Bab 8
Rasa haus menerpa tenggorokan Elina. Wanita itu meraba tempat tidurnya sebelum akhirnya ia beranjak turun dari tempat tidur.
Elina tahu jika saat ini sudah malam. Ia tidak akan mau merepotkan orang lain karena rasa hausnya.
Elina meraba kursi roda yang terletak di samping tempat tidur. Elina tahu ada Hiro yang terlelap di sebelahnya. Namun, Elina tidak akan membangunkannya. Elina berjanji pada dirinya sendiri jika ia tidak akan pernah mau merepotkan Hiro lagi.
Akhirnya dengan segala usaha, Elina bisa duduk di kursi roda. Elina mulai meraba-raba dalam ingatannya letak pintu keluar. Setelah berhasil menemukan pintu, Elina menariknya dan mendorong kursi rodanya keluar.
Tuhan sudah mengambil janinnya, sudah mengambil penglihatannya juga. Jadi, jika Tuhan ingin mencabut nyawanya, Elina sudah merasa siap. Elina sekarang ada dalam pilihan hidup segan mati tak mau. Hidup, tiada berguna lagi. Sementara mati, Tuhan masih ingin ia bertahan di dunia.
"Auh." Elina meringis saat tidak sengaja menabrak kursi yang menghadap ke arah mini bar. Namun, kendati demikian, Elina tersenyum. Pasalnya, jika ia sudah menabrak kursi mini bar, itu pertanda jika ia sudah berada di dapur.
Segera setelah itu Elina menggeser kursi rodanya dan mulai meraba daerah sekitar mencari keberadaan teko berisi air. Elina berharap ada gelas yang diletakkan di atas meja.
Senyum wanita itu terbit saat tangannya menyentuh gelas. Hal tersebut membuat Elina kembali bergerak untuk mencari teko berisi air ataupun dispenser yang bisa ia jangkau.
"Sayang!"
"Sayang!"
Elina menjatuhkan gelasnya ketika mendengar suara teriakan Hiro. Gelas yang ia pegang jatuh hingga pecah dan membuat Hiro segera menemukan keberadaan Elina.
"Elina, astaga. Kamu dari mana aja?" Hiro kemudian menatap gelas yang berada di bawah kaki Elina dan menyadari jika istrinya kehausan. "Astaga, kamu haus? Kenapa tidak membangunkan aku? Kenapa harus repot-repot pergi sendiri? Aku panik banget tadi."
Hiro memang benar-benar panik saat bangun tidak mendapati keberadaan Elina di sampingnya. Rasa panik itu membuatnya berteriak hingga membangunkan Aina dan Andre yang juga sudah terlelap.
Aina yang menyadari kebutuhan Elina, segera mengambil gelas dan mengisinya dengan air. Sementara Andre mengambil sapu dan kotak sampah untuk membersihkan pecahan kaca.
"Ini mbak, minumnya." Panggilan Aina untuk Elina sudah berubah ketika Elina meminta Aina untuk memanggilnya dengan sebutan 'mbak' saja. Sementara untuk Andre yang sudah terbiasa memanggilnya dengan sebutan ibu tidak pernah dia protes lagi.
"Terima kasih," sahut Elina tanpa merespon Hiro.
Hiro sendiri lagi-lagi menghela napas kecewa karena sikap acuh Elina.
"Maaf, mengganggu waktu istirahat kalian," ucap Hiro pada keduanya.
Setelah itu, Hiro mendorong kursi roda yang diduduki Elina dan membawanya kembali ke kamar.
Tanpa kata, Hiro mengangkat tubuh Elina kemudian meletakkannya dengan hati-hati ke atas tempat tidur. Tak lama kemudian terdengar suara ketukan pintu membuat Hiro segera membukanya.
"Pak, ini botol minum untuk mbak Elina kalau-kalau Mbak Elina haus lagi." Aina menyerahkan botol minuman yang sudah diisi penuh pada Hiro. Setelah itu, Aina pergi meninggalkan Hiro yang langsung menutup pintu kamar.
"Kalau ada perlu lagi, tolong panggil aku. Aku panik cari kamu yang menghilang tadi," kata Hiro, seraya meletakkan botol diatas nakas.
Pria itu kemudian mengusap puncak kepala Elina dengan sayang. Lalu, ia menunduk dan mengecup kening Elina.
"Untuk apa, Mas? Aku tidak ingin merepotkan kamu lagi."
"Sayang, kamu tidak pernah merepotkan aku."
"Tapi, aku memang benar-benar tidak butuh kamu lagi, Mas. Bantuanmu, sudah habis untukku."
Lagi, Hiro terdiam mendengar ucapan Elina. Perasaannya teriris mendapat penolakan bertubi-tubi dari istri sendiri. Namun, ia juga tidak mungkin untuk menyerah hanya karena penolakan Elina. Pria itu berjanji akan melakukan apa pun agar istrinya mau memaafkan semua kesalahan yang pernah ia lakukan.
____
"Sayang, aku berangkat ke kantor dulu. Nanti siang aku pulang, kita makan siang bersama," pamit Hiro, pada Elina.
Wanita itu sudah selesai ia mandikan. Meskipun awalnya mendapat penolakan keras, namun Hiro tak juga menyerah hingga akhirnya Elina pasrah dimandikan olehnya.
"Buat apa kamu kembali untuk makan siang bersama? Bukannya kebiasaan itu udah hilang semenjak kedatangan sahabat kamu?"
Satu fakta yang dilontarkan Elina membuat Hiro terdiam. Memang, ia akui semenjak kedatangan Mita ke dalam hidupnya, ia sudah mulai menghilangkan kebiasaan makan siang bersama mereka. Ada saja alasan yang digunakan Mita agar ia menunda makan siangnya bersama Elina. Bahkan, terkadang bekal yang ia bawa dan dimasak langsung oleh Elina jarang ia makan.
"Pokoknya mulai hari ini kita akan makan siang bareng terus." Mata Hiro mulai berkaca-kaca sambil menggenggam tangan Elina.
"Buat apa, Mas? Toh, aku juga sudah tidak bisa memasak dan melihat wajah kamu lagi. Jadi--" Elina tersenyum sinis. "Apa yang mau kamu lakukan hari ini, sia-sia," tandasnya seraya melepas tautan tangan mereka.
"Tidak ada yang sia-sia, Sayang. Kita bergantian saja. Jika biasanya, kamu yang memasak untuk aku. Sekarang, gantian aku yang memasak untuk kamu," ujarnya penuh semangat. Harapan Hiro, semoga hubungan mereka bisa membaik seperti sedia kala.
"Tidak perlu. Untuk apa kamu melakukan hal yang sia-sia? Urusi saja wanita itu. Tidak perlu mengurusiku lagi." Elina kemudian memutar kursi rodanya pergi dari hadapan Hiro. Wanita itu sedikit meringis saat kursinya menabrak tembok. Hal tersebut membuat Hiro segera menghampiri Elina, namun wanita itu justru menepis dan mendorong Hiro untuk menjauh darinya.
Jika mengingat bagaimana sikap Hiro yang terkesan mengabaikannya dan justru memprioritaskan Mita, membuat sakit hati Elina kian membuncah. Jadi, bersentuhan dengan Hiro rasanya seperti Elina menyentuh kawat berduri. Sungguh sakit.
"Maaf."
Hiro menundukkan kepalanya. Pria itu berjalan keluar dari pintu kamar mereka. Setelah pintu tertutup, setetes air mata jatuh membasahi pipi Hiro. Pria itu segera mengusap wajahnya kemudian melanjutkan langkahnya keluar melalui pintu utama.
Dulu, ia acapkali membantu Mita selain dikarenakan Mita adalah sahabatnya, Mita juga merupakan seorang wanita yang ditinggal suami. Hiro tahu betapa sulitnya hidup Mita setelah wanita itu menceritakan tentang kehidupannya di masa lalu. Mengingat jika istri dan ibunya adalah seorang perempuan, Hiro selalu membantu dan memberi pertolongan di saat Mita butuh. Hal tersebut dia lakukan agar karma baik yang ia lakukan pada wanita, bisa didapatkan oleh istri dan ibunya.
Sayangnya, Hiro menggeleng pelan kepalanya sambil terkekeh sinis. Sayang sekali apa yang ia lakukan justru menjadi bumerang untuk dirinya dan rumah tangganya.
Jika ia tahu membantu Mita sama dengan mendapat masalah seperti ini, Hiro tidak akan mau direpotkan oleh Mita.
Hiro berjanji tidak akan pernah meninggalkan Elina bagaimanapun Elina meminta. Perjuangan Hiro untuk mendapatkan Elina sebelum mereka pacaran sudah sangat sulit dikarenakan ada banyak saingan cinta yang memang juga memperjuangkan Elina. Bahkan, saat akan menikah pun, dia berjuang untuk meyakinkan Elina jika ia adalah rumah bagi wanita itu.
Elina yang memang sudah hidup sebatang kara menggantungkan hidupnya pada Hiro. Sayang sekali, Hiro justru bersikap seperti itu semenjak kedatangan Mita.
KAMU SEDANG MEMBACA
BUKAN WANITA MANDUL [TAMAT]
General FictionMenikah selama 4 tahun dengan Hiro tanpa dikaruniai seorang anak, membuat Elina merasa tidak percaya diri. Terlebih lagi saat banyak orang yang mempertanyakan mengapa ia belum mendapatkan momongan juga. Belum lagi desakan dan hasutan ibu mertua m...