Bab 4
"Mohon maaf, Pak, kalau saya boleh mengatakan--" Dokter yang berdiri di hadapan Hero terlihat menghela napas berat. "Kandungan istri Anda yang baru berusia 3 minggu tidak bisa kami selamatkan. Bahkan, kondisi istri Anda masih dalam keadaan kritis."
Hiro terjatuh dari posisinya berdiri. Ditatapnya tak percaya akan ucapan sang dokter yang membawa 2 kabar paling buruk yang tidak pernah ingin Hiro dengar.
Istrinya keguguran dan kritis.
Hiro menggeleng kepalanya kuat. Ia menolak percaya dengan apa yang dikatakan sang dokter. Anak yang selama ini ia impikan dan selalu nantikan kini diambil kembali oleh sang pencipta.
Tidak!
Hiro menggeleng kepalanya menolak percaya apa yang disampaikan sang dokter.
"Dok, itu tidak mungkin 'kan? Istri saya tidak mungkin keguguran dan kritis? Tolong bilang jika Anda sedang bercanda." Hiro memohon kepada sang dokter akan sesuatu hal yang mustahil.
"Maaf Pak, kami tidak pernah main atau bercanda dengan nyawa seseorang."
Hiro tergugu di tempat ketika mengingat semua apa yang dikatakan sang dokter yang menangani istrinya.
Pria itu menangis sesunggukan di samping tempat tidur sang istri. Kedua tangannya menggenggam dan mencium tangan sang istri yang masih tidak sadarkan diri berkali-kali. Tidak ia pedulikan bagaimana air matanya membasahi punggung tangan istrinya.
Bibirnya gemetar dengan napas tersendat menahan isak tangis yang terus meronta ingin dikeluarkan.
"Aku minta maaf," lirih Hiro.
Hiro menyalahkan dirinya sendiri akan apa yang menimpa istrinya. Seharusnya tadi ia pulang dengan cepat dan menjemput istrinya di kediaman orangtuanya. Seharusnya ia tidak memilih untuk menebus obat milik anak Mita. Seharusnya ia langsung pulang ke rumah dan tidak bertahan di rumah itu. Seharusnya ia memperioritaskan istrinya.
Seharusnya.
Seharusnya.
Dan hanya seharusnya yang bisa ia ungkapkan di dalam hatinya.
Andai ia tidak egois dan menjemput Elina, semua ini tidak akan pernah terjadi. Hiro benar-benar merasa bersalah akan apa yang istrinya alami. Tidak seharusnya ia berbuat seperti ini.
"Arhg!" Hiro berteriak frustasi berusaha untuk melampiaskan rasa sesak akan penyesalan yang menghimpit dadanya.
"Mohon maaf, Pak, tolong jangan membuat keributan dan mengganggu pasien," tegur seorang suster.
Suster dengan tubuh lumayan berisi tersebut tengah memeriksa infus yang terpasang di tubuh Elina. Takut jika cairan habis dan bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat. Setiap 1 jam sekali maka akan ada suster yang bergantian memeriksa kondisi pasien yang sedang dalam keadaan kritis.
Sebenarnya keluarga pasien belum diperbolehkan untuk masuk menjenguk. Namun, daripada Hiro membuat keributan dan kekacauan, mereka mengecualikan agar Hiro boleh masuk.
"Apa istri saya akan terbangun?" Hiro mendongak menatap ke arah sang suster dengan tatapan penuh.
"Bapak berdoa saja semoga istri bapak cepat sadar."
Hanya itu kalimat balasan yang bisa disampaikan oleh suster sebelum akhirnya sang suster berlalu keluar.
Sementara Hiro yang ditinggalkan kembali termenung memikirkan keadaan sang istri yang masih belum pasti keadaannya.
*
Keesokan paginya.
Hiro membuka mata dan melihat sekeliling ruangan dengan kening mengkerut menyadari jika ini bukan kamar tempat biasa ia tidur.
Pria itu mengucek matanya sebelum kesadaran menghantam pikirannya.
Segera, kepalanya menoleh menatap sang istri yang kini masih memejamkan mata.
Hiro mengepalkan kedua tangannya saat kesadaran menghantamnya kembali jika yang ia alami tadi malam bukan mimpi tapi kenyataan.
Segera Hiro menggenggam kembali tangan istrinya. Kemudian ia bangkit berdiri mengecup kening istrinya yang tertutup kain perban.
"Kamu belum bangun? Masih betah tidur? Tidak apa-apa lanjut saja tidurnya. Aku disini akan selalu menjaga kamu." Hiro berbisik lirih di telinga sang istri. "Kamu jangan khawatir aku tidak akan pergi."
Tak lama Hiro kembali mendudukkan dirinya di kursi tanpa melepas genggaman tangannya pada sang istri.
Pintu ruang rawat terbuka dan menampilkan satu orang dokter ditemani dua suster.
Dokter dibantu suster memeriksa kondisi Elina yang belum sadarkan diri.
Dokter wanita dengan nama Susanti menghela napas lega saat tahu bagaimana kondisi Elina saat ini.
"Syukurlah, Bu Elina sudah melewati masa kritisnya tadi malam dan saat ini kondisinya sedikit membaik." Susanti menatap Hiro dengan tatapan tenang. "Kita hanya perlu menunggu pasien untuk sadar."
Mendengar itu Hiro menghela napas lega. Pikirannya sudah kacau membayangkan jika sesuatu yang buruk terjadi pada istrinya. Sudah cukup mereka kehilangan calon bayi yang sudah mereka tunggu sejak lama. Hiro tidak tahu apa yang akan ia sampaikan pada Elina jika wanita itu sadar nanti. Hiro berharap Elina akan menerimanya dengan ikhlas.
Siang harinya ketika Hiro tengah menunggu Elina, pintu ruang terbuka. Hiro menatap pasangan paruh baya yang baru masuk. Pasangan paruh baya yang tak lain adalah Hari dan juga Hana, kedua orangtua Hiro.
"Maaf, kami baru bisa menjenguk. Kamu baru mengabari kami tadi." Hari terdengar meminta maaf pada Hiro. "Bagaimana kondisi Elina?" tanyanya tentang kondisi menantu kesayangannya. Menantu yang selalu memperhatikannya dan juga tidak pernah lupa untuk menanyakan kabarnya.
"Seperti yang papa lihat. Elina saat ini sedang koma. Dia belum sadarkan diri." Hiro menoleh menatap ke arah istrinya lalu beralih menatap sang papa yang tengah memerhatikan keadaan istrinya.
"Semoga menantu kesayangan papa cepat sembuh."
Hari mengusap kepala Elina yang tertutup perban. Tidak hanya kepala wanita itu yang tertutup perban, tapi juga tangan, mata, dan kakinya terluka akibat pecahan serta himpitan badan mobil.
Hiro juga menjelaskan ada pecahan kaca yang menusuk mata Elina dan dokter belum bisa memastikan apakah penglihatan Elina masih baik-baik saja atau tidak.
"Kalau istrimu sudah cacat seperti itu, kamu bisa menikah lagi atau ceraikan dia, Hiro. Kamu bisa cari istri yang lebih sempurna darinya."
"Ma!"
Tidak hanya Hiro yang berteriak tapi juga Hari yang tidak terima dengan ucapan Hana.
Hiro menatap mamanya tak habis pikir. Istrinya sedang dalam keadaan seperti ini, dan ia sendiri sedang kalut. Namun, mamanya justru mengatakan hal yang membuat Hiro merasa tersinggung.
Elina adalah istrinya. Satu-satunya wanita yang akan ia pertahankan selama sisa hidupnya. Tidak akan ada wanita lain dalam hidupnya yang akan mengisi hatinya. Meski ia pernah melakukan satu kesalahan fatal tadi malam yaitu berciuman dengan wanita lain, Hiro tidak akan pernah meninggalkan Elina.
"Mama jaga bicara mama. aku tidak suka dengan pemikiran Mama yang memintaku untuk berpisah dengan istriku." Hiro memelototi mamanya marah. Tidak akan ia biarkan orang lain bisa berpikir hal yang jelek tentangnya dan juga sang istri.
"Lho, kenapa kamu tidak terima? Istrimu memang bukan wanita sempurna. Dia wanita mandul yang tidak bisa menghasilkan anak. Apalagi saat ini bisa dikatakan dia dalam kondisi yang cacat." Hana tidak takut sama sekali dengan tatapan marah yang dilayangkan Hiro padanya.
"Elina bukan wanita mandul, Ma! Dia wanita sempurna untukku. Bahkan, dia sudah hamil. Tapi, anak kami pergi lebih dulu. Elina keguguran!" Napas Hiro memburu. "Jadi, daripada Mama kepikiran yang tidak-tidak tentang istriku, lebih baik Mama pergi dari sini jangan tinggalkan kami."
Hana terbelalak menatap Hiro tak percaya. Putranya sendiri dengan berani mengusirnya dari ruangan ini.
"Kamu mengusir mama, Hiro?"
"Iya, Ma. Iya. Mama sudah menghina istriku. Aku tidak terima. Keluar, Ma. Sebelum aku benar-benar kehabisan kesabaran."
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...