Hiro mendorong kursi roda yang diduduki Elina masuk ke dalam rumah mereka.
Sesampainya di ruang keluarga sudah ada Hana yang menunggu. wanita paruh baya itu berkacak pinggang sambil menatap tajam sosok Elina dan juga Hiro.
"Hiro, apa-apaan ini? Kenapa kamu bawa wanita cacat ini keluar dari rumah? Kamu malu-maluin tahu tidak?" serunya dengan wajah memerah. "Lihat, semua orang jadi tahu kalau mama punya menantu cacat di rumah ini!" jeritnya dengan rahang mengeras.
Ucapan Hana tentu saja membuat Hiro marah. Pria itu membalas tatapan mamanya dengan tak kalah tajam. "Jaga bicara mama. Ucapan lama sungguh menyakiti hatiku dan juga Elina. Gimana pikiran Mama saat mengucapkan kalimat menyakitkan itu pada istriku?" balasnya dengan napas memburu.
Jujur saja Hiro terkejut saat masuk ke dalam rumah dan mendapat serangan bertubi-tubi dari mamanya. Hiro kemudian melirik ke arah Elina yang menampilkan ekspresi datar. Namun, kepalan tangan Elina menyadarkan Hiro jika istrinya itu sakit hati juga marah dikatakan seperti itu oleh mamanya.
"Apa yang harus Mama jaga? di mana otak kamu membawa istri cacat kamu keluar rumah? Kamu mau menunjukkan kalau kamu punya istri cacat, begitu?"
"Apa urusannya dengan Mama? Istriku adalah istriku. Aku tidak peduli dengan ucapan orang lain. Aku lebih peduli dengan ucapan mama yang sungguh tidak beradab sebagai orang tua. Aku sungguh kecewa dengan Mama." Hiro menggeleng kepalanya pelan sambil menatap mamanya penuh kekecewaan.
Pria itu kemudian kembali mendorong kursi roda yang diduduki istrinya untuk masuk ke dalam kamar. Hiro tidak ingin istrinya kembali mendengar kata-kata menyakitkan dari mamanya sendiri. Mamanya sungguh tidak punya hati, pikir Hiro.
"Sayang, kamu tinggal di sini sebentar. Aku mau siapkan air hangat untuk kamu mandi."
Hiro berjongkok sebentar di depan Elina kemudian mengecup punggung tangan istrinya. Setelah itu Hiro berlalu pergi masuk ke dalam mandi untuk menyiapkan air hangat.
Usai menyiapkan air hangat, Hiro kemudian membuka lemari baju dan menyiapkan pakaian malam untuk istrinya. Baru setelah itu Hiro membantu melepaskan setiap helai kain yang menempel pada tubuh istrinya.
"Berendam, ya." Hiro kemudian mengangkat tubuh istrinya masuk ke dalam kamar mandi dan meletakkannya di dalam bathup yang sudah ia isi dengan air hangat dan sabun dengan aroma lavender.
Hiro mulai membilas tubuh Elina dengan sabun. Sementara napasnya kian memburu ketika telapak tangannya menyentuh kulit telanjang istrinya. Sudah lama Hiro tidak mendapat jatah ranjang dari istrinya. Hiro tidak ingin meminta haknya sekarang mengingat kondisi istrinya yang sedang tidak baik.
Usai memandikan dan memakaikan Elina pakaian, Hiro kemudian mendudukkan Elina di atas tempat tidur. Pria itu melangkah keluar dari kamar dengan ponsel di tangan.
Hiro berniat untuk menghubungi papanya yang sedang berada di luar kota.
"Halo, Pa? Papa apa kabar?"
Hiro katanya saat dering telepon diangkat oleh papanya.
"Papa baik, Hiro. Kamu ada perlu apa telepon Papa?" tanya hari to the point.
Pria itu tahu jika putranya tidak akan menghubunginya jika tidak dalam keadaan mendesak. Jika tidak dalam keadaan mendesak, Hiro mana mau menghubunginya lebih dulu. Ini adalah hasil didikannya dan juga sang istri yang membuat Hiro bahkan pernah bersikap sangat kurang ajar pada mereka. Beruntung Hiro bisa berubah semenjak kenal dengan Elina. Maka dari itu, hari sangat menyayangi menantunya itu karena wanita itulah yang bisa membuat Hiro berubah.
"Papa kapan pulang?"
Hari tahu mengapa Hiro bertanya seperti itu. Ini bukan karena rindu, tapi pasti karena Hana, istrinya.
Hana memang tidak pernah cocok dengan anak-anaknya sendiri. Bahkan, putri sulung mereka yakni Hera pun sering ditecoko Hana kehidupannya.
"Apa mamamu membuat ulah lagi?" tebak Hari tepat sasaran.
"Iya, Pa. Aku minta tolong supaya Papa cepat pulang dan bawa Mama pergi. Mama sudah benar-benar keterlaluan dan menyakiti istriku dengan kata-kata kasar." Hiro mengusap wajahnya. Pria itu kemudian menghela napas kasar dan menghembuskannya secara perlahan guna menetralkan emosi yang ada pada dalam dirinya.
"Ya sudah. Papa akan usahakan cepat pulang. Mungkin 2 hari lagi Papa akan jemput mama." Hari berkata dengan suara tenangnya. "Sebenarnya mamamu bisa saja tinggal di rumah sendirian karena ada beberapa ART yang tinggal di sana. Tapi, sepertinya mamamu memang memiliki tujuan lain untuk datang ke rumah kamu," kata Hari mulai menebak.
"Sepertinya begitu, Pa. Aku sangat berharap Papa cepat pulang dan bawa Mama pergi dari rumahku sebelum beliau semakin menjadi-jadi," ujar Hiro tegas.
Pria itu kemudian menutup telepon setelah bercakap beberapa menit dengan papanya.
Hiro melangkah mencari keberadaan mamanya yang saat ini sedang duduk di teras depan rumah.
Hiro berdiri di dekat sang mama dan menatap lurus ke depan. "Dua hari lagi papa bakalan pulang dan jemput mama. Aku harap mama segera pergi dari rumahku dan tolong jangan datang lagi. Biarkan aku yang berkunjung ke tempat mama," kata Hiro dengan suara tegas.
Hal tersebut sontak membuat Hana yang sedang bersantai menoleh menatap putranya terkejut.
"Kamu mengusir Mama dari rumah kamu sendiri, Hiro?" Hana berdiri menatap putranya tak percaya. Putranya yang sudah ia lahirkan tega sekali mengusirnya dari rumah ini. Hana sampai tak habis pikir.
"Maaf, Ma. Ini demi ketenangan rumah tanggaku. Aku tidak ingin rumah tanggaku terlalu dicampuri oleh Mama," kata Hiro membalas tatapan mamanya.
"Hiro, Mama melakukan ini karena mama sayang sama kamu. Mama ingin kamu mendapatkan yang terbaik." Hana berujar menatap putranya kecewa. "Kamu anak laki-laki mama satu-satunya."
"Hidup dengan Elina adalah hal terbaik yang pernah aku rasakan. Jadi, aku tidak ingin meninggalkan hal terbaik dalam hidupku hanya karena keegoisan mama." Hiro mengalihkan tatapannya ke arah lain. "Tolong, Ma, sejak kecil Mama bahkan tidak pernah tahu hal apa yang bisa membuat aku bahagia. Jadi, sekarang aku minta tolong dan mohon jangan ambil kebahagiaan aku yang belum pernah Mama berikan sejak aku kecil hingga dewasa."
Setelah itu Hiro berbalik pergi tidak ingin menatap wajah mamanya yang terlihat sekali kecewa akan keputusannya.
Elina adalah sumber kebahagiaanya. Sementara mamanya adalah sumber kesakitan dari rasa sakit yang pernah diberikan Hana sejak ia masih kecil.
Hiro selalu dibanding-bandingkan dengan kakaknya--Hera-- yang menurut Hana sangat baik dalam segala hal. Dulu, saat Hiro masih kecil dan tidak sengaja menjatuhkan vas bunga kesayangan mamanya, Hiro mendapat pukulan fisik dari Hana yang marah padanya. Bahkan, ketika Hiro nakal, Hana pernah beberapa kali mencelupkan kepalanya di dalam bak mandi.
Untuk mendidiknya.
Itu adalah alasan yang digunakan Hana saat ketahuan oleh Hari sedang menyiksanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...