Bab 3

5.1K 295 26
                                    

Hiro menatap layar ponsel yang sudah gelap dengan tatapan nelangsa.  Sudah beberapa kali Hiro menghubungi nomor ponsel Elina--istrinya-- namun tidak juga mendapat respon.

"Kenapa, Ro? Aku lihat kamu menatap layar ponsel terus dari tadi,"  tegur sebuah suara.

 Hiro menatap wanita cantik yang tengah mengenakan daster rumahan, duduk tepat di depan kursinya. Wanita itu menyuguhkan minuman hangat yang tentu saja diperuntukkan untuknya.

"Nomor Elina tidak bisa dihubungi," katanya lesu. 

 Mitha, wanita itu mencoba tersenyum. Kemudian berkata, "mungkin saja dia sudah tidur."

"Bisa jadi." Hiro mengangguk kepalanya. "Aku merasa, akhir-akhir ini Elina sedikit berubah." 

"Berubah bagaimana?" Kening Mita mengerut menatap sahabatnya tak mengerti.

"Dia sudah jarang memberikan aku bekal makan. Sudah sangat jarang memberikan perhatian. Bahkan, untuk sarapan saja, hanya disediakan kopi."

Hiro merasa perubahan pada sikap Elina. Meski tidak terlalu terlihat jelas, namun Hiro yakin ada yang berubah dari Elina.

"Mungkin itu hanya perasaanmu saja." Mita bangkit dari posisinya kemudian duduk di samping Hiro. "Kalau kamu butuh bekal makan siang atau sarapan, kamu bisa datang ke sini." Mita tersenyum lembut. Tangannya terulur membelai pundak Hiro.

"Tidak perlu. Terima kasih," ucap Hiro. 

Hiro menyingkirkan tangan Mita yang berada di atas pundaknya. Namun, sepertinya Mita tidak menyerah begitu saja. Wanita itu justru merapatkan tubuhnya pada Hiro dan menghimpit pria itu. Aksi yang dilakukan Mita selanjutnya membuat Hiro tercengang. Pasalnya, Mita melumat bibir Hiro dengan gerakan sensual.  

Hiro berusaha menyingkirkan tubuh Mita menjauh, namun wanita itu tetap dengan keukuh melumat dan menjelajahi bibir Hiro. Hiro yang mulai terbawa suasana membalas lumatan Mita hingga tanpa sadar kedua lengannya merangkul pinggang wanita yang merupakan sahabatnya sendiri. 

Kali ini posisi Mita tidak di samping Hiro lagi. Wanita itu kini duduk di atas pangkuan Hiro dengan kedua tangan merangkul pundak pria beristri itu. 

"Ma."

 Panggilan dari seorang gadis kecil menyentakkan keduanya yang hampir tersulut oleh nafsu. Segera, Hiro mendorong tubuh Mita menjauh. Setelah itu, Hiro mengusap kasar wajahnya ketika menyadari ia hampir saja melakukan suatu hal yang tidak sepantasnya ia lakukan pada wanita lain yang bukan istrinya.

"Astaga," gumam Hiro. Pria itu menarik napas berat  kemudian menghembuskannya secara brutal sementara tangannya mengusap kasar bibir yang sudah ternoda oleh wanita lain. 

"Hiro, maaf. Aku--"

"Ma!" Kembali terdengar seruan dari dalam kamar yang terletak tak jauh dari ruang tamu. Ternyata Monik, putri Mita terus memanggil ibunya.

"Aku ke Monik dulu. Tunggu sebentar."

Mitha menghentikan gerakannya saat mendengar suara dingin Hiro.

"Tidak perlu, Mit. Aku langsung pulang."

 Mita menoleh menatap ke arah Hiro.  "Tapi--"

"Obat sudah aku belikan. Aku permisi," sela Hiro terlebih dahulu. Pria itu kemudian bangkit dan keluar dari rumah bergaya minimalis yang selama ini ditempati oleh Mita semenjak perceraiannya dengan suaminya. 

Hiro terus melangkah tanpa menoleh ke belakang. Pria itu dirundung rasa penyesalan atas kehilafan yang ia lakukan tadi. Seharusnya ia tidak melakukan hal itu pada wanita lain. 

Hiro masuk ke mobilnya, kemudian melajukan kendaraannya meninggalkan pekarangan rumah Mita menuju kediamannya.

Sesampainya di rumah, Hiro hanya disambut dengan keheningan.  Mengira jika istrinya sudah berada di dalam kamar, Hiro melangkah masuk ke dalam kamarnya dan mendapati ranjang tempat mereka biasa tidur kosong. 

"Sayang!" 

Hening.

 Keheningan adalah balasan atas panggilan Hiro pada istrinya. Pria itu kemudian melangkah ke arah kamar mandi dan mendapati kamar mandi tersebut dalam keadaan kosong. Tidak hilang akal, Hiro melangkah keluar menuju dapur dan taman belakang rumah mereka. Namun, ia tidak juga mendapati keberadaan istrinya. 

 Hiro mulai panik. Sedangkan tadi sang istri berkata ia sedang dalam perjalanan menuju pulang. Segera Hiro kembali menghubungi nomor sang istri namun sambungan telepon tidak juga terhubung. 

 Di tengah kekalutannya mencari sang istri, pintu rumah diketuk oleh seseorang. Hiro menghela napas lega karena mengira jika yang mengetuk pintu adalah istrinya. Namun, apa yang ia dapat setelah pintu terbuka? Mereka adalah dua orang polisi dengan seragam yang masih melekat pada tubuh mereka. 

Hiro mengerut keningnya bingung. Pasalnya ia merasa tidak pernah membuat masalah atau kasus apa pun dalam hidupnya. 

"Selamat malam. Ini kediaman ibu Elina?" sapa salah seorang polisi. 

Hiro mengangguk kepalanya tanpa menghilangkan ekspresi bingung yang terlihat sekali pada wajahnya.

"Bapak-bapak ini ada keperluan apa datang kemari?" 

 Hiro melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Kemudian beralih menatap dua orang polisi di hadapannya.

"Kami mendapati alamat ini dari KTP salah satu korban kecelakaan lalu lintas. Alamat ini sesuai dengan KTP ibu Elina. Beliau adalah salah satu korban kecelakaan lalu lintas yang terjadi 1 jam yang lalu." 

 Hiro tersentak mundur ke belakang dengan tubuh bersandar pada pintu. Pria itu menggeleng kepalanya pelan menolak percaya akan berita yang disampaikan polisi dihadapannya.

"Sepertinya bapak salah alamat. Istri saya tadi menghubungi saya dan mengatakan dia sedang dalam perjalanan pulang 1 jam yang lalu."  Hiro menolak percaya jika KTP yang ditemukan oleh polisi adalah milik istrinya.

Dua orang polisi saling menatap. Kemudian salah satu dari mereka mengeluarkan 1 buah KTP berikut dompet yang langsung mereka serahkan pada Hiro. 

Tangan pria itu gemetar ketika menyambut dompet serta KTP yang diberikan oleh polisi tersebut. Ditatapnya lamat-lamat nama serta wajah dalam foto di KTP yang memang milik istrinya.

 "Kecelakaan lalu lintas tadi menewaskan setidaknya 3 orang pengguna jalan untuk saat ini. Taksi yang ditumpangi ibu Elina tertindih oleh badan truk." Polisi menjelaskan dengan rinci. "Sopir taksi yang membawa ibu Elina meninggal di tempat. Sementara ibu Elina saat ini sedang dalam masa kritis."

"Tidak." Hiro menggeleng kepalanya frustrasi. "Istri saya ada di rumah. Dia tidak di luar. Iya, istri saya pasti sedang bersembunyi."

 Hiro segera melangkah masuk ke dalam rumah dan mencari keberadaan istrinya di setiap sudut rumah. Namun, Hiro hanya menemukan hasil yang nihil. Segera ia melangkah ke pintu depan menghampiri dua polisi yang masih menunggunya dengan sabar.

"Ada, Pak. Istri saya ada di dalam. dia pasti lagi sembunyi dari saya karena marah saya pulang terlambat. Iya, pasti." Hiro menganggukkan kepalanya yakin dengan pendapatnya sendiri. "Bapak bisa bantu saya mencari istri saya? Dia pasti sembunyi di dalam rumah. Kalau saya sendiri yang mencari, itu tidak akan berhasil. Ayo, kita berpencar." Hiro mengajak  masuk kedua polisi yang saling tatap dengan bingung. 

"Maaf, Pak. Istri bapak sekarang ada di ruang ICU. Sedang ditangani oleh dokter. Ayo, ikut kami ke rumah sakit untuk memastikannya sendiri."

Hiro menggeleng kepalanya kuat berusaha untuk mengelak semua apa yang dikatakan oleh para polisi. Namun, apa yang ia lihat ketika sampai di rumah sakit membuat tubuhnya lemas tak berdaya ketika melihat wanita yang ia cintai saat ini sedang dikerumuni oleh orang-orang yang mengenakan jas putih. 

"Elina." 

Hiro menyentuh dinding kaca dan menatap miris keadaan istrinya. Satu tetes air mata jatuh membasahi pipinya tanpa ia sadari. 

"Sayang, jangan pergi."

BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang