Tidak ingin membuat hubungannya dan Elina semakin renggang dan kacau, Hiro memutuskan untuk membawa Monik pergi dari rumah dan mengembalikan gadis kecil itu pada mamanya.
Hiro sudah dipusingkan masalahnya dengan Elina, dan tidak ingin menambah lagi dengan kehadiran Monik yang akan memicu kemarahan istrinya.
Sesampainya di rumah sakit, Hana justru protes karena Hiro mengembalikan Monik padahal Mita sendiri belum keluar dari rumah sakit.
"Ya sudah biarkan saja dia di sini menemani mamanya. Aku punya kesibukan sendiri dan tidak bisa mengurus Monik," ujar Hiro.
"Hiro, bagaimanapun Monik adalah tanggung jawab kamu juga. Jangan mentang-mentang istri kamu marah, kamu langsung membawa Monik pergi." Hana menatap Hiro penuh amarah. Tidak mengerti dengan jalan pikiran anaknya yang sangat plin-plan.
"Kalau mama mampu, kenapa tidak Mama saja yang membawanya ke rumah mama? Kenapa harus aku? Mama tahu 'kan karena mama hubunganku dengan Elina kacau."
"Elina, Elina, dan Elina terus yang kamu bilang. Di mana otak kamu yang terus membela wanita cacat itu?" bentak Hana penuh amarah. "Perempuan itu bahkan tidak bisa memberikan kamu keturunan. Coba kamu buka hati untuk Mita, kamu pasti bahagia setelah mendapat keturunan."
Hana menunjuk Mita yang sedang duduk diatas ranjang rumah sakit dan memperhatikan anak serta ibu yang sedang berdebat.
"Kebahagiaan dalam rumah tanggaku, tidak melulu tentang anak. Kalau memang aku menggebu-gebu ingin memiliki anak, sudah dari dulu aku menghianati Elina dan memiliki anak dari wanita lain." Hiro membalas tak mau kalah. "Mama perempuan, tapi kelakuan Mama sungguh tidak bisa dicontoh."
Hiro kemudian beralih menatap Mita. "Kamu bahagia 'kan Mit, sudah berhasil menghancurkan rumah tanggaku dan Elina?" Hiro tersenyum miring menatap Mita. "Kamu perempuan, dan anakmu juga perempuan. Semoga Tuhan membalas rasa sakit hati istriku berkali lipat dari yang istriku rasakan. Kalian menjebakku dengan perjanjian konyol yang kalian ingkar sendiri."
Hiro tersenyum miris menatap sahabatnya. Sahabat yang seharusnya selalu mendukung dan memberikan kenyamanan dalam hubungan persahabatan, tapi justru menjadi penghancur rumah tangganya.
"Aku juga tidak ingin seperti ini, Hiro. Tapi keadaan yang memaksa aku. Kamu tahu 'kan kondisi aku seperti ini sekarang?"
Jantung Mita berdebar ketika Hiro membahas soal karma dan hukuman dari Tuhan.
"Kondisi kamu seperti apa? Kondisi kamu yang sakit-sakitan yang kamu manfaatkan untuk mengikat aku? Seperti itu maksud kamu?" Hiro tersenyum sinis sambil menggeleng pelan kepalanya. "Aku sudah muak dengan drama yang kalian buat. Benar-benar memuakkan!"
Setelah itu Hiro berbalik pergi meninggalkan ruang perawatan di mana Mita dan mamanya berada. Berada di dalam ruangan itu dapat membuat tensi darah Hiro naik sampai ke ubun-ubun.
Hiro pergi dengan pikiran kacau. Pekerjaannya bahkan terabaikan karena masalah yang menimpa keluarganya.
Pria itu melaju mobilnya dengan kecepatan penuh sehingga ketika di persimpangan jalan, sebuah motor lewat membuat Hiro mau tak mau membalikan setirnya ke arah lain agar pengendara motor tersebut tidak tertabrak mobilnya. Hiro tidak sempat untuk menekan rem ketika bagian depan mobilnya berhasil menabrak trotoar.
Napas pria itu memburu sementara kepalanya terasa pusing akibat benturan dengan setir. Sudah banyak orang yang mengerubungi mobilnya dan berusaha untuk membantu Hero keluar.
Kaca mobil yang pecah di bagian depan sempat mengenai hidung dan kening Hiro hingga berdarah. Hal tersebut membuat Hiro berdecap tak suka.
"Kita ke rumah sakit, Mas. Sepertinya Mas mengalami syok parah." Seorang pria membantu Hiro untuk masuk ke dalam mobil miliknya sendiri. Sementara mobil Hiro akan diurus oleh polisi yang memang bertugas di sekitar lokasi kejadian.
Hiro merasa kepalanya pusing dan tubuhnya lemas karena syok, hanya bisa mengangguk pasrah. Tak apa jika ia dibawa ke rumah sakit. Setidaknya jika ia dirawat, Elina akan memberikan perhatian padanya.
Sementara itu di rumahnya, Elina yang mendapat kabar dari Aina jika Hiro kecelakaan hanya bisa terduduk di sofa yang mengarah pada layar televisi.
"Bu?" panggil Aina, saat tidak mendapat respon dari Elina.
"Kenapa?"
"Ibu, tidak pergi ke rumah sakit untuk melihat kondisi Pak Hiro?" Aina bertanya dengan nada canggung. Pasalnya, saat mendapat kabar dari rumah sakit jika majikan mengalami kecelakaan dan Aina memberitahu pada Elina, wanita itu tidak memberikan reaksi apa pun. Hal tersebut tentu saja membuat Aina merasa aneh.
"Apa dokter bilang kecelakaannya parah?" Bukannya menjawab pertanyaan Aina, Elina justru bertanya balik.
"Tidak, Bu."
"Apa Dokter bilang kalau saat ini Hiro dalam keadaan kritis?"
"Tidak juga, Bu," sahut Aina.
"Ya sudah, biarkan saja kalau begitu. Toh, pasti ada istrinya yang lain yang akan mengurusnya. Sementara aku--" Elina menunjuk dirinya sendiri. "Tidak akan ada gunanya walaupun aku ke rumah sakit."
Aina terdiam tidak bisa berkata-kata ketika mendengar jawaban dari Elina. Mata wanita itu berkaca-kaca menatap nyonya majikannya yang tampak terlihat acuh pada kondisi suaminya sendiri.
Mungkin Elina sudah terlalu sakit hati akan sikap Hiro sehingga ketika mendapat kabar jika pria itu masuk ke rumah sakit karena kecelakaan, Elina bersikap acuh dan tak peduli.
Elina kemudian berusaha untuk bangkit berdiri.
"Mbak mau ke mana? Apa Mbak mau ke rumah sakit? Kalau begitu saya panggilkan Mas Andre dulu," kata Aina terburu-buru.
"Siapa bilang saya mau ke rumah sakit? Saya mau ke kamar. Saya merasa tidak enak badan." Elina berbicara dengan santai. Wanita itu meraba sekitar untuk mengambil tongkat miliknya. "Aina, aku minta tolong titip anak-anak, ya."
"I-iya, Bu."
Setelah itu Elina langsung melangkah ke dalam kamarnya. Wanita cantik itu kemudian merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Saat ia mengatakan jika ia sedang tidak enak badan, itu benar-benar terjadi. Elina tidak berbohong sama sekali. Wanita itu kemudian mulai memejamkan matanya dan mulai larut ke alam mimpi.
Elina benar-benar tidak memedulikan keadaan Hiro yang sedang terbaring di rumah sakit.
Hiro yang sedang menunggu kedatangan Elina dengan harap-harap cemas harus menelan kekecewaan ketika malam menjelang dan Elina tidak menampakan dirinya sama sekali.
"Apa Elina benar-benar sudah tidak peduli lagi padaku?" Hiro menatap langit kamar ruang rawatnya. Pria itu menarik napas berat dan menghembuskannya kembali.
Andai saja jika saat itu ia menolak dengan tegas dan tidak memedulikan sujud yang dilakukan oleh Mama serta Mita agar mau menikah dengan Mita, dengan iming-iming ia akan terbebas dari gangguan kedua wanita itu, pasti saat ini Elina sedang berada dalam dekapan hangatnya.
Hiro juga benar-benar tidak habis pikir mengapa rumah tangganya harus kacau seperti ini. Rumah tangganya kacau bukan karena ia mencintai wanita lain atau memiliki wanita idaman lain, tapi karena ulah mama dan sahabatnya sendiri.
Tuhan, beri aku kesempatan sekali lagi untuk memiliki kebahagiaan bersama istriku tercinta, ujar batin Hiro, sebelum akhirnya pria itu memejamkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...