Aina sudah mengatakan semua hal ganjil yang terjadi tadi pagi pada Hiro saat pria itu baru pulang dari kantor.
Wanita itu juga mengungkapkan wajah murung Elina yang sejak tadi membuatnya cemas karena tidak paham dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Elina.
Hiro menghela napas. Pria itu langsung masuk ke ruang kerjanya untuk memeriksa CCTV sesuai dengan apa yang dikatakan Aina tadi.
Setelah itu Hiro tercengang saat melihat mobil mamanya masuk ke pekarangan rumahnya. Bukan itu yang membuat Hiro tercengang, melainkan saat mamanya turun dengan tergesa-gesa dan mendorong tubuh Elina yang sedang duduk di kursi.
Hiro juga mendengar percakapan mamanya yang menurutnya sudah sangat keterlaluan.
Pria itu segera menutup laptop di atas meja dan melangkah keluar mencari keberadaan istrinya.
Ternyata saat ini Elina sedang berada di kamar dan duduk menghadap ke arah jendela kamar yang sengaja dibuka agar angin sore masuk.
"Sayang." Hiro tiba-tiba memeluk Elina dari belakang dan mencium puncak kepala sang istri.
Hiro tidak akan membahas kedatangan mamanya pada Elina dan membuat istrinya semakin kepikiran. Nanti saja ia akan berkunjung ke rumah mamanya dan memperingati sang mama agar jangan pernah mengganggu rumah tangganya dan Elina.
"Kamu sudah mandi?" Rambut Elina basah membuat Hiro berpikir jika sang istri mungkin sudah mandi.
"Sudah."
Tak disangka Elina menjawab dengan tenang pertanyaan Hiro. Hal tersebut membuat Hiro tersenyum lebar karena setidaknya Elina mau membuka suara untuknya.
Pria itu kemudian mencium gemas rambut Elina yang masih basah. Tanpa kata, Hiro membopong tubuh Elina dan membawanya menuju kaca rias yang terletak di dalam kamar. Pria itu mendudukkan Elina pada kursi sementara dirinya sendiri sibuk menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambut sang istri.
Hiro melakukannya dengan mudah karena ini memang sudah menjadi kebiasaannya untuk mengeringkan rambut Elina jika wanita itu dalam kondisi tidak tahan mengeringkan rambut dengan tangan sendiri.
Hiro pelan-pelan mulai menyisir rambut Elina dan tersenyum lebar ketika melihat hasil yang cukup memuaskan.
"Mau bedak, Sayang?"
Hiro bertanya sambil menunduk sedikit menatap wajah istrinya dari samping. Hiro tidak pernah bosan untuk menatap wajah istrinya.
Hiro merasa beruntung karena Elina mau bertahan di sisinya. Hiro pernah mendengar beberapa suster dan dokter berbincang tentang Elina yang mendapat mukjizat bisa bertahan hidup. Seharusnya, dalam kondisi kecelakaan parah seperti yang dialami Elina, wanita itu tidak akan tertolong dan bisa jadi meninggal di tempat. Namun, Tuhan berkehendak lain. Tuhan masih menyayangi wanita itu dan hanya mengambil penglihatan serta bayi dalam kandungannya.
"Tidak." Elina menggeleng pelan kepalanya. Untuk urusan wajah, Elina tidak akan mau mempercayai Hiro karena pria itu tidak akan rapi dalam merias wajahnya.
"Kamu tidak marah lagi dengan mas?" Hiro menggigit bibirnya ketika melihat ekspresi wajah Elina yang sedikit mendung terlihat dari kaca.
"Untuk apa aku marah? Kalau dipikir-pikir lagi--" Elina menarik napas sebentar. "Memang sudah sepantasnya kamu dipanggil papa, meskipun itu anak orang lain. Mungkin juga itu keinginan yang tersimpan dalam lubuk hati kamu yang menginginkan anak."
Elina tersenyum getir. Andai saja ia tidak mengalami kecelakaan malam itu, mungkin saat ini perutnya sudah sedikit membuncit.
"Sayang." Hiro mendekap Elina dari belakang dan mengecup kepala istrinya berulang kali. "Jangan bicara seperti itu. Mas akan minta supaya Mita mengajarkan anaknya supaya jangan memanggil mas dengan sebutan Papa lagi," kata Hiro tegas.
"Tidak perlu, Mas. Itu hak kamu ingin dipanggil apa. Memangnya aku siapa yang bisa berhak mengatur kamu?"
Lagi-lagi Elina tersenyum getir ketika membayangkan jika Mita, Hiro, dan Monik jalan bersama dengan Monik memanggil Hiro dengan sebutan papa. Pasti mereka sudah seperti keluarga bahagia pada umumnya, pikir Elina.
"Kamu berhak. Kamu istri mas. Jangan lupakan itu, Sayang." Hiro merasa sakit hati mendengar ucapan Elina. Elina jelas berhak marah karena wanita itu adalah istrinya.
"Terserah Mas saja. Mengingat aku adalah wanita cacat, aku tidak berhak melarang kamu. Bahkan, sejak awal kedatangan Mita dalam kehidupan rumah tangga kita, aku tidak pernah melarang kamu dalam memprioritas mereka. Bukankah begitu, Mas?"
Lagi-lagi Elina tersenyum getir hingga membuat Hiro merasa hancur. Pria itu langsung mendekap tubuh istrinya dan menggumamkan kata-kata maaf atas apa yang sudah ia lakukan dulu.
_____
Hiro segera turun dari mobilnya saat tiba di pekarangan rumah orangtuanya.
Hiro datang sendiri tidak bersama Elina. Hiro akan menyelesaikan masalah ini dengan mamanya sesegera mungkin. Hiro tidak ingin istrinya merasa tidak nyaman atas desakan sang mama dalam rumah tangganya.
Hiro membuka pintu utama dan melihat mamanya sedang duduk bersama Mita dan anaknya, Monik.
Kebetulan mereka ada di sini. Hiro akan menegaskan pada orang-orang ini agar tidak mengganggu rumah tangganya.
"Kebetulan kamu datang ke sini, Hiro. Mama ingin membahas perjodohan kamu dengan Mita. Meskipun Mita adalah single parent, tapi dia sudah terbukti memiliki anak. Memangnya istri kamu yang tidak bisa memiliki anak," cibir Hana di akhir kalimat. "Mita juga setuju dengan perjodohan ini meskipun dia akan menjadi istri kedua kalau kamu tidak mau menceraikan istrimu itu," katanya dengan santai. Wanita itu seolah tidak menyadari raut wajah Hiro yang seperti akan menelan mamanya hidup-hidup.
Hiro melangkah mendekati ketiga perempuan yang sedang duduk di ruang tamu. Hiro terkekeh menatap ketiganya lalu terakhir menatap mamanya yang masih menampilkan ekspresi tenang.
"Aku yakin, Mama adalah perempuan tulen. Bukan laki-laki, benar?" Hiro menatap mamanya.
Hana yang merasa tak terima segera berdiri dan menatap Hiro tajam. "Apa maksud kamu, Hiro?"
"Kalau mama merasa Mama adalah perempuan, harusnya mama punya empati sesama perempuan. Bukan justru saling menyakiti. Begitu juga dengan kamu, Mita." Hiro mengalihkan tatapannya ke arah Mita. "Kamu seorang perempuan dan sudah pernah menikah. Rumah tanggamu hancur karena orang ketiga dari suamimu. Apa yang kamu rasakan? Apakah kamu mau memberikan perasaan yang sama pada istriku? Menghancurkan rumah tangga kami dan menjadi orang ketiga?"
Hiro tertawa saat melihat wajah Mita yang terlihat pias. "Kalian memang cocok berkumpul menjadi satu. Sesama perempuan, tapi tidak memiliki empati. Bahkan, berniat untuk menjadi orang ketiga dalam rumah tanggaku."
"Hiro--"
"Diam, Mita," sela Hiro lebih dulu. "Kalau aku tahu kedatangan kamu adalah awal kehancuran untukku dan istriku, aku tidak akan pernah menyambutmu dengan tangan terbuka."
"Memang benar orang bilang, jangan terlalu sering memberi anjing liar makan. Soalnya, 1 kali kita tidak memberinya makan, maka anjing liar itu akan menggigit kita."
Hiro kemudian berbalik tanpa memedulikan suara Hana yang memanggil namanya.
Kali ini Hiro benar-benar kecewa akan sikap sang mama yang terlalu ikut campur dalam urusannya.
Anak? Batin pria itu terkekeh. Ia tidak memiliki anak juga tidak masalah.
Cucu? Bukankah anak dari kakaknya--Hera-- sudah cukup untuk menjadi cucu mamanya? Mengapa mamanya sangat terobsesi ingin sekali menghancurkan rumah tangganya? Hiro jadi bertanya-tanya apa sebenarnya tujuan sama? Hiro berjanji jika mamanya kembali berbuat ulah dan menyakiti istrinya, Hiro akan membawa istrinya pergi dari Indonesia dan lebih baik menetap di luar negeri. Agar jauh dari jangkauan mamanya serta orang-orang yang ingin memisahkan ia dan istrinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...