Hiro membawa Elina masuk ke dalam rumah setelah mereka pulang dari kediaman orangtua Hiro.
Pria itu kemudian menuntun istrinya untuk duduk di sofa dalam ruang keluarga yang tampak sepi. Hiro berpikir mungkin anak-anak sedang ditidurkan di kamar mereka oleh para babysitter.
"Sayang, aku benar-benar minta maaf atas keputusan yang aku buat sampai menyakiti kamu. Tolong, kasih aku kesempatan. Aku berjanji, aku tidak akan pernah menyakiti kamu lagi dan tidak akan membiarkan ada wanita lain dalam rumah tangga kita." Hiro duduk di samping Elina dan menggenggam kedua tangan istrinya. Tak sungkan, Hiro juga mengecup punggung tangan istrinya.
"Dulu, kamu juga sempat berjanji, Mas. Tapi, kamu mengingkarinya. Apa aku harus percaya lagi dengan kata-katamu, Mas?" Elina menyahut dengan pertanyaannya. Elina terlalu takut untuk dikecewakan. Berpisah 'pun bukan jalan terbaik mengingat sudah ada anak-anak yang menjadi tanggung jawab mereka.
"Sekali ini saja aku berjanji. Setelah ini, aku akan meminta izin pada Papa untuk pindah dari kota ini."
"Untuk apa kita pindah, Mas? Bukankah itu tandanya kita lari dari masalah?"
"Tidak, Sayang. Tidak ada masalah apa-apa lagi. Masalah Mita sudah diselesaikan. Mita pun sudah mendapat hukuman dengan dipisahkan dengan anaknya." Hiro mengecup kening Elina. "Sekarang, yang harus kita lakukan adalah pindah ke daerah yang jauh dari keramaian kota. Mas ingin hidup tenang di desa supaya tidak ada gangguan lagi."
"Lalu, bagaimana dengan kerjaan, Mas?"
"Ada Papa yang akan mengurusnya. Mungkin juga aku akan bekerja dari jarak jauh. Bisa juga Mas akan membuka wirausaha di sana. Kamu tidak perlu merisaukan itu," kata Hiro dengan yakin.
Pria itu mengusap kepala istrinya dengan sayang. Hiro kembali berujar, "percaya sama mas. Pokoknya kita akan pindah setelah bayi Rima lahir."
"Baiklah, aku turuti saja apa kemauan Mas. Tapi, kalau mas berani berhianat lagi, aku tidak akan pernah mau memaafkanmu seumur hidup."
"Terima kasih, Sayang. Mas janji tidak akan pernah mau mengecewakan kamu lagi." Hiro dengan senang hati memeluk Elina dan mengecup kening istrinya berkali-kali sebagai bentuk pelampiasan rasa senangnya.
Hiro kemudian pamit pada Elina untuk pergi ke kantor menemui papanya dan mengutarakan tujuannya tentang kepindahannya ke desa.
Hari tentu saja menyetujuinya. Hari tidak ingin putranya terlalu lama berada di kota dan dekat dengan istrinya yang memiliki bisa racun dan membuat kehidupan anak-anaknya semakin hancur.
"Papa memang tidak gagal soal materi untuk anak-anak papa dan istri papa. Tapi, papa gagal dalam mendidik anak-anak papa sehingga kehidupan kalian kacau seperti ini."
Hari terlihat menghela napas frustrasi. Tidak menyangka jika kehidupan anak-anaknya akan menjadi kacau. Bahkan, anak nomor duanya memiliki dendam dengan saudari dan mamanya sendiri. Anak bungsunya justru ditekan sana-sini juga oleh mamanya. Kemudian, kejahatan putri sulungnya didukung oleh mamanya sehingga putri sulungnya sering berbuat jahat tanpa memikirkan perasaan orang lain.
Andai jika waktu bisa diputar, Hari akan mengawasi sendiri tumbuh kembang anak-anaknya sehingga ketiga anak-anaknya tidak akan terjerumus ke jalan yang salah. Terutama untuk Hera dan Helia.
"Aku sebagai anak juga meminta maaf karena sudah merepotkan Papa dengan masalah yang terjadi," ujar Hiro membalas. "Semua masalah yang terjadi bukan karena kesalahan papa, tapi waktulah yang membuat seperti ini."
"Tapi, Papa benar-benar merasa bersalah pada kalian. Belum lagi kondisi Helia, membuat kepala Papa semakin pusing. Bisa-bisanya dia menjadi istri siri pria beristri dan menjadi simpanan pula." Hari mengusap wajahnya sekali lagi. "Dia bahkan tidak pernah malu mengakuinya di depan publik."
Mendengar itu, Hiro segera menganggukkan kepalanya. Kakaknya memang berkulit tebal. Bahkan, wanita yang sudah membantunya itu masih dengan santai wara-wiri di layar televisi tanpa merasa bersalah sedikitpun.
Hiro tidak mengerti sebenarnya terbuat dari apa hati kakaknya itu? Apa tidak memikirkan perasaan istri pertama pria yang ia nikahi? Batinnya bertanya-tanya.
"Papa sangat menyesal menikahinya dengan pria itu. Andai saja, dia tidak digerebek oleh satpol PP, mungkin statusnya bukan jadi istri orang."
Satu fakta yang mengejutkan bagi Hiro. Hiro mengira jika kakaknya menikah tanpa diketahui oleh papanya. Ternyata sang kakak meminta papa mereka untuk menjadi walinya.
"Kak Helia digerebek?"
Hari mengangguk putus asa. "Iya. Dia digerebek oleh satpol PP di hotel. Mau tak mau papa harus menikahkan mereka."
Hiro hanya bisa terbengong di tempat mengetahui fakta jika sebenarnya kakaknya menikah karena digerebek. Sangat disayangkan, pria yang dinikahi justru tergila-gila pada kakaknya.
Setelah bercerita panjang lebar, Hiro akhirnya memutuskan untuk pulang ke rumah. Beruntung papanya mendukung semua keinginannya yang berniat untuk pindah ke desa agar bisa hidup lebih tenang.
Saat Hiro tiba di lobby perusahaan, ponselnya kembali berdering membuat pria itu mengernyit kening karena nomor yang memanggilnya adalah nomor papanya.
Benak Hiro bertanya-tanya ada apa papa menghubunginya padahal mereka baru saja berpisah beberapa menit lalu.
"Iya, Pa. Ada apa?"
Hiro kemudian tertegun sejenak ketika mendengar jawaban dari papanya. Hiro mematikan sambungan telepon dan menunggu beberapa menit sampai melihat sosok papanya berjalan tergesa-gesa ke arahnya.
"Kita ke rumah Bima sekarang," ujar Hari.
Hiro mengangguk setuju. Setelah itu keduanya masuk ke mobil masing-masing dan langsung bergegas menuju kediaman Bima Sanjaya yang merupakan mantan suami Hera.
Papanya mengabarkan jika putra nomor 2 Hera melakukan pelecehan seksual pada pacarnya sendiri dan keluarga dari pihak gadis meminta pertanggungjawaban.
Hiro mendesah frustrasi dengan masalah yang kembali mendera keluarga mereka. Pelajaran dari mana itu keponakannya yang masih SMP bisa melakukan perbuatan keji pada seorang perempuan? Batin Hiro bertanya-tanya.
Sesampainya di kediaman Bima, pria itu kemudian menjelaskan semua yang terjadi antara Jillo dan gadis bernama Chila itu. Tidak ada yang menyangka jika anak yang paling pendiam dan tidak pernah membuat masalah seperti Jillo bisa berbuat nekat.
Jillo memang tidak pernah membuat masalah, namun sekalinya membuat masalah ukurannya tidak main-main.
"Jadi, bagaimana keputusannya?" Hari menatap mantan menantunya dengan tatapan bertanya. Satu masalah diselesaikan kini kembali bertambah lagi.
"Kita akan menikahkan Jillo dengan gadis itu lusa. Setelah itu, mereka akan dikirimkan ke sebuah desa agar terhindar dari gunjingan." Bima menjawab dengan tenang. Meskipun terlihat jelas sekali raut wajahnya yang lelah dengan masalah yang menimpa.
"Apa tidak ditunda saja? Jillo masih sangat muda," bantah Hari. Tidak tega jika harus menghancurkan masa depan cucunya.
"Tidak bisa, Pa. Ini sudah menjadi tanggung jawab Jillo karena dia berani berbuat, seharusnya dia berani bertanggung jawab dan mengambil resikonya."
Hari dan Hiro dengan pasrah mengikuti saja kemauan Bima karena pria itu yang berhak atas Jillo.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...