Bab 30

4.6K 255 18
                                    

Seorang wanita melangkah masuk ke dalam ruang rawat di mana Hiro berada.

Wanita itu baru saja mendarat di tanah air ketika mendapat kabar jika adiknya mengalami kecelakaan hingga membuatnya harus dirawat di rumah sakit.

Wanita yang tak lain adalah Helia yang merupakan Kakak dari Hiro melepas kacamatanya ketika sudah berada di dalam ruang rawat.

Ada beberapa wartawan yang sempat melihat keberadaannya di rumah sakit ini. Sangat beruntung Helia bisa menghindar dari para awak media tersebut.

"Aku pikir kamu kecelakaan yang terlalu parah. Ternyata hanya luka ringan," komentar Helia. Wanita itu kemudian melempar tasnya di atas sofa lalu  menghampiri Hiro yang sedang duduk di atas tempat tidur.

Tangan Helia terlipat di dada menatap adiknya sambil berdecak sinis. "Tahu begitu aku langsung kembali ke apartemen dan beristirahat," ujarnya sekali lagi.

"Kalau kakak mau pergi, silakan pergi. Sebentar lagi juga aku sudah mau pulang ke rumah."

Helia mendengus  mendengar jawaban adiknya. Wanita itu kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar dan tidak menemukan seorang pun di dalam ruang rawat adiknya.

"Ke mana istrimu? Kenapa dia tidak ada di sini?" tanya Helia penasaran.

"Dia sedang ada di rumah. Kami sedang ada masalah," jawab Hiro apa adanya.

"Oh. Kalau begitu kamu pulang bareng aku aja. Kalau dipikir-pikir, mending aku tinggal di rumah kamu. Setidaknya 'kan aku tidak perlu naik turun lift lagi," kata Helia begitu santai.

"Tidak bisa. Lebih baik Kakak tinggal di apartemen saja." Hiro jelas menolak Helia untuk tinggal di rumahnya. Kakaknya sangat merepotkan dan Hiro tidak ingin Elina direpotkan oleh  sikap kakaknya yang menyebalkan.

"Hiro, kamu tidak berhak melarang aku tinggal di rumah kamu." Helia membalas dengan sinis. "Aku juga turut andil dalam pembangunan rumah kamu," katanya dengan datar.

"Kakak hanya menyumbangkan lampu hias saja."

"Tetap saja aku juga memiliki hak di rumah itu." Helia membalas tak mau kalah. Helia adalah tipe orang yang tidak pernah mau kalah berdebat meski dengan alasan apa pun.

Setelah itu Helia kembali ke sofa dan merebahkan tubuhnya di atas sofa. Wanita itu kemudian menguap malas.

"Jam berapa kamu pulang?"

"Sepuluh."

"Bangunkan aku kalau kamu sudah mau pulang. Ingat, Hiro, jangan coba-coba untuk lari dariku," ancam Helia sebelum memejamkan mata.

Sementara Hiro sendiri hanya mendengus melihat sikap kakaknya yang selalu seenaknya saja.  Tapi meski begitu, hanya Helia yang paling banyak berinteraksi dengannya. Sementara mama dan kakaknya yang lain, Hiro jarang berbicara panjang lebar seperti apa yang ia lakukan pada Helia.

Tepat pada pukul 10, Hiro segera membangunkan Helia dan mengatakan jika ia sudah diperbolehkan pulang.

Helia tentu saja mengangguk setuju.

Kedua kakak beradik itu melangkah keluar dari rumah sakit hingga tiba di parkiran.

"Aku tidak membawa mobil. Sementara mobil kamu pasti lagi di bengkel. Terus sekarang kita naik apa?" Helia menatap adiknya dari samping.

Untuk apa mereka repot-repot ke parkiran mobil, jika mereka tidak membawa mobil sendiri. Jika ingin menunggu taksi, harusnya berada di parkiran depan. Itu adalah hal yang dipikirkan oleh Helia.

"Ada Andre. Aku sudah memintanya untuk menjemputku."

Kata terakhir baru saja keluar dari mulut Hiro ketika sebuah mobil melaju dan berhenti tepat di hadapan mereka.

"Andre sopir tampanmu itu? Apa dia sudah menikah?" Helia bertanya seraya masuk ke dalam mobil.

"Tanyakan saja pada orangnya," sahut hiiro datar.

Helia  mengalihkan tatapannya pada Andre yang duduk di balik kemudi.

"Ndre, kamu sudah menikah? Sama perempuan mana?"

"Iya, Mbak. Saya menikah dengan perempuan yang berasal dari desa yang sama dengan saya," jawab Andre sopan.

"Oh. Perempuan desa," cibir Helia.

Andre hanya tersenyum menanggapinya.  Tidak sakit hati sama sekali atas ucapan Helia. Mengenal Hiro, Andre juga cukup mengenal banyak anggota keluarga majikannya itu.  Salah satunya adalah Helia ini yang selalu bicara ceplas-ceplos tanpa memikirkan orang lain akan sakit hati atau tidak.


Sesampainya di rumah, ketiganya langsung turun dari mobil. Helia melangkah lebih dulu masuk ke dalam rumah dan terkejut mendapati seorang wanita hamil duduk di ruang keluarga.

"Siapa kamu? Kenapa ada di rumah ini?" Helia bertanya dengan suara keras.  Tangannya berkacak pinggang sambil melotot menatap wanita hamil yang sedang menikmati setoples keripik kentang.

"Saya, Rima. Temannya Elina. Untuk sementara waktu memang saya tinggal di sini," jawab Rima tanpa takut.

"Oh,  bukan orang ketiga dalam rumah tangga adik saya 'kan?" cibir Helia menatap Rima sinis.

Hal tersebut sontak membuat Rima tertawa. "Bukan saya yang menjadi orang ketiga dalam rumah tangga adik kamu.  Tapi mama dan sahabat adik kamu lah yang menjadi orang ketiganya," ujar Rima dengan santai.

"Maksud kamu apa?"

"Mbak, kopernya saya bawa ke kamar sebelah mana?" Andre bertanya seraya menarik dua koper milik Helia yang dilupakan wanita itu begitu saja.

"Kamar terserah yang penting kamarnya mewah dan bagus," sahut Helia acuh tak acuh.

"Iya, Mbak. Saya letakkan di lantai  dua, ya?"

"Terserah, Andre.  Kamu mengerti tidak arti kata terserah versi saya?" Helia memelototi Andre. Pria ini mengganggu introgasinya saja, pikir Helia kesal.

"Iya, Mbak." Andre dengan pasrah menggeret koper  Helia menuju lantai dua di mana ada kamar kosong yang memang selalu dirawat setiap 3 hari sekali.

"Kak, aku langsung ke kamar. Aku lelah dan mau istirahat," ucap Hiro, saat Helia akan membuka suara lagi.

Helia menggeleng kepalanya menatap sikap orang di rumah ini yang sangat aneh. Terutama adiknya itu. Seperti ada beban berat saja yang dipikul, pikir Helia.

Wanita itu kemudian berniat untuk menginterogasi perempuan hamil yang bernama Rima tadi. Namun, saat ia menoleh ke tempat Rima, wanita itu sudah menghilang dari tempatnya.

Helia mengangkat bahunya. Wanita itu kemudian melangkah menuju lantai 2 di mana kamarnya yang akan ditempati selama beberapa waktu ke depan.

Sementara itu, di dalam kamarnya Hiro menatap Elina yang sedang menyetel musik. Musik dengan nuansa mendayu dan lembut menjadi backsound di dalam kamar ini.

Hiro tahu jika saat ini Elina mungkin sedang dalam keadaan tak baik. Ini sudah menjadi kebiasaan Elina jika sedang ada masalah maka ia akan mendengarkan musik untuk menenangkan pikirannya.

"Sayang." Hiro mendudukkan dirinya di samping Elina dan merangkul pundak istrinya. Hiro merasa bersyukur karena Elina tidak menepisnya lagi.

Saat ini mereka sedang duduk di sofa yang berada dalam kamar. Posisi ini sangat menyenangkan dan menenangkan bagi Hiro. Namun, tidak untuk Elina. Ia diam bukan karena sudah mau memaafkan Hiro, tapi sudah lelah dengan keadaan yang terjadi.

"Mas?" panggil Elina dengan suara lembut.

Hiro menundukkan kepalanya menatap Elina. "Kenapa, Sayang?" Tak kalah lembut, Hiro balik bertanya.

"Kita cerai, ya? Sepertinya, kita memang tidak ditakdirkan untuk terus bersatu."

Tubuh Hiro menegang ketika mendengar ucapan istrinya. Kalimat yang selama ini ditakutkan Hiro akhirnya keluar dari mulut sang istri tercinta.

Napas Hiro memburu. Ini semua salahnya. Ini semua salah Mita dan juga mamanya.

Tuhan, tolong beri ia kesempatan sekali lagi. Hiro benar-benar tidak sanggup jika harus kehilangan Elina.





BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang