Hiro baru pulang ketika sore menjelang.
Pria itu menarik napas sebelum melangkah masuk ke dalam rumah dengan menarik kedua sudut bibirnya untuk membentuk sebuah senyuman. Hiro tahu jika istrinya tidak dapat melihat senyumnya, namun aura positif yang akan ia pancarkan, mungkin akan membuat sang istri tahu bahwa ia sedang baik-baik saja.
Sayangnya, saat masuk ke dalam rumah, sudut bibir Hiro yang siap ditarik untuk membentuk senyum, surut ketika melihat wajah sang istri yang terlihat cemas.
"Sayang." Hiro memanggil nama istrinya, membuat sang empunya nama spontan menoleh kepalanya mencari sumber suara yang teramat sangat ia cemaskan sejak beberapa jam yang lalu.
"Mas, kamu sudah pulang?" Elina bangkit dari tempat duduknya. Tangannya meraba ke depan, membuat Hiro segera menghampiri istrinya.
"Iya, Sayang. Mas sudah pulang," bisik Hiro sambil mencium kening istrinya. Sementara kedua tangannya memeluk erat sang istri, berusaha untuk melampiaskan rasa sesak di dada.
"Kamu yang sabar, ya, Mas. Mbak Hera sudah tenang di sana. Beliau pasti tidak ingin melihat Mas terlalu larut dalam kesedihan," ucap Elina. Tangannya bergerak mengusap lembut punggung Hiro untuk menenangkan sang suami yang tengah didera rasa kalut.
"Iya, Sayang. Ini hanya karena mas merasa tidak percaya jika Mbak Hera sudah benar-benar pergi. Terakhir kali, Mas datang ke sana saat beliau membongkar rahasianya."
"Setidaknya Mbak Hera sudah pergi dengan tenang. Tanpa harus dibebani dengan rahasia yang tersimpan. Aku turut sedih dengan kepergian Mbak Hera. Semoga Tuhan mengampuni segala dosa-dosa beliau."
"Terima kasih, Sayang." Sekali lagi Hiro mengecup kening Elina. Lalu, membawa istrinya untuk masuk ke dalam kamar mereka.
Hari sudah sore dan Hiro sudah merasa kotor karena sejak tadi ia belum berganti pakaian dan belum mandi. Hiro mandi pun hanya tadi pagi saja sebelum menggali kuburan untuk kakaknya.
"Mas mandi dulu, Sayang. Kamu tunggu di sini, ya," ucap Hiro mendapat anggukan dari Elina.
Elina duduk di atas tempat tidur mereka. Wanita itu tengah merenungkan betapa cepat Hera meninggalkan mereka semua. Meski tidak begitu akrab, Hera adalah sosok yang baik menurut Elina. Namun, menurut cerita sang suami, jika dulu Hera tidak sebaik itu. Tapi, semenjak kecelakaan yang merenggut kedua kakinya dan Tuhan memberinya hukuman dengan diberi penyakit, baru setelah itu Hera mulai merubah sikapnya.
Jika dulu ia selalu memandang rendah orang lain, maka ketika Tuhan memberinya cobaan, wanita itu merasa ia tidak pantas untuk memandang rendah atau remeh orang lain. Justru dirinyalah yang direndahkan oleh orang yang sudah dianggap seperti teman sendiri atau orang-orang sekelilingnya.
"Apa yang kamu lamunkan, Sayang?"
Elina tersentak ketika tangan dingin Hiro menyentuh pipinya. Wanita itu larut dalam lamunan hingga tidak menyadari jika sang suami sudah selesai mandi.
"Kamu sudah selesai, Mas?"
"Iya, Sayang. Sejak tadi malah. Tapi, kamu justru melamun." Hiro terkekeh kemudian mengecup pipi sang istri. "Kamu lagi mikirin apa?"
"Mikirin Mbak Hera. Dulu, waktu pertama kali Mas kenalkan aku dengan Mbak Hera, aku merasa bersyukur karena beliau menyambut aku dengan senyum. Aku kira dulu Mbah Hera bakal jutekin aku," kata Elina bernostalgia.
Hiro terdiam kemudian mengusap kepala istrinya dengan saya. Rambutnya yang basah dan tubuhnya yang agak dingin membuat Hiro merasa hangat ketika mendekap tubuh istrinya.
"Mbak Hera memang sudah berubah. Mas senang beliau memberikan hal positif sebelum akhirnya beliau menghadap sang maha kuasa."
Hiro berkata lirih sambil mengingat bagaimana gigihnya sang kakak meminta mantan suaminya yang tak lain adalah Bima Sanjaya untuk mencari istri baru. Meskipun Hiro tahu jika tidak ada cinta di antara keduanya, tetap saja wanita akan merasa sakit hati ketika orang yang sudah lama tinggal bersama kita memulai kehidupan baru dengan orang baru. Namun, kakaknya justru merasa senang. Setidaknya, Hera meninggalkan wanita yang tepat untuk mengganti perannya yang tidak pernah ia lakoni baik sebagai istri maupun.
"Bagaimana istri barunya Mas Bima? Apa istri barunya Mas Bima baik pada anak-anak?"
"Tentu saja baik. Mas lihat sepertinya anak-anak menyukai wanita itu."
"Bagaimana Mas seyakin itu?" Elina menoleh menghadap ke arah sang suami. "Mas melihat interaksi mereka. Wanita itu bahkan tidak segan menjewer telinga Arga, kalau tahu keponakan kita itu salah di depan orang banyak."
"Apa respon Mas Bima?"
"Tidak ada respons. Tapi, Mas melihat dari ekspresi anak-anak, mereka menyukai wanita yang menjadi istri Papa mereka. Mungkin sudah lama tidak mendapat kasih seorang ibu, sehingga kedatangan wanita itu membuat hari mereka sedikit berwarna."
Elina terdiam mendengar ucapan Hiro. Mungkin, ini yang terbaik untuk anak-anak Hera yang sudah ditinggalkan.
Tak lama kemudian Hiro membawa Elina keluar dari kamar. Pria itu kemudian memangku istrinya dan duduk di ruang keluarga dengan televisi yang menyala.
"Nanti malam Mas mau tahlilan. Mas mau ajak kamu, tapi tahu kamu sedang tidak enak badan."
Hiro dapat melihat wajah istrinya yang tampak pucat. Sementara keningnya terasa hangat membuat pria itu menyimpulkan jika Elina sedang tidak enak badan.
"Kalau merasa tidak nyaman, kasih tahu aku, ya, Sayang. Biar mas bawa kamu ke rumah sakit."
"Tidak perlu, Mas. Aku hanya sedang tidak enak badan saja. Nanti juga akan sembuh sendiri," ucap Elina pada suaminya.
Beberapa hari ini memang cuaca tidak menentu hingga membuat Elina terkadang tidak enak badan. Apa lagi terkadang dia duduk di halaman belakang rumah dan tiba-tiba hujan mengguyurnya karena tak tahu jika cuaca sudah mendung.
Keduanya sedang asyik bercengkrama dan berbagi pelukan hangat ketika suara dering telepon berbunyi.
Hiro mengambil ponsel dari atas meja kemudian menatap layar yang terpampang nama mamanya.
"Siapa, Mas?" Elina bertanya penasaran. Pasalnya, suara ponsel tidak berhenti pertanda jika Hiro belum mengangkat sambungan telepon.
"Urusan kantor, Sayang. Kamu tunggu di sini sebentar, ya." Hiro menurunkan Elina dan mendudukkan istrinya di atas sofa. Sebelum pergi, Hiro sempat mengecup kening istrinya lebih dulu kemudian menjauh agar obrolannya ditelepon tidak terdengar oleh istrinya.
"Kenapa, Ma?" Hiro bertanya dengan nada datar.
"Hiro, kamu ke rumah sakit sekarang, ya. Mita jatuh tak sadarkan diri tadi sore. Sekarang, Mama lagi bersama Monik menunggu Mita sadar."
"Maaf, Ma, aku tidak bisa. Habis maghrib aku langsung mau ke tempat Mbak Hera buat tahlilan. Mama bisa suruh orang lain yang menjaga Mita dan itu bukan aku."
"Hiro, tahlilan nanti mama yang mewakilkan kamu. Kamu menunggu Mita sadar saja." Suara di seberang Hana terkesan membujuk, namun Hiro tidak peduli.
"Maaf, Ma." Hiro tanpa menunggu respon dari mamanya, langsung mematikan sambungan telepon. Hiro tidak akan membuka peluang sedikitpun untuk dirinya membuat konflik dengan sang istri. Katakan Hiro egois dan jahat. Namun, demi mempertahankan rumah tangganya dan tak ingin menyakiti hati sang istri, Hiro tidak masalah jika ia dicap sebagai pria tak punya hati.
Baginya, saat ini hal yang harus ia prioritaskan adalah keluarga kecilnya.
Hiro kemudian mematikan telepon dan kembali ke tempat di mana Elina duduk. Pria itu memeluk istrinya dan mengecup bibirnya beberapa kali hingga membuat sang empunya memukul lengannya.
"Mas," rengek Elina disambut kekehan dari Hiro.
Hiro rindu mendengar suara rengkekan sang istri. Pria itu berharap tidak akan ada lagi cobaan yang menimpa keluarganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...