina, Hiro menggenggam tangan istrinya.

"Kita akan segera pindah setelah semua masalah yang terjadi selesai. Jadi, kamu tidak perlu takut."

Elina kembali berpikir, apakah ini adalah keputusan yang baik untuk pindah dari tempat ini dan menjauh dari sanak keluarga? Elina mungkin akan memikirkan matang-matang rencana Hiro.

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang