Helia baru saja menuruni anak tangga dan mengernyitkan kening ketika melihat punggung seorang wanita yang sangat ia kenali berjalan perlahan ke arah ruang makan.
Ini sudah waktunya untuk makan malam dan Helia sengaja memilih turun untuk melihat kondisi rumah adiknya. Entah mengapa ia merasa suasana sangat berbeda ketika menginjak rumah ini tadi sore.
"Kenapa jalan kamu lambat sekali, Elina?" Helia bergegas menghampiri wanita pemilik punggung yang tak lain adalah Elina.
Helia kini berdiri di hadapan Elina dengan tangan terlipat di dada. Matanya menatap tajam raut wajah Elina yang sepertinya terkejut melihat kedatangannya.
"Kak Helia?" Elina memastikan dengan ragu.
"Menurutmu siapa lagi?"
"Maaf, aku kira tadi siapa." Elina menarik sudut bibirnya membentuk senyum tipis.
"Huh."
Helia mendengus lirih. Wanita itu kemudian memutar tubuhnya dan melangkah menuju ruang makan. Begitu juga dengan Elina. Namun, merasa ada yang janggal, Helia segera memutar tubuhnya dan menatap Elina yang berada empat langkah di belakangnya.
"Ada apa denganmu? Kenapa kamu pakai tongkat segala? Kakimu tidak lumpuh 'kan?" Helia menatap Elina dari ujung kaki sampai ujung rambut dan tidak menemukan keanehan. Kecuali-- "Elina, kenapa tatapan kamu tidak fokus seperti ini?"
Helia segera menegakkan tubuhnya dan menatap nyalang wajah Elina terutama bagian bola mata wanita itu. Tatapan Elina yang tidak fokus membuat Helia curiga jika sesuatu sudah terjadi pada adik iparnya ini.
"Aku 'kan buta. Sudah tidak dapat melihat lagi. Aku kira Kakak sudah tahu." Elina menjawab dengan tenang tanpa sakit hati dengan pertanyaan Helia.
"What?" Ekspresi wajah Helia adalah rasa shock yang tidak bisa disembunyikan.
Ada apa dengan adik iparnya ini? Mengapa bisa mengalami kebutaan? Helia bahkan tidak tahu apa-apa, pikir Helia.
"Ayo, kita ke ruang makan." Elina berjalan dengan tongkat di tangan untuk meraba sekitar agar ia tidak menabrak. Wanita itu meninggalkan Helia yang terpaku di tempat tidak percaya dengan apa yang terjadi pada adik iparnya itu.
Meja makan sudah diisi oleh Hiro, Elina, Helia, dan juga Rima. Mereka semua makan dengan tenang tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Sejak tadi Helia memerhatikan interaksi adiknya dengan adik iparnya yang cenderung berjarak dan dingin. Hal tersebut membuat Helia bertanya-tanya, mengapa Elina terlihat enggan untuk berada di dekat Hiro? Apa sesuatu yang buruk terjadi dengan rumah tangga adiknya? Apa bisa saja jika Elina tidak menerima kenyataan jika ia buta dan membuat dirinya menjauh dari Hiro. Iya, bisa jadi seperti itu. Helia berspekulasi dengan pikirannya sendiri.
"Aku ke atas dulu." Usai makan, Helia segera naik ke atas di mana kamarnya berada. Begitu juga dengan Rima yang kembali ke kamarnya sendiri.
"Sayang, kamu mau duduk di teras depan dulu atau langsung ke kamar?" Hiro bertanya dengan nada super lembut sambil menatap istrinya. Namun, Elina tidak menjawab. Wanita itu justru bangkit sendiri dan kembali ke kamarnya meninggalkan Hiro yang merasa frustrasi diabaikan oleh istrinya sendiri.
"Aina, apa kamu tahu apa yang harus saya lakukan sekarang agar Elina tidak marah lagi?" Hiro dengan putus asa bertanya pada Aina yang sedang merapikan meja makan.
"Kalau saran saya, bapak harus sabar menghadapi Mbak Elina. Kalau bapak sama-sama emosi dan keras kepala, maka semuanya akan semakin runyam."
Hiro memikirkan kata-kata Aina. Pria itu menghela napas keras dan merenung beberapa saat sebelum akhirnya ia menganggukan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...