Bab 2

5.9K 280 17
                                    

Bab 2

Jika seorang wanita tidak mengandung dalam waktu yang lama, maka kesalahan akan dilimpahkan orang-orang sekitar pada pihak wanita. Namun, apakah semua hal yang tidak sesuai dengan rencana selalu dilimpahkan pada pihak wanita? Tentu saja, iya. Sebagian orang melimpahkan kesalahan pada pihak wanita tanpa mau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Dituduh tidak bisa mengandung karena mandul, mungkin sudah biasa didengar oleh Elina selama bertahun-tahun ini. Pasrah mungkin itu yang ia lakukan. Wanita itu hanya tersenyum menanggapi cibiran orang-orang tentang ketidaksempurnaannya sebagai wanita.

Apakah ini mau Elina? Tentu saja tidak. Elina juga ingin memiliki anak yang lahir dari rahimnya sendiri. Tapi mungkin takdir Tuhan belum mengizinkan mereka untuk memiliki anak. 

Siapa yang disalahkan? Siapa yang dibela? Dan siapa yang menjadi bahan gunjingan? Tentu saja itu adalah Elina. Sementara suaminya tidak tahu-menahu tentang konflik batin yang ia alami. Elina merasa tertekan. Ingin marah tapi tidak tahu marah pada siapa. Ingin berlari tapi kakinya enggan untuk melangkah.

Seperti sekarang ini. Ingin rasanya Elina pergi sejauh mungkin dari kediaman orangtua Hiro.  Meninggalkan acara kumpul keluarga yang tengah dilakukan di kediaman tersebut. Tapi, apakah Elina bisa? Tidak! Elina tidak bisa melakukan itu karena itu sama saja mempermalukan suaminya di depan keluarga sang suami.

"Masa iya sudah hampir 4 tahun menikah belum punya momongan juga? Jangan-jangan menantunya mbak Hana mandul lagi."

Elina menundukkan kepalanya mendengar ucapan yang terlontar dari salah satu adik Hana--ibu mertuanya-- yang kini sedang menggendong cucunya yang baru berusia 10 bulan.

Sakit.

Mungkin hanya itu gambaran dari perasaan yang dialami Elina sekarang. Sungguh, Elina tidak tahu lagi cara mendeskripsikan perasaannya yang kembali diserang oleh kalimat tajam dari orang sekitar.

"Tidak tahu ya. Mungkin bisa jadi. Soalnya udah di cek ke dokter, katanya mereka berdua sama-sama subur dan sehat." Terdengar sahutan dari Hana yang tidak membela atau memojokkannya. Namun, Elina tahu jika sang  mertua tidak lagi menyukainya.

"Kenapa tidak suruh Hiro nikah aja, Mbak? Siapa tahu dengan menikahi wanita lain, Hiro bisa punya anak." Usul dan saran dari salah satu kerabat Hana terdengar tanpa perasaan. Wanita itu melirik sinis ke arah Elina yang masih diam tidak bergerak sama sekali.

"Iya kalau Hiro mau? Masalahnya Hiro tidak mau. Katanya sih dia sudah terlalu cinta sama Elina." Hana melirik Elina sekilas.  "Tapi saya akan bujuk Hiro supaya mau menikah lagi. Saya juga pengen punya cucu dari anak laki-laki," tambahnya, menambah garam pada luka di hati Elina.

"Eh, Mbak, dengar-dengar si Hiro dekat lagi sama Mitha, sahabatnya itu. Kenapa tidak dijodohkan saja Hiro dengan Mita. Apalagi 'kan sekarang Mita sudah jadi single parent." Kembali kerabat Hana memberi usulan. "Kalau si Mita 'kan sudah terbukti dia pernah hamil dan sekarang punya anak. Sedangkan menantu Mbak ini belum terbukti."

"Ah, Mitha. Akan saya pikirkan. Tidak masalah kalau Hiro mau poligami karena yang penting saya bisa mendapatkan cucu."

Elina mengepalkan kedua tangannya mendengar ucapan ibu mertua yang dulu menyayanginya, sekarang membencinya.

Tidak tahan dengan segala macam cercaan keluarga besar Hiro,  Elina memutuskan untuk bangkit dari kursi dan berjalan menuju kamar mandi yang masih terletak di lantai satu rumah ini.

Elina menatap bayangan dirinya di depan cermin. Wanita itu mengusap air mata yang jatuh mengenai pipinya.  Dia harus menjadi wanita kuat. Jangan lemah hanya karena ucapan-ucapan menyayat hati. Ini sudah terbiasa. Terbiasa ia dengar dan Elina harus menebalkan telinganya.

Elina merapikan kembali wajahnya yang berlinang air mata. Kemudian, wanita itu keluar dari kamar mandi bertepatan dengan Hana yang baru saja mendekat ke arah pintu kamar mandi.

"Kamu dengar semuanya, Elina? Sebagai seorang istri, harusnya kamu memikirkan perasaan suami dan keluarganya. Jangan hanya mementingkan perasaanmu sendiri."

"Maksud ibu apa?" Elina menatap ibu mertuanya.

"Kamu mengerti maksud saya. Izinkan Hiro menikah lagi dan saya akan segera mendapatkan cucu." Hana berkata dengan santai tidak memedulikan rasa sakit yang terlihat dari manik mata Elina. "Kalau Hiro tidak menikah lagi, dia tidak akan bisa mendapatkan keturunan seumur hidup," tandasnya.

"Kalau begitu, kenapa tidak ibu saja yang meminta mas Hiro menikah lagi dan menceraikan saya?" Elina menatap ibu mertuanya tanpa gentar. Sakit hatinya memang tidak berdarah, tapi sakit hatinya mungkin akan membunuh perasaannya secara perlahan.

"Kalau Hiro mau menuruti kemauan saya, sudah bisa dipastikan dia akan menikah lagi sejak lama." Hana tersenyum tenang. "Maka dari itu saya minta kamu untuk membujuk Hiro agar dia mau menikah lagi."

Elina terlihat menarik napasnya berat. Kemudian menghembuskannya kembali. "Kalau ibu meminta saya untuk membujuk  mas Hiro menikah lagi, maka maaf, saya tidak bisa."

Elina tersenyum sopan sebelum akhirnya ia memilih  untuk pamit pergi pada ibu mertuanya. Daripada berlama-lama di rumah ini dan hanya akan menimbulkan kebencian yang teramat dalam pada seluruh anggota keluarga,  Elina memilih untuk pulang ke rumah. 

Sesampainya di luar gerbang, Elina segera menghubungi Hiro yang sejak tadi mengatakan sedang dalam perjalanan, namun tidak jua menampilkan wajah di hadapan Elina.

"Kamu di mana, Mas?" Elina langsung bertanya tanpa basa-basi ketika sambungan telepon diangkat.

"Sayang, maaf ya sepertinya aku akan terlambat. Aku harus menebus obat untuk Monik di apotek. Kamu tunggu dulu ya di rumah mama. Aku ngebut kok."

Balasan dari Hiro di seberang sana membuat Elina lagi-lagi merasakan kesakitan yang teramat sangat.

"Mas, kalau aku sedang dalam keadaan sekarat, apa kamu juga akan cepat-cepat mendatangi aku, seperti kamu mendatangi Mita dan Monik?" Suara Elina terdengar lirih, namun di seberang sana Hiro masih mendengarkan dengan jelas.

"Apa maksud kamu, Sayang? Jangan ngomong macam-macam. Aku akan segera kesana."

"Tidak, Mas. Tidak perlu menjemputku lagi atau mengantarkan kemana aku pergi. Aku bisa melakukannya sendiri. Aku bukan wanita manja." 

Helaan napas terdengar berat terhembus dari mulut Elina. Wanita itu tidak lagi mendengarkan balasan dari sang suami, karena sambungan telepon sudah ia matikan.

Mungkin ada baiknya ia akan melakukan segala sesuatunya seorang diri. Tidak perlu lagi mengandalkan pria yang menjadi kepala rumah tangganya. Nyatanya, pria yang mengaku mencintainya terlalu memprioritaskan orang lain dibanding dirinya sendiri.

Elina akhirnya memutuskan untuk pulang dengan menggunakan taksi. Taksi melaju dengan kecepatan sedang membelah jalanan kota yang tidak terlalu padat. Hari sudah semakin malam, namun keramaian kota masih terasa. Elina menatap keluar melalui jendela kaca melihat banyaknya manusia yang masih berkeliaran di waktu malam seperti sekarang. Andai saja, Elina bisa memilih, ia ingin kembali menjadi seorang gadis tanpa beban pikiran yang menghantuinya. 

Elina mendengar suara klakson berbunyi keras membuat wanita itu segera mengalihkan tatapannya ke depan. Elin terbelalak lebar  saat melihat sebuah truk datang dari arah berlawanan dan menabrak taksi yang tengah ia tumpangi.  

Tuhan, jika ini saatnya aku menghadapmu, izinkan aku mati di pelukan suamiku. Aku sangat mencintainya. 

Sebuah doa digaungkan Elina di dalam hati meminta sedikit kebahagiaan pada Tuhan sebelum Dia menjemputnya. 

Kelopak mata wanita itu mulai terpejam dengan rasa sakit yang mulai menyentuh tubuhnya hingga terasa menembus tulang. 

Ada harapan, ada keinginan, dan ada cita-cita yang belum diwujudkan oleh Elina sebagai seorang istri. Namun, sepertinya Tuhan memang tidak pernah mengizinkannya untuk bahagia. Mungkin saja, kebahagiaannya sudah menunggunya di akhirat sana. 

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang